20 Tahun Damai Aceh: Kesejahteraan, Keadilan, & Birokrasi Terbengkalai?

Posted on

Dua dekade perdamaian Aceh: Harapan dan realita yang beriringan

Dua puluh tahun telah berlalu sejak perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia ditandatangani di Helsinki. Peristiwa bersejarah ini menandai berakhirnya konflik bersenjata yang panjang dan berdarah di Aceh, membuka lembaran baru bagi harapan perdamaian dan pembangunan. Namun, di balik optimisme yang mengemuka, kenyataan di lapangan menunjukkan sejumlah tantangan yang hingga kini masih belum terselesaikan, terutama menyangkut kesejahteraan ekonomi rakyat Aceh, ketidakadilan, dan tata kelola pemerintahan yang efektif.

Peringatan dua dekade perdamaian Aceh menghadirkan paradoks yang menarik. Di satu sisi, terdapat harapan kuat untuk merawat perdamaian yang telah diraih, mempercayai bahwa siklus kekerasan telah menjadi bagian masa lalu. Di sisi lain, kekecewaan masih terasa nyata. Banyak yang menilai bahwa perdamaian belum berdampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Suara-suara kecewa tersebut mengingatkan kita pada pentingnya terus membangun kepercayaan antara Aceh dan Jakarta, serta memperhatikan nasib para korban konflik agar tragedi tersebut tak terulang.

Selama sepuluh hari, tim BBC News Indonesia mengunjungi Banda Aceh dan sebuah desa di pesisir pantai Barat Selatan Aceh untuk menggali lebih dalam realita di lapangan. Berikut adalah kisah Muzakir, seorang mantan kombatan GAM, yang mencerminkan tantangan kesejahteraan yang dihadapi banyak warga Aceh pasca-perdamaian.

“Di masa damai sekarang, istri kedua Muzakir itu becak mesin miliknya, bukan lagi senapan M-16,” seloroh Saiful, sahabat Muzakir, sambil melirik becak mesin butut milik temannya. Muzakir hanya tersenyum malu. Saiful dan Muzakir, warga Gampong Lambleut, Kabupaten Aceh Besar, telah bersahabat sejak Aceh dilanda konflik. Muzakir, kelahiran 1976, adalah mantan kombatan GAM, sementara Saiful (53 tahun) memilih untuk tidak terlibat dalam konflik.

Selama empat tahun bergerilya di pegunungan Aceh Besar, Muzakir menjadikan senapan M-16-nya sebagai “istri”, karena saat itu dia masih bujangan. Namun, setelah perjanjian damai 2005, senjata itu harus dimusnahkan. Kini, Muzakir menggantungkan hidupnya pada becak mesinnya untuk menghidupi sepuluh anaknya dan istrinya yang bekerja sebagai penjahit dan agen gas elpiji.

Saat ditemui di rumahnya pada 22 Juli, Muzakir mengeluh karena beberapa hari tidak dapat bekerja akibat cuaca buruk. Pendapatannya menipis, sementara biaya sekolah anak-anak tetap harus dibayar. Kondisi ini menjadi gambaran nyata bagaimana perdamaian belum sepenuhnya berdampak pada kesejahteraan ekonomi bagi mantan kombatan seperti Muzakir.

Muzakir, yang menghormati Muzakir Manaf (Mualem), mantan panglima GAM dan Gubernur Aceh, dan tetap setia sebagai anggota Partai Aceh, merasa frustrasi. Meskipun ia bersyukur atas berakhirnya perang, ia merasa bahwa perdamaian belum menjanjikan kemajuan ekonomi, setidaknya bagi dirinya.

Ia mengingat masa lalu saat bergerilya: “Kalau dulu, kalau ada makanan, sama-sama makan bersama. Kalau tak ada, sama-sama diam. Kalau sekarang, enggak ada nasi, beras, itu yang susah.” Pernyataan ini merupakan sindiran halus kepada para pemimpin Aceh, meskipun ia tetap percaya kepada Mualem.

Muzakir mengakui syukur atas terwujudnya perdamaian, namun ia menekankan bahwa “itulah selama masa damai ini, untuk kemakmuran memang kurang.” Pengalaman Muzakir merepresentasikan kegelisahan yang dirasakan banyak warga Aceh lainnya. Meskipun menyambut positif perdamaian, mereka menganggap peningkatan kesejahteraan belum terealisasi.

Ketidakpercayaan Jakarta dan Tata Kelola Aceh

Berbagai pandangan muncul terkait penyebab keterbatasan kemajuan ekonomi Aceh. Shaummil Hadi, peneliti dan dosen di Fisip Universitas Almuslim, menganggap kekurangan informasi dan ketidakpercayaan Jakarta terhadap Aceh sebagai faktor utama. Ia mencontohkan keputusan kontroversial Menteri Dalam Negeri terkait status empat pulau yang kemudian diralat Presiden Prabowo setelah protes dari Aceh. Shaummil menyarankan Jakarta untuk lebih memahami konteks Aceh kontemporer, termasuk struktur penduduknya yang didominasi Generasi Z dan masalah ekonomi yang dipengaruhi oleh faktor geografis Aceh yang terkesan terisolasi.

Teuku Kamaruzzaman, mantan anggota tim juru runding GAM dan juru bicara pemerintah Aceh, menaruh harapan pada revisi Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang mengajukan wewenang lebih besar bagi Aceh, termasuk dalam ekspor-impor dan bagi hasil migas. Ia mengingatkan bahwa batasan yang ada saat ini tidak sesuai dengan semangat Kesepakatan Helsinki 2005, dan bahwa geografi Aceh yang strategis seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi wilayah tersebut.

Namun, tidak semua optimis. Munawar Liza, mantan anggota tim juru runding GAM dan mantan Wali Kota Sabang, menilai kedekatan Presiden Prabowo dengan Gubernur Aceh lebih didasari kepentingan oligarki dan bisnis daripada fokus pada kebijakan yang berdampak pada kesejahteraan Aceh. Ia menyayangkan pendekatan yang kurang struktural dari pemerintah pusat dalam menyelesaikan masalah Aceh.

Temuan Ladang Gas: Berkah atau Kutukan?

Penemuan ladang gas berskala besar di perairan Aceh menimbulkan euforia. Namun, pertanyaan mengenai bagaimana keuntungannya akan dibagikan dan apakah akan benar-benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat Aceh tetap menjadi perhatian. Muzakir mengharapkan hasilnya diutamakan untuk Aceh, sedangkan Kepala BPMA, Nasri Djalal, menekankan pentingnya pengelolaan yang baik agar tidak terjadi ketidakadilan seperti yang pernah terjadi pada masa operasi PT Arun.

Nasri Djalal menjelaskan bahwa karena lokasi temuan gas di atas 12 mil laut, pengelolaannya berada di bawah SKK Migas. Aceh hanya mendapatkan 30% dari bagi hasil, sementara pemerintah pusat mendapatkan 70%. Ia mengingatkan sejarah PT Arun dan perlu ada keadilan dalam pembagian keuntungan dari penemuan ladang gas baru ini. Revisi UUPA diharapkan dapat memperbaiki perimbangan ini.

Teuku Kamaruzzaman menekankan bahwa tujuan revisi UUPA adalah untuk menciptakan keadilan dan kemakmuran bagi masyarakat Aceh. Shaummil Hadi menambahkan bahwa Aceh harus mempersiapkan sumber daya manusianya untuk dapat berpartisipasi dalam industri migas, dan bahwa investasi di sektor lain juga perlu dikembangkan untuk menciptakan lapangan kerja.

Tata Kelola dan Ongkos Perdamaian

Masalah tata kelola pemerintahan juga menjadi sorotan. Syaiful Mahdi, peneliti dari Universitas Syiah Kuala, mengatakan bahwa Jakarta terkesan menutup mata terhadap masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme di Aceh dengan alasan masa transisi. Ia menduga ini sebagai “ongkos perdamaian” atau “peace dividend”. Teuku Kamaruzzaman mengakui adanya masalah birokrasi di Aceh yang mengakibatkan banyak dana yang terserap untuk belanja aparatur bukan untuk belanja modal atau pelayanan publik. Shaummil Hadi menekankan pentingnya tata kelola yang baik dalam penggunaan dana otsus. Sementara itu, Munawar Liza menganggap masalah tata kelola bukan khas Aceh, melainkan masalah yang lebih luas di Indonesia.

Kesimpulannya, peringatan 20 tahun perdamaian Aceh menunjukkan suatu kenyataan yang kompleks. Meskipun perdamaian telah tercapai, tantangan kesejahteraan ekonomi, ketidakadilan, dan tata kelola pemerintahan yang baik masih menjadi PR besar yang harus diselesaikan bersama oleh pemerintah pusat dan Aceh.

  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: ‘Hikmah terbesar dari tsunami adalah perdamaian Indonesia-GAM’
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
  • Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Kisah ‘bocah ajaib’ Martunis Ronaldo bertahan hidup selama 21 hari – ‘Saya dikelilingi mayat dan dikira hantu’


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *