Lima negara—Prancis, Kanada, Jepang, Inggris (UK), dan Australia—bersiap mengakui kedaulatan Palestina dengan beberapa syarat di Sidang Umum PBB September mendatang. Langkah ini berpotensi mengubah peta politik Timur Tengah secara signifikan.
Apabila Inggris dan Prancis benar-benar mengakui kedaulatan Palestina, dukungan untuk Palestina di Dewan Keamanan PBB akan meningkat drastis. Rusia dan China telah lebih dulu mengakui negara tersebut, meninggalkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya anggota tetap Dewan Keamanan yang menolak pengakuan tersebut—sebuah posisi yang mencerminkan hubungan kuat AS dengan Israel.
Saat ini, 147 dari 193 negara anggota PBB telah mengakui Palestina, termasuk Indonesia. Selandia Baru juga sedang mempertimbangkan langkah serupa sebelum Sidang Umum PBB.
Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, menjelaskan bahwa pengakuan ini akan “menghidupkan kembali prospek solusi dua negara” dan “melihat komitmen Israel untuk menyetujui gencatan senjata.” Namun, pengakuan ini memiliki konsekuensi yang luas dan kompleks.
Apa Arti Pengakuan Kedaulatan Terhadap Palestina? Meskipun Palestina memiliki misi diplomatik di luar negeri dan berpartisipasi dalam Olimpiade, kedaulatannya belumlah utuh. Pengakuan dari negara-negara tersebut, karenanya, bersifat simbolis namun sarat makna politik dan moral. Simbolisme ini berpotensi mengubah dinamika konflik di lapangan.
Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menekankan tanggung jawab khusus Inggris dalam mendukung solusi dua negara, merujuk pada Deklarasi Balfour 1917. Deklarasi ini, yang mendukung “pembentukan sebuah rumah nasional bagi bangsa Yahudi di Palestina,” juga memuat janji untuk tidak merugikan hak-hak komunitas non-Yahudi. Namun, pendukung Israel berpendapat Deklarasi Balfour tidak secara eksplisit mengakui hak nasional Palestina.
Periode mandat Inggris di Palestina (1922-1948) dan berdirinya Israel pada tahun 1948 menandai babak baru konflik yang berkepanjangan. Ketiadaan perbatasan yang diakui secara internasional, ibu kota, dan tentara menjadi realita pahit bagi Palestina. Meskipun ada perjanjian damai pada tahun 1990-an, pendudukan militer Israel di Tepi Barat dan situasi di Gaza terus menjadi sumber ketegangan dan konflik.
Solusi Dua Negara: Sebuah Harapan yang Pudar? “Solusi dua negara”—pembentukan negara Palestina berdampingan dengan Israel di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur dan Jalur Gaza—terus diusulkan sebagai jalan keluar. Namun, kolonisasi Israel di Tepi Barat, yang ilegal menurut hukum internasional, telah mengikis harapan akan solusi ini. Upaya menciptakan negara Palestina yang sejajar tetap menghadapi berbagai tantangan.
Pengaruh Dukungan Inggris dan Negara Lain Pengaruh Inggris di dunia internasional pada tahun 2025 berbeda dengan tahun 1917. Namun, beberapa faktor mendorong keputusan Inggris, termasuk desakan parlemen, kemarahan publik atas konflik Gaza, dan pergeseran opini publik di Inggris.
Perdana Menteri Inggris, Sir Keir Starmer, mengajukan beberapa syarat untuk pengakuan kedaulatan Palestina: Israel harus mengakhiri penderitaan di Gaza, mencapai gencatan senjata, menahan diri dari aneksasi wilayah di Tepi Barat, dan berkomitmen pada proses perdamaian menuju solusi dua negara. Syarat-syarat ini, mengingat penolakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terhadap pembentukan negara Palestina, tampak sulit dipenuhi sebelum September.
Di sisi lain, Wakil Presiden AS, JD Vance, menegaskan kembali bahwa AS tidak akan mengakui negara Palestina, mengutip kurang berfungsinya pemerintahan Palestina. Meskipun AS mengakui Otoritas Palestina, pengakuan resmi terhadap negara Palestina masih belum terjadi. Kebijakan AS di bawah pemerintahan Donald Trump, yang sangat condong mendukung Israel, semakin mempersulit jalan menuju solusi dua negara.
Tanpa dukungan AS, sekutu terkuat Israel, prospek perdamaian dan solusi dua negara di masa depan tetap suram. Pengakuan kedaulatan Palestina oleh beberapa negara, meskipun simbolis, tetap menjadi langkah penting dalam dinamika politik yang kompleks ini.