BR Diculik: Tragedi Anak Makassar, Eksploitasi Masyarakat Adat, dan Pencegahannya

Posted on

Kasus penculikan anak berinisial BR, yang kisahnya viral setelah berpindah tangan dari Makassar hingga ke pelosok Jambi, secara gamblang menyingkap kerentanan kelompok-kelompok seperti anak-anak dan masyarakat adat terhadap eksploitasi. Para ahli menegaskan, situasi rentan ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak tak bertanggung jawab, sementara upaya penelusuran pelaku utama dalam kasus serupa seringkali terhenti di tengah jalan. Perlindungan dan pemenuhan hak bagi kelompok rentan ini, termasuk masyarakat adat dan anak-anak, masih sangat minim, membuka peluang bagi mereka untuk menjadi korban berulang kali.

BR berakhir di tangan Begendang, seorang anggota Orang Rimba di pedalaman Jambi, setelah melalui tiga kali perpindahan kepemilikan. Tumenggung Sikar, ayah Begendang, menyampaikan motivasi mereka yang tulus kepada BBC Indonesia pada Kamis (13/11/2025). “Daripada dibawa ke mana-mana lebih baik kami yang ganti rugi supaya kami rawat seperti anak sendiri. Itu pikiran kami, tidak ada yang lain. Untuk menyelamatkan jiwa anak itu, daripada dilempar keluar,” ujarnya, menggambarkan kepedulian yang mendalam.

Narasi kepolisian yang menyebut proses negosiasi alot, bahkan menuding masyarakat adat enggan melepas BR hingga disepakati penukaran dengan sebuah mobil, menciptakan kegaduhan di media sosial dan berujung pada stigma negatif terhadap Orang Rimba. Namun, Begendang membantah keras tuduhan tersebut. Ia mengaku didatangi oleh seseorang yang meminta bantuan untuk merawat BR karena keluarganya tidak mampu lagi. Istri Begendang, yang merasa iba, kemudian bersedia mengasuhnya. Tumenggung Sikar juga menegaskan bahwa tidak ada penukaran seperti yang dinarasikan polisi, melainkan mobil tersebut adalah jaminan.

Mamik Sri Supatmi, Kriminolog Universitas Indonesia (UI), mendesak aparat dan publik untuk tidak gegabah menyudutkan atau menghakimi masyarakat adat, seolah-olah mereka memiliki niat jahat. “Mereka dimanfaatkan dan dieksploitasi. Para penjahat utamanya memanfaatkan situasi rentan mereka. Yang harus dikejar adalah otak dari kejahatan sebenarnya dan yang paling banyak mendapatkan keuntungan,” tegas Mamik, mengarahkan fokus pada dalang kejahatan. Robert Aritonang, Antropolog dari KKI Warsi, menambahkan bahwa masyarakat adat, termasuk Orang Rimba, telah kehilangan hutan sebagai sumber kehidupan mereka, digantikan oleh perkebunan dan konsesi. Kondisi ini membuat mereka kehilangan akses terhadap pangan, air, dan penghidupan, sehingga sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak luar.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, juga merasa ada kejanggalan dan menuntut penyidikan yang hati-hati. Ia khawatir bahwa keberadaan masyarakat adat di pedalaman sengaja dipilih pelaku sebagai tempat transit yang tidak terduga, sementara masyarakat adat sendiri tidak menyadari hal tersebut. Ai juga menyoroti bahwa “ruang ramah anak” yang kerap digembar-gemborkan pemerintah hanya berpegang pada pembangunan infrastruktur, tanpa didukung sistem keamanan yang memadai. Media sosial, yang kini menjadi pintu masuk kejahatan perdagangan anak dan penculikan, juga harus dibongkar jaringannya agar kelompok rentan tidak terus-menerus menjadi korban.

Bagaimana kronologi penculikan BR?

  • Kesaksian orang tua

Kisah hilangnya balita BR bermula di Taman Pakui Sayang, Jalan AP Pettarani, Makassar, pada Minggu pagi (02/11). Ayah BR, Dwi Nurmas, awalnya berencana mengajar tenis, namun agenda batal. Ia kemudian diajak rekannya bermain tenis. BR, yang semula asyik bermain ponsel, meminta izin untuk bermain di taman bermain yang letaknya bersebelahan dengan lapangan tenis. Dengan kondisi lapangan yang terbuka dan mudahnya memantau sang anak, Dwi merasa aman untuk melepas BR bermain.

“Main pertama, saya panggil namanya. Dia masih jawab ‘iya bapak’. Setelah gim kedua, saya panggil masih ada. Gim ketiga, anak saya sudah tidak ada,” tutur Dwi Nurmas di kediamannya di Makassar kepada wartawan Darul Amri untuk BBC News Indonesia. Dwi dan temannya segera menyisir seluruh taman dan area sekitarnya. Taman bermain saat itu cukup ramai, dengan sejumlah anak lain yang juga bermain. Dwi sempat menghubungi istrinya, mengira BR sudah dijemput pulang, namun istrinya membantah. Pada hari itu, Dwi tidak langsung melapor ke polisi. Ia justru mencoba meminta penerawangan dari “orang pintar” yang menduga BR disembunyikan makhluk gaib di sekitar lokasi.

Merasa tidak yakin, Dwi bersama istri dan keluarga kembali mencari pada hari ketiga. Pihak kafe di Taman Pakui kemudian berinisiatif menghubungi keluarga BR terkait rekaman CCTV. “Hari itu, saya masih mencari tapi dari pihak kafe itu bilang katanya ada ini rekaman CCTV. Itu Selasa kalau tidak salah. Setelah saya lihat itu rekaman baru saya melaporkan ke Polrestabes Makassar,” jelas Dwi. Rekaman CCTV memperlihatkan BR digandeng seorang perempuan berjilbab. Di rekaman lain, BR terlihat mengenakan topi bersama perempuan tanpa jilbab dan dua anak kecil lainnya. Kabar hilangnya BR pun dengan cepat menyebar luas, termasuk melalui media sosial.

  • Versi polisi

Setelah laporan resmi masuk dan publik ramai membicarakan kasus ini di media sosial, Sri Yuliana (30) atau Ana, perempuan dalam rekaman CCTV, berhasil ditangkap pada 5 November. Ia mengaku telah menjual BR kepada pihak lain pada 3 November 2025 karena desakan kebutuhan uang. Ana menawarkan BR melalui Facebook, dan Nadia Hutri (29), warga Sukoharjo, Jawa Tengah, menyambut tawaran tersebut dengan kesepakatan harga Rp3 juta. Nadia kemudian berangkat ke Makassar untuk mengambil BR dari Ana. Dari penangkapan Nadia pada 6 November di Sukoharjo, terungkap bahwa BR dibawa ke Jambi menggunakan pesawat, dengan transit di Jakarta.

Setibanya di Jambi, Nadia menyerahkan BR kepada pasangan Adit (36) dan Meriana (42) dengan harga Rp30 juta. Pasangan ini awalnya mengaku ingin mengadopsi BR karena sudah sembilan tahun menikah namun belum dikaruniai anak. Namun, terungkap bahwa Adit dan Meriana hanya bersandiwara. Sebelum BR, mereka telah menjual sembilan bayi dan satu anak lainnya. BR pun mengalami nasib serupa; ia dijual seharga Rp80 juta kepada Suku Anak Dalam yang diklaim ingin mengadopsi. Adit dan Meriana juga menyertakan surat pernyataan palsu yang disebut berasal dari orang tua BR.

Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Panakkukang Makassar, Iptu Nasrullah, menyatakan tim Polrestabes Makassar langsung bergerak cepat ke Jambi setelah dari Sukoharjo. “Tidak sampai 24 jam, kami langsung bergerak,” ujarnya. Pada 8 November 2025, BR berhasil ditemukan dan dijemput dari masyarakat adat di hutan Merangin, Jambi. Adit dan Meriana juga turut ditangkap. Tim gabungan melakukan perjalanan selama 12 jam menuju daerah Kerinci. “Mentawak itu di wilayah Polres Merangin, itu di Suku Anak Dalam. Kami jelaskan ke pihak-pihak di sana bahwa kasus ini adalah kasus penculikan. Proses negosiasinya berjalan alot, cukup panjang sekitar dua malam satu hari,” kata Nasrullah. Pihak kepolisian menduga bahwa para pelaku penculikan dan perdagangan BR ini terindikasi masuk dalam sindikat tindak pidana perdagangan orang yang terhubung dalam grup media sosial. “Ini kami masih dalam tahap pendalaman, masih dilakukan penyelidikan dari telekomunikasi serta informasi di wilayah terduga. Sekarang baru empat pelaku yang kita amankan,” tambah Nasrullah. BR akhirnya kembali ke pelukan orang tuanya pada 9 November 2025, dan pendampingan psikologis segera diberikan.

  • Kesaksian Orang Rimba

Berdasarkan keterangan Begendang dari Suku Anak Dalam, ia dan istrinya didatangi oleh orang luar yang membawa seorang anak perempuan bernama BR ke kelompok mereka di sekitar Mentawak, Merangin. Orang luar ini meminta anak tersebut dirawat karena berasal dari keluarga kurang mampu, memancing rasa iba Begendang. Namun, ia sempat ragu tentang asal-usul anak itu dan khawatir akan bermasalah di kemudian hari. Meriana kemudian meyakinkan Begendang dengan menyebut BR sebagai bagian dari keluarganya dan menunjukkan selembar surat pernyataan penyerahan dari ibu kandung bermaterai Rp10 ribu, yang diklaim akan mencegah tuntutan di kemudian hari. Begendang, yang tidak bisa membaca, memutuskan untuk percaya pada Meriana.

Begendang kemudian memberikan uang sebesar Rp85 juta kepada Meriana sebagai uang pengganti biaya perawatan sebelumnya. Uang puluhan juta ini merupakan hasil berkebun dan kegiatan ekonomi lainnya selama bertahun-tahun. Begendang, yang telah memiliki lima anak kandung, tulus merawat BR tanpa tujuan lain. Kelima anaknya pun langsung akrab dengan BR, sehingga mereka sering bermain di sekitar sudung (pondok tempat tinggal Suku Anak Dalam) di tengah hutan dan perkebunan sawit di Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Tumenggung Sikar, ayah Begendang, menjelaskan bahwa baik kelompoknya maupun Begendang tidak mengenal Meriana. Sikar heran bagaimana Meriana bisa sampai ke permukiman Suku Anak Dalam dan membawa anak untuk diadopsi. “Kami meminta dia (Meriana) mengantarkan ke rumahnya di Bangko. Jadi, kalau ada masalah, kami bisa ke sana,” katanya.

Sekitar dua hari kemudian, muncul informasi tentang kasus penculikan. Ternyata, anak yang dirawat Begendang adalah korban penculikan. Sikar bersama Tumenggung Jon, Tumenggung Roni, dan tiga petugas Dinas Sosial PPA Merangin, kepolisian, serta pihak lainnya, kemudian melakukan mediasi. Mereka sepakat untuk mengembalikan BR kepada orang tuanya pada 8 November, namun menuntut agar pelaku penculikan mengembalikan uang Rp85 juta yang telah diserahkan Begendang. Karena uang tersebut sudah habis, mobil Pajero milik pelaku dijadikan jaminan. “Jadi, saya tanya sama si pelaku apa yang dipegang supaya bisa kita menyelesaikan masalah ini. Ya mobil ini. Dititiplah mobil ini di tempat aku. Biar aku kasih biaya Rp85 juta [untuk diserahkan kepada Begendang]. Ada kuitansinya. Makanya kami sakit hati ada yang bilang B ditukar,” kata Jon. Tidak hanya itu, Jon dan Sikar sempat meminta pelaku diserahkan kepada Suku Anak Dalam untuk dihukum secara adat, namun pihak kepolisian menolak. “Kalau kami ini sebenarnya lebih ingin pelaku itu supaya bisa dihukum di dalam (secara adat). Cuma pihak [polisi] Makassar bilang tidak bisa, orang itu harus diamankan. Jadi kami mengalah,” kata Jon. Setelah dua jam mediasi, BR dijemput di Bukit Suban, yang membutuhkan perjalanan dua jam untuk mencapainya.

Mengapa masyarakat adat rentan dimanfaatkan?

Robert Aritonang, antropolog dari KKI Warsi, menjelaskan bahwa kelompok yang terlibat dalam kasus ini adalah Orang Rimba Sawitan, yang hidup di sekitar perusahaan besar. Hilangnya ruang hidup telah menciptakan “crash landing sosial“, yaitu kondisi di mana Orang Rimba tiba-tiba dihadapkan pada perubahan dunia luar yang tidak mereka pahami. “Dalam situasi yang tidak mereka mengerti, Orang Rimba bisa dengan mudah percaya pada cerita atau bujukan dari orang luar. Mereka tidak sepenuhnya memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan,” ujar Robert. Melalui kasus ini, masalahnya bukan lagi sekadar penculikan anak. Robert menyoroti bahwa Orang Rimba adalah korban dari sistem yang lebih besar: korban dari kemiskinan struktural, kehilangan wilayah hidup, dan ketidakadilan sosial.

“Ada pihak lain yang memanfaatkan kerentanan mereka. Melalui narasi palsu, janji ekonomi, atau bujukan emosional, Orang Rimba dijadikan alat dalam jejaring kejahatan yang mereka sendiri tidak pahami,” kata Robert. Robert, yang bertahun-tahun mendampingi mereka, mengungkapkan bahwa kondisi hidup Orang Rimba saat ini jauh berbeda dari ketika hutan masih luas. Habisnya areal hutan telah mengikis sumber akar budaya dan penghidupan mereka. Saat ini, sekitar 5.500 jiwa Orang Rimba berada di lima kabupaten di Jambi, dan sekitar 60% di antaranya tidak lagi hidup di hutan. Kelompok yang diberitakan dalam kasus BR ini merupakan “kelompok yang hutannya sudah lama pergi,” terutama karena konversi hutan menjadi perkebunan sawit dan area transmigrasi. Dulu, mereka bergantung pada berburu babi hutan untuk dijual, namun kini hewan buruan itu hampir punah, terutama pasca-Covid. Akibatnya, mereka beralih mengumpulkan sisa-sisa sawit. “Jangan dibayangkan seperti masyarakat umum yang bisa macam-macam profesi. Mereka tersingkir dari sistem sosial ekonomi akibatnya makin terpojok dan tersudutkan karena tidak diterima sistem yang umum,” jelas Robert.

Pembangunan yang terjadi, kata Robert, juga tidak berpihak pada mereka dan gagal memfasilitasi adaptasi mereka. Akibatnya, banyak akses mendasar seperti pendidikan dan kesehatan sulit diperoleh. Selama ini, Orang Rimba dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi nilai kehidupan, menjaga hutan, dan hidup dengan adat yang menghindari konflik, meskipun ada pergeseran cara hidup seperti mulai mengenal teknologi. Terlepas dari hal ini, labelisasi negatif akibat tindakan segelintir orang justru dapat memperparah stigma dan diskriminasi terhadap seluruh komunitas. Robert meminta agar publik dan aparat berhati-hati dalam melihat perkara ini dan tidak menjadikan Orang Rimba sebagai kambing hitam atas persoalan sosial yang lebih luas. “Yang perlu diusut bukan hanya siapa yang terlibat, tetapi siapa yang memanfaatkan Orang Rimba dan menciptakan kondisi yang membuat mereka terjebak dalam situasi ini,” ucap Robert. Persoalan masyarakat adat sebagai kelompok rentan juga dialami di berbagai belahan dunia karena tergerusnya lahan tinggal mereka oleh korporasi dan kebijakan pemerintah. Berdasarkan data PBB, dari 476 komunitas masyarakat adat di dunia, yang hanya sekitar 6% dari populasi global, 19% tercatat sebagai kelompok miskin ekstrem, dengan harapan hidup 20 tahun lebih rendah. Di Indonesia, jumlah masyarakat adat mencapai 64,8 juta atau sekitar 30% dari jumlah penduduk saat ini.

Mengapa perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia masih minim?

Kriminolog UI, Mamik Sri Supatmi, menegaskan bahwa dalam pendekatan hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak, kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak anak sepenuhnya ada pada negara. Mestinya, negara belajar dari berbagai insiden penculikan dan perdagangan anak yang marak terjadi sebelumnya, demi memastikan peristiwa serupa tidak terulang. “Karena korban terutama anak-anak akan mengalami dampak traumatis, juga ancaman tumbuh kembang dan kekerasan-kekerasan yang lain yang dialami selama waktu penculikan atau trafficking,” jelas Mamik. Selain negara, tanggung jawab pengawasan juga diemban oleh orang dewasa dan komunitas. “Orang tua tidak sibuk sendiri yang kemudian lalai, orang tua juga bisa semestinya diminta pertanggungjawaban juga orang-orang di sekitar,” kata Mamik. Ia menambahkan, “Tapi ini juga menunjukkan bahwa kepedulian kita sebagai masyarakat terhadap anak-anak atau orang-orang di sekitarnya juga tidak terlalu baik. Artinya tidak peka pada anak yang dibawa oleh orang asing hanya karena yang membawa perempuan dan bersama anak-anak.”

Menurut Mamik, modus atau cara-cara ini sudah dirancang oleh para penjahat utama agar orang yang melihat berasumsi bahwa perempuan tersebut adalah ibunya, apalagi jika ada anak lain yang seolah-olah tampak seperti keluarga. Dengan situasi dan modus seperti ini, sistem perlindungan anak yang masih sangat lemah, serta kepedulian negara, komunitas, dan masyarakat yang minim, perlu diperkuat secara signifikan. Wakil Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah, berpendapat bahwa selama ini upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak masih menghadapi hambatan. Program ruang ramah anak yang digagas pemerintah juga lebih menitikberatkan pada ketersediaan infrastruktur tanpa dukungan faktor-faktor penting lainnya.

Menurut Ai, para pelaku kejahatan tampaknya sudah memetakan tempat-tempat yang sering menjadi lokasi berkumpul anak-anak. Saat sekolah, jam berangkat dan pulang menjadi waktu krusial yang berpotensi menciptakan kesempatan bagi pelaku penculikan. Taman bermain hingga perpustakaan juga berisiko. “Ruang publik ramah anak yang terawasi dengan baik ini sangat mendesak dan masih perlu diadvokasi bersama,” ujar Ai. Mengacu pada kejadian yang menimpa BR di taman bermain, diyakini bahwa sindikat penculik telah memantau titik-titik yang memungkinkan. Oleh karena itu, sarana dan prasarana yang disediakan harus disertai kamera pengawas, petugas yang sigap, dan sistem pengaduan yang cekatan. Ai menyatakan bahwa perlindungan dan pemenuhan hak anak selalu dititikberatkan pada orang tua. Hal ini benar, namun lingkungan sekitar, bahkan negara, juga turut bertanggung jawab mengingat anak-anak menjalani kehidupan sosial dan berbaur dengan masyarakat. “Basis pengawasan ini harus tetap langgeng, tidak boleh kendor. Dari keluarga, orang yang dipercaya menjaga anak, tetangga itu harus terkoneksi. Di lingkungan yang lebih luas, ada sekolah, pengajar, hingga masyarakat umum,” tegas Ai.

Pekerja Sosial Ahli Pertama Dinas Sosial PPA Merangin, Nurul Anggraini Pratiwi, satu-satunya orang yang diizinkan menjemput BR di Bukit Suban, mengakui bahwa BR sempat menolak untuk dibawa. “Saya meminta maaf. Saya memeluk induknya. Peluk anaknya juga. Karena tidak mau, saya minta izin untuk membawa BR. Akhirnya, mereka setuju dan legowo. Cuma, anak itu memang tidak mau. Karena mungkin, sebelumnya dia kan berpindah-pindah. Jadi, saat di sana dia sudah merasa aman,” kata Nurul. Ia menambahkan, “Dari induk juga ngomong tidak tahu penculikan dan semacamnya. Yang kami tahu dia diterlantarkan oleh orang tuanya.” Setelah dibawa, Nurul mengungkapkan bahwa BR sempat ketakutan, namun ia terus meyakinkan BR bahwa ia sudah berada di tempat aman dan akan kembali ke keluarganya. Fifi Syahrir dan Dwi Nurmas, orang tua BR, menyampaikan bahwa kondisi anak mereka kini ceria, terutama saat bermain bersama sepupu. Keduanya mengakui, BR kadang tantrum saat meminta sesuatu. Mengenai pengalamannya, Fifi memilih menghindari pembicaraan, meskipun sesekali BR menyebut tentang hutan, om, tante, adik bayi, dan anjing.

Berdasarkan Laporan Kinerja Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 2024, Indeks Pemenuhan Hak Anak masih belum mencapai target, berada pada angka 60,75. Program Kota Layak Anak yang digagas nyatanya tidak selalu sebanding dengan hasil Indeks Pemenuhan Hak Anak. Predikat Kota Layak Anak tidak menjamin perlindungan optimal; Makassar, misalnya, memperoleh predikat Kota Layak Anak pada Agustus 2025. Di sisi lain, laporan tersebut juga mencatat bahwa pemenuhan hak anak tidak terpenuhi karena pengasuhan yang tidak layak, seringkali disebabkan minimnya pemahaman orang tua atau pengasuh mengenai pengasuhan berbasis hak anak. UNICEF juga menyoroti anggaran pemerintah untuk melindungi anak-anak dari kekerasan hanya kurang dari 0,1% dari total anggaran. Prosedur administrasi publik yang kompleks juga menyulitkan penyediaan layanan yang efektif untuk anak-anak. Selain itu, problem kepemilikan akta kelahiran pada anak juga menjadi perhatian; ketiadaan akta kelahiran dapat semakin memuluskan perdagangan anak, meskipun ada juga kemungkinan pemalsuan dokumen, seperti yang dilakukan pelaku pada kasus BR.

Bagaimana sindikat perdagangan anak bekerja?

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Mamik Sri Supatmi, berpendapat bahwa pelaku penculikan BR ini terorganisir, menunjukkan adanya sebuah sindikat. “Kalau digambarkan, organisasi kriminal ini semacam piramida bentuknya,” jelasnya. Pertama, melibatkan orang-orang yang disebut aktor utama. Mereka merancang dan mendesain kejahatan, serta merekrut individu yang bertanggung jawab merekrut anggota lain. Pada posisi paling bawah, umumnya terlibat orang-orang miskin atau mereka yang berada dalam situasi mendesak, sehingga tidak punya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Mamik juga menyoroti penggunaan Facebook sebagai wadah sindikat dalam kasus penculikan anak ini. “Jadi, memang Facebook telah menjadi berbagai macam kerjaan penipuan termasuk penculikan anak. Bisa jadi tujuannya untuk adopsi ilegal yang memang menjadi salah satu tujuan dari penculikan anak mengacu pada undang-undang khusus perdagangan orang,” kata Mamik. “Memperhatikan dan belajar dari para pelaku penculikan dan perdagangan anak pada balita BR ini sampai berpindah tangan beberapa kali. Ini kan menunjukkan bekerjanya kejahatan yang terorganisir. Dan ini menjadi salah satu hal yang semestinya sudah bisa diantisipasi, diawasi karena sudah berulang kali terjadi.” Namun, pengawasan kejahatan yang difasilitasi oleh internet atau cybercrime, baik penipuan perbankan, penipuan data diri, doxing, hingga perdagangan anak, terbilang minim, padahal seharusnya mudah dideteksi oleh pemerintah. Mamik mengkritik bahwa setiap satuan kepolisian memiliki unit khusus penanganan kriminal siber, bahkan ada satuan khusus, sehingga semestinya bisa dikerahkan untuk memantau kejahatan terorganisir semacam ini. Apalagi, sepak terjang grup adopsi ilegal dan perdagangan anak ini terang-terangan di Facebook, namun urung diberantas.

“Aparat penegak hukum dan pihak-pihak seperti yang punya otoritas terkait akses pada internet dan surveillance ini kalau memantau warga yang kritis, sigap sekali. Bahkan mengkriminalisasi suara-suara yang kritis itu sangat berlebihan, sangat represif,” ujar Mamik. “Tapi ketika berhadapan dengan para penjahat yang sesungguhnya, seperti para trafficker anak, para pelaku cybercrime seperti pornografi online, prostitusi online, dan lain-lain kejahatan yang difasilitasi internet, termasuk juga yang difasilitasi oleh platform-platform media sosial seperti Facebook dan platform yang lain, cukup berbeda.” Menurut Mamik, pemilik platform media sosial juga harus bertanggung jawab dan wajib dimintai pertanggungjawabannya. “Enggak bisa bilang bahwa ini kan kami hanya menyiapkan sehingga yang terjadi di ruang yang mereka ciptakan bukan tanggung jawab mereka. Enggak bisa lepas tangan begitu.” Ia menambahkan bahwa kasus penculikan anak yang mengarah pada perdagangan orang, seperti yang terjadi pada BR, umumnya menargetkan perempuan dan anak-anak karena adanya anggapan bahwa mereka memiliki nilai jual tinggi.

‘Melihat utuh problem kelompok rentan’

Bak sudah jatuh tertimpa tangga, keluarga Begendang tidak hanya kehilangan anak angkat, tetapi juga dirundung stigma. Berbagai konten di media sosial telah menuduh Suku Anak Dalam terlibat dalam sindikat penculikan anak. “Anak kami dijebak,” kata Tumenggung Sikar, ayah Begendang, membela diri. Tidak hanya itu, ia juga dituduh menukarkan BR dengan uang dan mobil Pajero. Padahal, ia hanya meminta uangnya sebesar Rp85 juta dikembalikan, dan mobil Pajero hanya menjadi jaminan dari pelaku karena belum bisa mengembalikan uang tersebut.

Suku Anak Dalam juga dituduh menculik seorang anak bernama Kenzi yang hilang pada tahun 2022 di Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Tuduhan ini didukung dengan foto seorang anak yang diduga mirip Kenzi. “Cucu saya Bimo, Kenan, itu disamakan dengan anak yang hilang di daerah Bungo. Sedangkan yang hilang, itu berumur dua tahun. Kalau sekarang seharusnya enam tahun. Kok disamakan dengan cucu saya berusia dua tahun?” tanya Tumenggung Sikar. “Di situlah konflik kemarin. Masuk dari Dinas Sosial, Polres Bungo, Polres Merangin, untuk mengecek anak itu,” tambahnya. Tumenggung Jon berharap tidak ada lagi konten hoaks terkait Suku Anak Dalam. “Kita telusuri, jangan menuduh. Makanya saya tegaskan, sekali lagi diviralkan, akan saya tuntut. Kami minta pada pemerintah, tolong dituntut yang menuduh ini. Kalau beredar terus, saya lapor ke penegak hukum,” katanya, menunjukkan keseriusan mereka.

Merujuk pada PBB, terdapat beberapa kelompok yang diklasifikasikan sebagai kelompok rentan karena rawan dimanfaatkan dan memperoleh stigma, tiga di antaranya adalah anak-anak, masyarakat adat, dan masyarakat miskin. Tiga hal inilah yang menjadi benang merah persoalan sosial yang berujung pada tindakan kriminal seperti penculikan hingga perdagangan anak. Ditilik dari sudut pandang kriminologi, Mamik berkata kemiskinan disebut rentan karena menjadi mudah dieksploitasi dan dimanfaatkan oleh para aktor utama dari kejahatan yang terorganisir. Apalagi secara ekonomi, permintaannya tinggi dari orang yang bisa membayar puluhan juta untuk seorang anak. “Ini juga menjadi salah satu faktor yang membuat kenapa kejahatan ini terus terjadi, selain juga lemahnya sistem perlindungan anak dan penegakan hukum dalam mencegah keberulangan penculikan dan trafficking pada anak-anak,” katanya.

Terkait keterlibatan masyarakat adat dalam persoalan BR ini, Mamik meminta aparat mengkonstruksi kasus secara hati-hati. “Masyarakat adat harus dilihat secara sensitif dan peka. Jangan lupa untuk melihat struktur sosial yang tidak adil dan eksploitatif yang menempatkan mereka sebagai kelompok rentan,” katanya. Menurutnya, diperlukan analisis mendalam yang memahami situasi masyarakat adat dalam tatanan masyarakat kapitalis dan patriarkis ini. “Apalagi mengenai hukum, harus berhati-hati melihat dan menganalisis secara cermat sehingga kemudian bisa menempatkan dan memberikan keadilan tidak hanya pada BR dan keluarga, tapi juga memberikan keadilan pada kelompok rentan yang dianggap terlibat di dalam ini,” ucap Mamik. Pekerja Sosial Ahli Muda Dinas Sosial PPA Merangin, Azrul Affandi, yang kerap menangani persoalan Suku Anak Dalam, juga sepakat bahwa masyarakat adat termasuk kelompok rentan karena rawan dimanfaatkan oleh orang tidak bertanggung jawab, apalagi sebagian besar dari mereka belum bisa membaca. “Walau tahu uang, sebagian besar mereka tidak tahu baca. Mereka biasa merekam omongan lalu disampaikan ke komunitas,” kata Azrul.

Robert Aritonang dari KKI Warsi berharap kasus ini menjadi momentum untuk melihat secara utuh problematika Orang Rimba, dan memulai langkah-langkah pemulihan persoalan sosial mereka, dengan memperluas akses terhadap pendidikan, layanan dasar, dan pengakuan hak atas wilayah hidup. Tidak hanya masyarakat adat, tetapi juga anak dan golongan miskin, tandas Robert, harus mendapat perhatian yang sama.

  • Polisi tangkap dalang sindikat penjualan bayi berkedok adopsi ke Singapura – Seperti apa modus operandinya?
  • Skandal adopsi ilegal: ‘Saya diculik dan dijual’
  • https://www.bbc.com/indonesia/articles/cly7v95r00lo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *