RUU KUHAP ‘Ugal-ugalan’ Dikecam: Kemerdekaan Warga Terancam?

Posted on

RUU KUHAP Disetujui: Ancaman Baru Bagi Kemerdekaan Sipil?

Komisi III DPR dan pemerintah telah mencapai kesepakatan untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Rencananya, RUU KUHAP akan dibawa ke rapat paripurna pada Selasa, 18 November 2025, untuk disahkan menjadi undang-undang. Namun, sejumlah pasal dalam RUU ini menuai kritik tajam dari koalisi masyarakat sipil, yang khawatir akan membuka pintu bagi kesewenang-wenangan aparat penegak hukum.

Kisah Randy, seorang demonstran, menjadi salah satu contoh nyata bagaimana potensi penyalahgunaan wewenang dapat terjadi. Pada Jumat malam, 29 Agustus 2025, di tengah gelombang protes yang meluas, Randy berpamitan kepada orang tuanya untuk mengambil mesin daya gawai yang tertinggal di rumah temannya. Awalnya, ia tak berniat untuk bergabung dalam demonstrasi.

“Karena penasaran, akhirnya saya pergi ke lokasi demo yang malam itu sudah mulai ricuh, di sekitar Palmerah, Jakarta Barat, dekat DPR, jam setengah 10 malam,” ujarnya.

Setibanya di lokasi, Randy mendapati situasi yang sudah sangat kacau. Tembakan gas air mata berulang kali memecah udara. Menyadari dirinya tidak membawa perlengkapan pelindung, seperti masker, Randy memutuskan untuk mundur sejenak.

Namun, efek gas air mata terlalu kuat. Randy tumbang dan harus mendapatkan perawatan medis di tempat. Setelah merasa lebih baik, ia kembali maju, meskipun situasi masih sangat tidak kondusif.

Di persimpangan flyover dekat DPR, Randy mengambil sisa peluru gas air mata dan melemparkannya ke arah rombongan Brimob, meskipun lemparannya tidak mencapai target.

Kemudian, saat Randy berjalan biasa, kejadian yang mengerikan pun menimpanya.

Peringatan: Detail artikel ini bisa mengganggu kenyamanan Anda.

Seorang tak dikenal, mengenakan jaket dan penutup wajah serba hitam, tiba-tiba muncul dari kepulan asap gas air mata dan mendekatinya. Dari arah belakang, Randy dicekap.

Randy berontak, berusaha melepaskan diri, namun kakinya tertahan. Tiga personel Brimob kemudian mendatanginya dan menangkapnya.

Tanpa perlawanan berarti, Randy dibawa ke depan gerbang DPR, tempat pasukan Brimob berada. Di sanalah, menurut pengakuannya, “saya diinjak dan dipukul dengan stik polisi.”

Tak berhenti di situ, sepakan lutut aparat menghantam kepalanya hingga ia pingsan.

Ketika sadar, Randy sudah berada di dalam gedung DPR. Tim medis Brimob menjahit luka di kepalanya. Setelah selesai dijahit, Randy dibawa ke mobil tahanan, di mana ia kembali dipukuli dan ditonjok.

“Di mobil ada orang yang lalu nyamperin. Saya enggak tahu. Dia bertanya siapa yang baru tertangkap,” kata Randy. Begitu orang itu turun, Randy kembali menjadi sasaran pukulan.

Di tengah kekerasan yang dialaminya, Randy melihat dua orang lainnya di dalam mobil tahanan. Ia bertahan di dalam mobil tersebut hingga pagi hari, sekitar pukul delapan, bersama belasan orang lainnya. Mobil tahanan itu kemudian melaju ke Polda Metro Jaya.

“Saya turun dari mobil tahanan. Disuruh jalan jongkok sambil ditendangin,” ungkapnya.

Di kantor polisi, situasi mulai mereda. Randy tidak mengalami kekerasan lebih lanjut. Ia menerima perawatan medis, diberi makan, dan menjalani tes urine sebelum akhirnya diinterogasi.

“Kepala saya bocor, ada empat jahitan yang dilakukan tim medis,” jelasnya.

Mimpi buruk Randy baru berakhir pada Senin dini hari, 1 September 2025, sekitar pukul tiga pagi, ketika keluarganya menjemputnya dari kantor polisi. Polisi baru memberikan informasi setelah menahan Randy selama lebih dari 48 jam. Selama itu, ia tidak didampingi pengacara, dan keluarga maupun orang terdekatnya tidak diberi tahu keberadaannya.

RUU KUHAP: ‘Merebut Paksa Kemerdekaan Diri [Kita]’

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), sebuah gabungan organisasi non-pemerintah, menemukan sejumlah pola pelanggaran berulang selama demonstrasi akhir Agustus lalu. Pola tersebut meliputi kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas waktu, dan proses hukum yang tidak transparan.

Kejadian yang menimpa Randy, dan kasus-kasus serupa, memperlihatkan besarnya kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum dalam rangka “pengamanan,” bahkan sebelum RUU KUHAP disahkan.

Kondisi penegakan hukum selama ini memang telah dikritik oleh berbagai kelompok sipil karena dianggap masih bermasalah. Kehadiran RUU KUHAP, yang tinggal menunggu waktu untuk diterapkan, justru dikhawatirkan akan semakin menjauhkan proses hukum dari keadilan.

Secara sederhana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah pedoman yang mengatur tata cara para penegak hukum – mulai dari polisi hingga jaksa – dalam melaksanakan kewenangannya. KUHAP diharapkan dapat menjawab keluhan masyarakat terkait penanganan kasus, mulai dari laporan pencurian motor yang tidak ditanggapi serius hingga korban kekerasan seksual yang tidak memperoleh keadilan atau penanganan yang layak.

Namun, Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, berpendapat bahwa visi yang termuat dalam RUU KUHAP justru akan berlaku sebaliknya. Alih-alih mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan, RUU KUHAP justru dapat “merebut paksa kemerdekaan diri” melalui pasal-pasalnya yang bermasalah.

“Namun, dalam hal substantif itu banyak yang tidak bisa diakomodasi oleh KUHAP ini, utamanya perspektif dari masyarakat,” tegas Julius kepada BBC News Indonesia.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, berdasarkan draf RUU KUHAP terbaru per 13 November 2025, merinci pasal-pasal problematik tersebut.

Pasal 16 menjadi sorotan karena DPR dan pemerintah memasukkan elemen “pembelian terselubung” (undercover buy) serta “pengiriman di bawah pengawasan” (controlled delivery) ke dalam metode penyelidikan. Sebelumnya, kedua metode ini hanya digunakan untuk tindak pidana khusus, seperti narkotika, dan menjadi kewenangan penyidikan. Kini, keduanya dapat dipraktikkan untuk semua jenis tindak pidana.

Menurut koalisi, perluasan ini “berpotensi membuka penjebakan (entrapment) oleh aparat penegak hukum guna menciptakan tindak pidana” karena sifatnya yang tidak diawasi oleh hakim.

“Dan merekayasa siapa pelakunya yang memang menjadi tujuan tahap penyelidikan itu sendiri untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana,” jelas koalisi.

Beralih ke Pasal 5, koalisi menyebutkan bahwa “semua bisa kena jerat hukum melalui pasal karet dengan dalih mengamankan.” Dalam KUHAP yang berlaku saat ini, tindakan yang diperbolehkan pada tahap penyelidikan sangat terbatas dan sama sekali tidak memperbolehkan penahanan. Namun, dalam Pasal 5 RUU KUHAP, “dapat dilakukan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan bahkan penahanan,” padahal pada tahap ini tindak pidana belum terkonfirmasi.

Salah satu kritik utama terhadap aspek penegakan hukum adalah potensi tindakan sewenang-wenang selama proses penangkapan dan penahanan. Praktiknya, proses penahanan sering kali berlangsung lebih lama dari ketentuan yang ditetapkan, yaitu 1×24 jam. Sayangnya, RUU KUHAP tidak memperbaiki aspek penting ini.

Selain itu, skema penahanan dalam RUU KUHAP dibuat alternatif, yaitu melalui surat perintah penahanan oleh penyidik sendiri atau melalui penetapan hakim. Menurut koalisi, skema ini “terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial.”

Peluang terjadinya penggeledahan, penyitaan, penyadapan, hingga pemblokiran yang didasarkan pada subjektivitas aparat juga menjadi perhatian. Hal ini tercantum dalam Pasal 105, 112A, 124, serta 132A. Aparat dapat melakukan penggeledahan hingga penyadapan tanpa izin pengadilan jika alasan “keadaan mendesak” terpenuhi. Akibatnya, “negara dapat memasuki ruang-ruang privat warga sipil dengan semakin leluasa” dengan dalih “untuk mengusut tindak pidana.”

“Namun, tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya,” tambah koalisi. “Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.”

Kemudian, Pasal 74A RUU KUHAP menjelaskan bahwa kesepakatan damai (diterjemahkan sebagai keadilan restoratif) antara pelaku dan korban dapat dilaksanakan sejak tahap penyelidikan. Koalisi menilai bahwa ketentuan ini memungkinkan lahirnya pemerasan sekaligus pemaksaan.

“Kesepakatan damai dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana. Hal ini sangat dipertanyakan. Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana tapi sudah ada subjek pelaku dan korban?” tanya koalisi.

Selain itu, koalisi mengatakan bahwa “hasil kesepakatan damai yang ditetapkan pengadilan hanya surat penghentian penyidikan,” sedangkan “penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas mana pun.” Aturan ini tertulis di Pasal 79. Koalisi menyebutnya sebagai “ruang gelap penyelidikan.”

Masih terkait dengan keadilan restoratif (restorative justice), koalisi berpandangan bahwa RUU KUHAP “gagal menjamin sistem checks and balances oleh pengadilan.” Pasalnya, penetapan untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap sebagai stempel belaka, “tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial.”

Selanjutnya, Pasal 7 dan 8 menyatakan bahwa semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik khusus diletakkan di bawah koordinasi Polri, sehingga “menjadikan kepolisian lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar,” tegas koalisi.

Pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum, menurut analisis koalisi, dipengaruhi oleh “ancaman pidana.” Bantuan hukum seharusnya “merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus atau ancaman hukuman,” kata koalisi.

Pasal-pasal bantuan hukum, di sisi lain, “terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum,” imbuh koalisi. “Karena di satu sisi bantuan hukum diberikan sebagai kewajiban, tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak maupun dilepaskan,” sebut koalisi.

Tak ketinggalan, pasal-pasal dalam RUU KUHAP dituding “bersifat ableistik lantaran tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” terang koalisi.

Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan “secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum,” ungkap koalisi.

“Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention) karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan,” koalisi menjelaskan.

Koalisi juga mengkritik Pasal 99 RUU KUHAP yang memperlakukan mereka yang mengalami gangguan fisik dan mental berat “tidak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 hari.”

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menilai pembahasan pasal-pasal di RUU KUHAP “sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan di lapangan yang selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana.”

“Mulai dari kasus-kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi, serta pembatasan akses bantuan hukum tidak dijamin sepenuhnya dalam RUU KUHAP,” ucapnya.

Namun, Isnur menambahkan, DPR bersama pemerintah malah memperluas kewenangan penegak hukum polisi yang melegitimasi tindakan subjektif “untuk melakukan penangkapan, penahanan, serta penggeledahan.”

“Mirisnya lagi, ini semua tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga eksternal yang independen. Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat membuka terjadinya penyalahgunaan wewenang,” imbuh Isnur.

Jejak Buruk Penegak Hukum: Salah Tangkap, Penyiksaan, Kekerasan Simultan

Pemberlakuan RUU KUHAP, yang sepertinya tinggal menunggu ketok palu, mengemuka di tengah kritik terhadap aparat penegak hukum terkait berbagai masalah, mulai dari impunitas, transparansi, hingga kriminalisasi.

Pasal 6 RUU KUHAP menyatakan bahwa kepolisian mendapatkan mandat untuk menjadi “penyidik utama” di “semua tindak pidana.”

Kekhawatiran bahwa RUU KUHAP hanya akan menambah kelam proses penegakan hukum yang serampangan tidak lahir dari ruang kosong.

Pada tahun 2013, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap empat pengamen di Cipulir. Keempatnya dituduh melakukan pembunuhan sesama pengamen dengan motif berebut lapak. Mereka disiksa untuk mengakui tindak pidana tersebut dan mendekam di penjara selama kurang lebih tiga tahun.

Hasil persidangan membuktikan bahwa keempat pengamen ini bukan pelaku pembunuhan, dipertegas dengan putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA).

Data yang dikumpulkan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan bahwa sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024, terdapat 15 peristiwa salah tangkap yang dilakukan oleh kepolisian. Sekitar 23 orang menjadi korban, dengan sembilan di antaranya mengalami luka-luka.

Tak hanya salah tangkap, proses penegakan hukum di Indonesia juga kerap kali diwarnai dengan kekerasan di dalam tahanan.

Di Balikpapan pada tahun 2019, seorang warga bernama Herman dituduh mencuri ponsel. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa. Dua hari kemudian, Herman meninggal dunia. Ternyata, Herman dihajar. Enam polisi ditetapkan sebagai tersangka.

Pada tahun 2022, seorang tahanan narkotika di Polres Metro Jakarta Selatan meninggal dunia dengan luka di bagian kaki dan paha. Korban sempat mengaku kepada temannya bahwa ia sering dipukuli. Namun, polisi menyatakan bahwa kematiannya disebabkan oleh sakit demam dan tidak nafsu makan.

Di Banyumas, Jawa Tengah, empat polisi dihukum penjara setelah terbukti menganiaya tahanan hingga meninggal dunia. Kasus ini bermula ketika keluarga melihat kejanggalan di tubuh korban. Awalnya, korban, yang dituduh mencuri kendaraan, dibawa ke kantor polisi dalam keadaan sehat. Tiba-tiba, pihak keluarga mendapat kabar bahwa korban meninggal dunia. Setelah diperiksa, tubuh korban penuh luka.

Di Medan, Sumatra Utara, tujuh anggota kepolisian di Polrestabes Medan ditetapkan sebagai tersangka atas penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang. Pemicunya adalah cekcok antara korban dengan polisi. Tidak terima, polisi menghajar korban sebanyak dua kali. Saat dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa, korban menghembuskan napas terakhir.

Selama periode 2011-2019, tercatat hampir 700 orang menjadi korban penyiksaan dalam tahanan oleh polisi. Sebanyak 63 orang meninggal dunia. Penyiksaan sering kali digunakan untuk memperoleh pengakuan. Korban dipukul, disetrum, dibakar, hingga ditembak.

Senada dengan KontraS, data Amnesty International Indonesia menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan. Sejak tahun 2021 hingga 2024, terjadi lonjakan jumlah penyiksaan oleh aparat penegak hukum, yang didominasi oleh anggota kepolisian (sekitar 75%).

Periode 2021-2022 mencatat setidaknya 15 kasus penyiksaan dengan 25 korban. Angka ini naik menjadi 16 kasus dan 26 korban pada periode 2022-2023. Pada periode berikutnya, 2023-2024, datanya kembali naik menjadi 30 kasus dan 49 korban.

Pola kekerasan juga sering terjadi ketika aparat berhadapan dengan massa demonstrasi.

Pada Agustus 2024, ketika publik menentang revisi Undang-Undang Pilkada yang disebut akan memuluskan jalan bagi Joko Widodo untuk membangun dinasti politik, kekerasan oleh aparat kepolisian mewarnai aksi protes massa.

Data yang dihimpun Amnesty International Indonesia menunjukkan “berulangnya pemolisian kekerasan yang sistematis dan meluas” selama demonstrasi yang berlangsung di 14 kota dari tanggal 22 hingga 29 Agustus 2024.

Selama demonstrasi tersebut, setidaknya 579 orang menjadi korban kekerasan polisi, dengan rincian: 344 orang ditangkap dan ditahan semena-mena, 152 orang mengalami luka-luka akibat serangan fisik, 17 orang terpapar gas air mata, serta 65 lainnya menghadapi penahanan sekaligus kekerasan.

Dalam protes terhadap revisi Undang-Undang TNI yang meletus pada 21-28 Maret 2025, 153 orang ditangkap dan ditahan sewenang-wenang di 15 titik kota atau kabupaten, menurut laporan Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD).

Sementara itu, saat demonstrasi akhir Agustus lalu, Amnesty International Indonesia menilai aparat kepolisian “mengabaikan prinsip peradilan yang adil” dalam penangkapan dan penahanan para demonstran. Hal ini terlihat, misalnya, saat penangkapan mereka yang dituduh sebagai “provokator,” seperti yang menimpa Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen. Menurut Amnesty International Indonesia, aparat kepolisian melarang Delpedro untuk menghubungi keluarga serta pendamping hukum secara langsung. Mereka juga menggeledah kantor Lokataru tanpa membawa surat penggeledahan.

Temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) turut memperkuat data-data di atas. Polisi merupakan pihak yang paling sering diadukan ke Komnas HAM pada rentang 1 Januari 2020 hingga 24 Juni 2024, dengan 176 kasus.

Klasifikasi kasus yang paling sering disampaikan, menurut Komnas HAM, adalah kekerasan oleh aparat, baik dalam bentuk interogasi dengan penyiksaan, penggusuran atau relokasi, sampai kekerasan kepada tahanan. Selanjutnya, ada pembunuhan atau penganiayaan oleh aparat, pemeriksaan terhadap pelapor serta saksi disertai intimidasi dan perlakuan tidak manusiawi, maupun penangkapan dengan penggunaan senjata api secara berlebihan, Komnas HAM menambahkan.

‘Proses Pembahasan yang Ugal-ugalan’

Sejak awal, proses penyusunan RUU KUHAP tidak luput dari sorotan, terutama terkait dengan partisipasi publik yang bermakna.

Pada bulan Juli lalu, pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU KUHAP, sebanyak 1.676 poin, diselesaikan hanya dalam waktu dua hari.

Wakil Ketua DPR RI, Saan Mustopa, mengatakan bahwa RUU KUHAP telah dibahas sejak lama, meskipun penuntasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) hanya memakan waktu dua hari. Saan juga menambahkan bahwa perumusan RUU KUHAP melibatkan banyak pihak untuk berpartisipasi.

“Jadi itu bukan waktu yang cepat. Cuma sudah berlangsung lama itu rapatnya, yang ini rapat-rapat berikutnya. Sebelum-sebelumnya sudah dilakukan,” papar Saan.

Mempertegas pernyataan Saan, Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menuturkan bahwa masyarakat diperbolehkan menginap di Gedung DPR untuk memantau proses diskusi RUU KUHAP. Ia mengaku bingung dengan anggapan bahwa tahapan RUU KUHAP dijalankan secara tidak terbuka.

“Saya minta bisa enggak kawan-kawan menginap di sini? Bareng-bareng kalau, misalnya, sampai malam. Di atas atau di bawah juga enggak apa-apa. Silakan yang mau teman-teman mengikuti proses ini,” jelasnya.

Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP justru menyampaikan pandangan yang berbeda.

Pada 19 Februari 2025, koalisi masyarakat sipil mengirimkan permohonan informasi publik terkait draf dan naskah akademik RUU KUHAP. Hasilnya: tidak ada balasan atau respons.

Dua bulan kemudian, pada 8 April 2025, koalisi sipil menghadiri pertemuan tertutup atas undangan dari Ketua Komisi III DPR RI. Pertemuan tersebut, menurut koalisi sipil, “hanya membahas proses penyusunan tanpa masuk pembahasan substansi, mengingat belum ada draf yang dipublikasikan oleh DPR RI.” Anehnya, koalisi sipil melanjutkan, “pertemuan itu diklaim sebagai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU).”

Sebulan kemudian, pada 27 Mei 2025, koalisi menyampaikan masukan mengenai pembahasan DIM kepada DPR. Namun, pertemuan itu, kata koalisi, tidak ditindaklanjuti, termasuk perihal catatan maupun saran yang pada akhirnya tidak diakomodir.

Sebelumnya, di luar masalah DIM, koalisi sipil juga menyoroti keberadaan draf RUU KUHAP yang lahir dengan sangat cepat. Pada awal Februari 2025, draf itu “muncul tiba-tiba,” kata koalisi, dan seketika disepakati “menjadi draf versi DPR pada awal Maret 2025.”

Terbaru, proses Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP pada masa sidang 2025 hanya berjalan selama dua hari, tepatnya pada 12-13 November 2025. Pemerintah dan DPR mengaku “membahas masukan pasal yang diklaim dari masyarakat sipil,” tegas koalisi.

Meskipun demikian, koalisi sipil menemukan bahwa pembacaan masukan atas pasal di forum itu “tidak akurat dan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal.”

“Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan pemerintah telah mengakomodir masukan,” demikian tutur koalisi.

Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward OS Hiariej, menjelaskan bahwa pembahasan RUU KUHAP wajib diselesaikan tahun ini karena KUHAP memiliki korelasi dengan pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan mulai 2 Januari 2026.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, bahkan senang atau tidak senang, RUU KUHAP harus disahkan pada 2025 ini. RUU KUHAP memiliki implikasi signifikan terhadap KUHP,” terangnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menjelaskan bahwa partisipasi publik dalam perumusan sebuah regulasi tidak sekadar dilihat dari kuantitas, yaitu seberapa sering DPR atau pemerintah mengajak masyarakat sipil untuk turut serta.

“Tapi, bagaimana pembahasan hasil itu secara substansial berdampak pada perkembangan perubahan RUU [Rancangan Undang-Undang]. Ini yang harus dipertanggungjawabkan dan dijelaskan oleh pembuat kebijakan,” tandasnya saat dihubungi BBC News Indonesia.

Iftitah memberikan gambaran bahwa proses penyusunan aturan kebijakan yang ideal adalah dengan melibatkan ahli, didasari kajian atau bukti ilmiah, menggunakan data yang relevan, serta tidak ditempuh secara tergesa-gesa.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengkritik langkah DPR yang dinilainya memutuskan pengesahan RUU KUHAP dengan durasi yang sangat cepat serta menihilkan prinsip kehati-hatian, yang berpotensi berdampak terhadap kualitas aturan yang dikeluarkan.

“Partisipasi, di titik ini, bahkan tidak ada. Mereka mengeklaim [partisipasi] ada [di] waktu penyusunan. Tapi, itu penyusunan juga sering kali dibungkusnya dengan pertemuan-pertemuan informal,” ujarnya.

“Sehingga saya melihat ada gejala lagi: gejala untuk proses pembahasan yang terburu-buru. Kita sering bilang proses pembahasan yang ugal-ugalan.”

  • Mengapa kita harus peduli RUU KUHAP?
  • RUU KUHAP – Pasal-pasal dinilai bermasalah dan 1.676 DIM selesai dibahas dalam dua hari
  • Konsep keadilan restoratif di RUU KUHAP dikritik salah kaprah – ‘Bakal ciptakan rekayasa kasus dan perempuan korban kekerasan makin terpinggirkan’
  • Kontroversi RUU Polri dan RUU KUHAP – Apa saja yang bermasalah dan poin apa yang seharusnya dimuat?
  • Di balik RUU Perampasan Aset: Kisah buron kakak Edy Tansil dan ‘ketakutan dipakai sebagai alat gebuk negara’
  • Petisi tolak RUU KUHP: ‘Bukan hanya menyasar kelompok LGBT’
  • ‘Kekerasan seksual di pesantren bukan dibesar-besarkan’ – Lebih dari 40.000 santri rentan mengalami kekerasan seksual
  • Sejumlah remaja dituduh memperkosa siswi SMA di Jawa Tengah, polisi dituding lamban
  • ‘Saya tidak mau ada korban lain’ – Kasus dugaan pelecehan seksual di Unhas, Satgas PPKS minta dosen terduga pelaku diberhentikan
  • Gaji dan tunjangan anggota DPR lebih Rp100 juta per bulan distop setelah gelombang demonstrasi – ‘Tidak patut saat masyarakat kesulitan ekonomi’
  • Anggota DPR mendapat dana reses Rp2,5 miliar tiap tahun, untuk apa?
  • Tunjangan rumah DPRD Jakarta, Jateng, Jabar, dan Sumut mencapai Rp40 juta-Rp70 juta
  • MK larang polisi aktif duduki jabatan sipil – Apa dampak keputusan ini?
  • Polisi tembak polisi hingga tewas di Sumbar divonis hukuman penjara seumur hidup
  • Anggota TNI bunuh tiga polisi dan terlibat judi sabung ayam di Lampung divonis hukuman mati
  • Siapa aktivis hingga TikToker yang jadi tersangka penghasutan demo Agustus?
  • Aktivis Lokataru ditangkap buntut gelombang demonstrasi Agustus – ‘Pola yang berulang usai unjuk rasa besar’
  • Dua kerangka di Kwitang adalah Reno dan Farhan, demonstran yang hilang selama dua bulan terakhir, kata polisi
  • Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?
  • MK tolak uji formil UU TNI – Apa alasannya dan bagaimana dampaknya?
  • Revisi UU TNI: Apa dampaknya terhadap masyarakat sipil dan mengapa buru-buru disahkan?
  • Setahun pemerintahan Prabowo-Gibran – ‘Arah balik demokrasi’ dan apa saja tantangan yang mungkin dihadapi ke depan?
  • Demo mahasiswa ‘Indonesia Gelap’ di berbagai daerah bikin ‘legitimasi pemerintahan Prabowo oleng’
  • Revisi UU Polri: ‘Perubahan aturan seharusnya fokus hentikan munculnya korban salah tangkap atau kekerasan polisi’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *