
Polemik Ahli Gizi dalam Program Makan Bergizi Gratis: Antara Pengakuan, Beban Kerja, dan Kode Etik Profesi
Pernyataan Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal, yang meremehkan peran ahli gizi dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah memicu gelombang diskusi dan kritik. Isu yang mencuat meliputi jumlah ahli gizi yang dirasa kurang, kurangnya penghargaan terhadap profesi gizi, dan cara memaksimalkan peran mereka dalam implementasi MBG.
Cucun Ahmad Syamsurijal bahkan berpendapat bahwa ahli gizi tidak terlalu penting dalam program MBG, dan tugas mereka bisa digantikan oleh lulusan sekolah menengah yang hanya perlu pelatihan singkat.
Pernyataan kontroversial ini dilontarkan dalam rapat konsolidasi program MBG di Kabupaten Bandung, tak lama setelah Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui kesulitan mencari ahli gizi untuk ditempatkan di dapur umum.
Setelah menuai kritik pedas, terutama di media sosial, politikus dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini kemudian meminta maaf.
Namun, polemik ini telah membuka perdebatan penting: seberapa krusial sebenarnya peran ahli gizi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur umum MBG? Apakah benar bahwa jumlah lulusan pendidikan gizi tidak sebanding dengan jumlah dapur umum yang mencapai hampir 15.000, seperti yang diungkapkan BGN?
Para pengamat menilai bahwa pernyataan yang menganggap ahli gizi tidak diperlukan adalah “ngaco.” Mereka menekankan bahwa keberadaan ahli gizi adalah elemen vital yang tidak bisa digantikan oleh lulusan SMA yang hanya diberi pelatihan singkat.
“Ibarat pilot diganti dengan petugas darat yang dilatih simulasi tiga bulan, tahu-tahu menerbangkan pesawat,” tegas ahli gizi Tan Shot Yen kepada wartawan BBC News Indonesia, Arie Firdaus, pada Selasa (18/11).
Para pengelola SPPG juga mengakui peran krusial ahli gizi dalam menentukan menu paket makan bergizi gratis (MBG). Bahkan, mereka menyebut ahli gizi sebagai pihak yang memikul beban kerja terberat.
Seberapa Krusial Peran Ahli Gizi?
BBC News Indonesia melakukan wawancara dengan sejumlah pengamat dan pengelola SPPG di berbagai daerah untuk memahami lebih dalam tentang kontribusi ahli gizi di lapangan.
Tan Shot Yen berpendapat bahwa anggapan yang meremehkan ahli gizi menunjukkan bahwa politisi dan pejabat di Indonesia “tidak paham profesi ahli gizi.”
Menurutnya, meskipun tugas ahli gizi terkesan sebatas “urusan makanan,” dampak pekerjaan mereka sangatlah besar.
Ahli gizi harus memahami berbagai aspek, termasuk kecukupan energi per jenjang usia, porsi dan kandungan gizi per menu, hingga perhitungan nutrisi terkait teknis memasak.
Selain itu, mereka juga harus memahami risiko keamanan pangan seperti kehigienisan atau sanitasi untuk mencegah kontaminasi bakteri dan keracunan.
“Jika ahli gizi tidak diisi tenaga dengan keilmuan gizi, porsi dan kandungan gizi hanya mengira-ngira, sedangkan ahli gizi menghitung sampai ke gram dan metode masaknya,” jelas Tan.
“Bahan pun bisa diganti seenaknya dan cara masa bisa tidak sesuai standar.”
Oleh karena itu, Tan mengkritik keras anggapan bahwa ahli gizi tidak diperlukan dalam program MBG.
“Program MBG, kalau ‘B’-nya masih bergizi, maka harus dikelola oleh ahli gizi,” tegas Tan.
“Karena ahli gizi itu dapat memastikan bahwa manfaat MBG benar-benar makanan yang bergizi yang sampai ke anak-anak Indonesia.”
Pendapat ini diamini oleh sejumlah pengelola dapur umum MBG.
Eddy Lau, salah seorang pengelola mitra dapur umum BGN di Nusa Tenggara Timur (NTT), mengakui bahwa peran ahli gizi sangat krusial di dapur umumnya.
Eddy mengelola sembilan dapur umum di provinsi tersebut di bawah Yayasan Sinar Mentari Sejati.
Dapur-dapur umum itu tersebar di beberapa daerah, tidak hanya di ibu kota provinsi NTT, Kupang. Setiap dapur umum memiliki satu ahli gizi.
Eddy menuturkan bahwa pengelolaan dapur umum di setiap daerah memiliki tantangan dan keunikan masing-masing.
Contohnya, dapur umum di Kupang bisa mendapatkan beragam bahan baku dengan mudah, sementara SPPG di pelosok NTT sering kesulitan mendapatkan bahan baku tertentu.
Di sinilah peran ahli gizi menjadi sangat penting, terang Eddy.
Ahli gizi menyiapkan alternatif dengan kandungan gizi setara jika suatu bahan tidak tersedia.
“Ia [ahli gizi] akan hitung. Misalnya, hari ini proteinnya sekian dan kalau kurang jika [dikombinasikan] dengan pisang, mungkin harus dengan jeruk. Itu dipersiapkan menunya [secara] harian,” ujar Eddy, mencontohkan tugas ahli gizi.
“Kalau enggak ada ahli gizi, apa yang mau kami hitung? Kami kan tahunya masak saja.”
Tak hanya menyiapkan dan menyusun komposisi makanan, Eddy menyebut ahli gizi juga terlibat dalam pemilihan bahan, pengolahan, pengemasan, hingga pengiriman.
Senada dengan pernyataan dua pengelola SPPG lain yang berlokasi di Pejaten, Jakarta Selatan, dan Padang, Sumatera Barat, yang menyebut ahli gizi terlibat dalam setiap tahapan di dapur umum.
Mereka menyebut ahli gizi tidak hanya membuat siklus menu, tetapi juga harus menjabarkan angka kecukupan gizi, bahan baku, dan standar resep.
Bahkan, menurut Ketua SPPG Pejaten, Iqbal, ahli gizi di dapur umumnya turut mempertimbangkan “apakah ada kemungkinan penerima manfaat alergi atau tidak.”
“Artinya, ia harus punya menu cadangan untuk penerima manfaat yang memiliki alergi pada makanan yang disajikan hari itu,” ujar Iqbal.
“Jadi, seribet itulah kerjaan mereka.”
Salah seorang pengelola dapur umum MBG di Padang yang meminta diidentifikasi sebagai Basrizal menambahkan bahwa ahli gizi biasanya menyusun detail-detail tersebut ke dalam daftar menu MBG untuk 10-12 hari ke depan.
Tugas ini, menurut Basrizal, akan sulit dilakukan oleh seseorang yang tidak mendalami ilmu gizi secara formal.
“Itu tidak bisa didapatkan dari orang yang hanya sekadar mengikuti pelatihan 2-3 bulan,” ujar Basrizal.
“Jadi, itu [ahli gizi] sangat penting, karena ia menyusun dan mengontrol segala aktivitas di dapur.”
Iqbal melanjutkan bahwa petugas gizi yang tidak berkompeten akan berdampak pada banyak hal dalam pengelolaan dapur umum.
Ia mencontohkan pemahaman terhadap bahan makanan yang harus dimiliki seorang ahli gizi.
Jika tidak memahami persentase penyusutan suatu bahan makanan saat dimasak, pengelola berpotensi merugi karena harus membeli bahan yang sama dua kali.
Belum lagi potensi keracunan jika tidak memahami cara penanganan bahan makanan yang telah dibeli.
Ia mencontohkan penanganan produk hewani yang harus langsung dimasukkan ke lemari pendingin dengan suhu tertentu.
“Kalau suhu lemari pendingin tidak optimal, di situ terjadi proses pembusukan,” ujar Iqbal.
“Tidak disadari [busuk], tapi tetap diolah. Di situlah potensi keracunan terjadi.”
Apakah Indonesia Kekurangan Ahli Gizi?
Per November 2025, BGN telah membuka 14.773 SPPG di seluruh Indonesia dan menargetkan penambahan menjadi 25 ribu hingga akhir tahun.
Namun, pertumbuhan dapur umum ini tidak sebanding dengan jumlah ahli gizi yang tersedia, terang BGN.
Dalam pernyataan di sela-sela rapat dengar pendapat bersama Komisi IX DPR pada 12 November, Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan bahwa lembaganya kesulitan mencari ahli gizi untuk ditempatkan di SPPG.
Akibatnya, Dadan Hindayana kala itu mempertimbangkan profesi terkait seperti kesehatan masyarakat dan teknologi pangan untuk mengisi posisi ahli gizi di dapur umum.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2024, jumlah ahli gizi di Indonesia tercatat 34.553 orang. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 36.400 orang.
Dikutip dari Tempo.co, penurunan jumlah ahli gizi itu salah satunya disebabkan kebijakan Kementerian Kesehatan yang mewajibkan lulusan sarjana kesehatan yang bersinggungan langsung dengan masyarakat untuk memiliki surat tanda registrasi (STR).
Kebijakan itu tertuang dalam Pasal 212 ayat 2 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Keberadaan STR sempat digugat Julita Langgu, salah seorang lulusan pendidikan gizi, ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2024 karena dianggap memberatkan.
Dalam permohonannya, Julita menilai kewajiban memiliki STR telah menyebabkan tenaga kesehatan kesulitan mendapatkan pekerjaan di bidang yang bersinggungan dengan masyarakat, termasuk ahli gizi.
Namun, gugatan Julita ditolak sebagian oleh hakim konstitusi pada 3 Januari 2025.
Guru besar pangan dan gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), Ali Khomsan, mengatakan bahwa kekurangan ahli gizi memang berpotensi terjadi jika tidak diantisipasi pemerintah.
Ia menyebut bahwa jumlah program studi ilmu gizi di Indonesia kini tercatat sekitar 133.
Dengan estimasi meluluskan 50 sarjana setiap tahunnya, maka setidaknya terdapat 6.000 orang lulusan ilmu gizi.
Angka itu berpotensi tidak cukup mengimbangi pertumbuhan SPPG yang akan mencapai 25.000 unit pada akhir tahun.
“Belum lagi, kita tahu bahwa lulusan sarjana gizi atau diploma gizi itu sebagian bekerja di tempat lain, bukan di MBG,” kata Ali.
Akibatnya, Ali menilai bahwa pilihan memperluas persyaratan ahli gizi dapat menjadi pertimbangan, seperti membuka opsi dari lulusan sarjana kesehatan masyarakat atau teknologi pangan.
“Tapi, saya kira kurang pas kalau hanya tenaga lulusan SMA yang dilatih kemudian bisa menjadi orang yang memahami gizi,” kata Ali.
“Saya cenderung menggunakan sarjana-sarjana yang terkait ilmu kesehatan, pangan, dan gizi yang kemudian mereka diberikan pelatihan secukupnya.”
Apa Tantangan Ahli Gizi dalam Bertugas?
Ahli Gizi Tan Shot Yen tidak sepakat jika ahli gizi di Indonesia terbatas. Ia menyebut bahwa ahli gizi sebenarnya sudah tersedia di hampir setiap kabupaten, tetapi mereka enggan terlibat dalam program MBG.
Tan menyoroti perkara kontrak kerja atau jam kerja yang tidak jelas sebagai salah satu penyebab keengganan lulusan pendidikan gizi bekerja di SPPG.
“Banyak sekali yang mengeluhkan overtime, jam kerja yang tidak jelas,” kata Tan.
Ada pula kasus pimpinan SPPG yang disebut Tan kadang bersikap semena-mena dalam mengganti menu.
“Kalau ngadepin yang begini terus, ya, selamat tinggal,” terang Tan.
Hal ini pun diakui pengelola SPPG di NTT, Eddy Lau, yang menyebut beban kerja yang berat—dari hulu ke hilir—kerap membuat ahli gizi bekerja overtime.
“Mereka paling kasihan… Mengontrol sampai pagi, sampai pengiriman,” terang Eddy.
“Jadi, jam kerjanya [ahli gizi] malah overtime. Kasihan mereka.”
Iqbal, pengelola SPPG di Pejaten, Jakarta Selatan, menilai bahwa satu SPPG semestinya memiliki dua ahli gizi agar beban kerja tidak berlebih.
“Karena, selain menghitung, ia juga harus turun ke lapangan untuk mengawasi,” ujar Iqbal.
“Idealnya, paling tidak ada dua ahli gizi dalam satu SPPG, karena ada segi perencanaan dan pengawasan.”
“Kami Punya Kode Etik, Punya Tanggung Jawab.”
Salah seorang ahli gizi di dapur umum di NTT, Indri Janisari, mengatakan bahwa ia biasanya mulai bertugas sejak pukul 03.00 setiap hari hingga pendistribusian makanan pada 12.00.
Setelah beristirahat beberapa jam, ia kembali bertugas menjelang sore untuk mengecek bahan makanan yang telah dibeli.
“Harus stay. Lebih dari delapan jam kerja,” kata Indri.
Apakah beban pekerjaan itu sepadan dengan pendapatan?
Indri mengatakan: “mencukupi.”
“Tapi, kalau dilihat jam kerja begini, kayaknya butuh tambahan [pendapatan]. Jam kerjanya sangat gila.”
Indri mengaku bahwa koleganya di dapur-dapur umum MBG lain pun merasakan hal yang sama: beban kerja berlebih, tetapi tidak sepadan dengan pendapatan.
Lantas, kenapa ia dan koleganya masih bertahan?
“Keluhan sama, tapi masih mau [jadi ahli gizi]. Namanya tanggung jawab. Kami punya kode etik. Punya sumpah profesi, ya, harus dijalani,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia merasa “tersinggung” ketika Cucun menganggap ahli gizi tidak diperlukan dalam program MBG.
Jika tidak ingin menghargai ahli gizi, terang Indri, pemerintah semestinya mencabut istilah “bergizi” pada program MBG.
“Akan lebih baik dinamakan program makan gratis, jangan makan bergizi gratis, yang seolah-olah ada pengawasan ahli gizi di dalamnya,” ujarnya.
“Kami punya kode etik, punya tanggung jawab.”
Bagaimana Duduk Perkara Polemik Ini?
Polemik ini bermula saat salah seorang peserta Forum Konsolidasi SPPG se-Kabupaten Bandung mengusulkan agar istilah ahli gizi tidak dipakai jika tenaga yang direkrut di SPPG bukan seorang lulusan gizi.
Ia menyarankan agar posisi tersebut cukup disebut sebagai pengawas produksi dan kualitas atau tenaga quality control (QC).
“Jika pada akhirnya tetap ingin merekrut dari non-gizi, tolong tidak menggunakan embel-embel ahli gizi,” ujar peserta tersebut, dikutip dari video pertemuan.
Namun, saat peserta itu belum menuntaskan pernyataannya, Cucun menyelak dan balik mengkritik gaya penyampaian sang peserta.
“Kamu itu terlalu panjang, yang lain kasihan,” ujar Cucun, seraya menuding peserta itu telah bersikap arogan.
“Saya enggak suka anak muda arogan kayak gini. Mentang-mentang kalian sekarang dibutuhkan negara, kalian bicara undang-undang,” kata Cucun, sembari berkata, “Pembuat kebijakan itu saya.”
Cucun bahkan balik menyebut bahwa istilah ahli gizi tidak diperlukan dalam program MBG.
Ia juga menyebut bahwa posisi itu dapat diisi lulusan sekolah menengah atas (SMA) yang diberi pelatihan singkat.
“Tidak perlu ahli gizi. Cocok enggak? Nanti saya selesaikan di DPR,” ujar Cucun.
“Nanti tinggal ibu Kadinkes melatih orang. Bila perlu di sini, di kabupaten ini, punya anak-anak fresh graduate, anak-anak SMA cerdas dilatih sertifikasi, saya siapkan BNPS. Program MBG tidak perlu kalian yang sombong seperti ini,” terang Cucun.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di media sosial—mayoritas berisi kecaman terhadap Cucun.
Politikus PKB itu belakangan meminta maaf dan bertemu Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) pada Senin (17/11).
Lewat pernyataan di media sosial Instagram-nya: @cucun_centre, ia berdalih bahwa pernyataan dalam forum tersebut merupakan respons atas usulan yang meminta agar embel-embel ‘ahli gizi’ tidak digunakan.
Hal itu, terang Cucun, justru membuka peluang pihak yang bukan ahli gizi untuk masuk ke ruang profesi tersebut serta berpotensi menggeser peran ahli gizi yang memiliki kompetensi terukur.
“Oleh karena itu, penegasan nomenklatur profesi menjadi penting untuk menjaga kepastian peran serta kualitas layanan gizi dan pangan bergizi,” pungkasnya.
—
Wartawan Eliazar Robert di Kupang dan Halbert Chaniago di Padang, berkontribusi dalam laporan ini.
* Pengakuan petugas MBG – ‘Tak punya kontrak kerja, jam kerja tak menentu, dan telat terima gaji’
* Sekolah-sekolah yang mengelola dapur mandiri di tengah ribuan kasus keracunan MBG
* Teka-teki kematian siswi SMK di Bandung Barat yang dikaitkan keracunan MBG



