caristyle.co.id JAKARTA. Industri semen di Indonesia tengah menghadapi tantangan berat. Permintaan semen domestik yang belum pulih menjadi faktor utama yang menekan kinerja emiten-emiten produsen semen.
Kinerja keuangan mayoritas emiten semen mengalami perlambatan. PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), misalnya, mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 3,76% *year on year* (yoy) menjadi Rp 25,30 triliun pada kuartal III-2025. Lebih memprihatinkan lagi, laba bersih SMGR merosot tajam sebesar 84,04% yoy, hanya mencapai Rp 114,83 miliar.
Kondisi serupa juga dialami oleh PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP). Pendapatan INTP turun 3,07% yoy menjadi Rp 12,91 triliun. Meskipun demikian, INTP masih mampu mencatatkan pertumbuhan laba bersih yang tipis sebesar 0,95% yoy menjadi Rp 1,06 triliun.
Grup Sampoerna Jual Seluruh Saham Sampoerna Agro (SGRO) ke Posco International
Emiten lain, PT Cemindo Gemilang Tbk (CMNT), juga mencatatkan penurunan pendapatan sebesar 1,07% yoy menjadi Rp 6,42 triliun. Bahkan, rugi bersih CMNT membengkak 5,72% yoy menjadi Rp 186,82 miliar. Sementara itu, PT Solusi Bangun Indonesia Tbk (SMCB) mengalami penurunan pendapatan yang cukup signifikan, yakni 9,95% yoy menjadi Rp 7,87 triliun. Namun, SMCB mampu mencatatkan kenaikan laba bersih sebesar 12,30% yoy menjadi Rp 474,52 miliar.
Di tengah tren penurunan ini, PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) menjadi satu-satunya emiten yang berhasil mencatatkan kinerja positif baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih. Pendapatan SMBR melonjak 27,14% yoy menjadi Rp 1,78 triliun, sementara laba bersihnya melesat 310,83% yoy menjadi Rp 146,30 miliar.
Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, menilai bahwa industri semen nasional masih menghadapi tantangan yang cukup berat. “Hal ini tercermin dari permintaan semen yang lesu, sementara kelebihan kapasitas semen (oversupply) masih terus terjadi,” ujarnya, Selasa (18/11/2025).
Akibat kombinasi pasokan yang berlebih dan permintaan yang seret, utilisasi pabrik semen di Indonesia rata-rata berada di bawah 60%. “Cuma SMBR yang diuntungkan oleh efek basis rendah dan penetrasi pasar Sumatra yang relatif stabil,” imbuhnya.
Senada dengan Wafi, Analis Fundamental BRI Danareksa Sekuritas, Abida Massi Armand, mengatakan bahwa tekanan yang dihadapi emiten semen sepanjang tahun ini berasal dari masalah kronis oversupply. Kapasitas terpasang industri yang mencapai 122 juta ton per tahun jauh melampaui realisasi permintaan yang hanya 65 juta ton.
Ketidakseimbangan pasokan ini memicu persaingan harga yang intens dan menekan harga jual rata-rata, yang pada akhirnya membatasi pendapatan emiten semen. “Kondisi ini diperburuk oleh permintaan domestik yang lesu akibat pemotongan anggaran infrastruktur dan daya beli konsumen yang belum pulih,” jelasnya, Rabu (19/11/2025).
Saham Legendaris Bangkit: Intip Rekomendasi Saham dan Prospek BUMI, HMSP, ASII
Lebih lanjut, Abida memproyeksikan bahwa prospek kinerja emiten semen pada sisa tahun 2025 dan 2026 mendatang akan kembali menghadapi tekanan berat dari sisi volume penjualan dan pendapatan. Hal ini didasarkan pada proyeksi pertumbuhan konsumsi semen nasional yang cenderung moderat, yakni sebesar 1%–3% pada tahun depan.
Meskipun ada sentimen positif berupa pembukaan blokir anggaran untuk proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), hal ini dinilai belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap penyerapan seluruh kelebihan pasokan secara nasional.
Namun demikian, peluang pemulihan laba bagi emiten semen tetap terbuka melalui katalis positif yang kuat dari sisi biaya (cost tailwinds). Sentimen positif utama bagi emiten di sektor ini adalah deflasi harga energi, khususnya penurunan harga batubara, yang menyumbang 25%-30% dari total biaya produksi semen.
Dengan adanya proyeksi stabilitas harga batubara yang lebih rendah di tahun 2026, hal ini akan secara langsung meningkatkan Gross Margin dari emiten semen. “Pemulihan laba di tahun 2026 kemungkinan besar akan didorong oleh peningkatan margin yang berasal dari efisiensi biaya yang terkendali, bukan dari pertumbuhan volume penjualan yang eksplosif,” terang Abida.
Sementara itu, Wafi menekankan pentingnya bagi emiten semen untuk memperkuat strategi efisiensi energi serta optimalisasi distribusi dan logistik. Selain itu, emiten juga perlu membuka peluang untuk memaksimalkan ekspor semen ke pasar regional yang menawarkan margin lebih sehat, serta melakukan diversifikasi produk dan integrasi dengan segmen hilir.
“Emiten yang aman bertahan biasanya memiliki arus kas kuat, utilitas baik, dan leverage rendah,” tuturnya.
INTP Chart by TradingView
Wafi juga merekomendasikan saham INTP dan SMGR sebagai pilihan investasi yang menarik, dengan target harga masing-masing di level Rp 7.200 per saham dan Rp 3.300 per saham.
Senada, Abida menilai bahwa saham di sektor semen masih layak dipertimbangkan oleh investor jangka panjang, namun dengan pendekatan pemilihan saham yang ketat. Hal ini dikarenakan valuasi sektor semen secara historis cukup murah (undervalued) berdasarkan *price to book value* (PBV) dan EBITDA.
Dia merekomendasikan beli saham SMGR dengan target harga di level Rp 2.750 per saham. Sementara itu, saham INTP direkomendasikan *hold* dengan target harga di level Rp 7.200 per saham.



