Jakarta, IDN Times – Kabar baik bagi sektor perumahan dan pasar modal Indonesia! PT Sarana Multigriya Finansial (Persero) atau SMF mencetak sejarah dengan menerbitkan surat utang korporasi pertama yang memenuhi syarat untuk direpokan (repo) ke Bank Indonesia (BI). Langkah inovatif ini menandai era baru, di mana untuk pertama kalinya sebuah surat utang korporasi diakui sebagai underlying asset dalam operasi moneter yang dijalankan oleh bank sentral.
Direktur Utama SMF, Ananta Wiyogo, menjelaskan bahwa keputusan BI untuk memperluas instrumen underlying repo dan memasukkan obligasi korporasi SMF dalam cakupan operasi moneternya, efektif berlaku sejak 10 November 2025. Pengakuan ini, lanjut Ananta, menjadi bukti kepercayaan otoritas moneter terhadap kualitas aset yang dimiliki SMF, sekaligus mengukuhkan peran strategis perusahaan sebagai penyedia likuiditas dalam ekosistem keuangan nasional.
“Perluasan underlying repo ini adalah langkah strategis untuk memperdalam pasar keuangan, terutama melalui peningkatan likuiditas dan digitalisasi instrumen SMF dalam operasi moneter,” ungkap Ananta saat acara Repo Surat Utang SMF, Kamis (20/11/2025). “Kami sangat yakin bahwa underlying repo ini akan memperkuat kapasitas pembiayaan jangka panjang bagi sektor perumahan, yang merupakan salah satu fokus utama kami,” imbuhnya.
Investasi Sektor Perumahan Pacu Pertumbuhan Ekonomi
Lebih lanjut, Ananta memaparkan hasil kajian SMF Research Institute yang bekerja sama dengan DTS, yang menunjukkan dampak signifikan sektor perumahan terhadap perekonomian. Sektor ini memiliki efek domino yang kuat, memengaruhi setidaknya 185 sektor industri terkait. “Setiap investasi sebesar Rp1 triliun di sektor perumahan berpotensi meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga sekitar Rp1,9 triliun,” jelas Ananta, menggambarkan betapa vitalnya sektor ini bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Data per 31 Oktober 2025 menunjukkan, total outstanding surat utang korporasi nasional mencapai Rp413 triliun. Dari jumlah tersebut, surat utang SMF memiliki porsi yang cukup signifikan, yaitu mencapai Rp25,3 triliun atau sekitar enam persen dari total outstanding nasional.
“Dengan rating nasional ID-AAA dan rating global BBB, surat utang SMF termasuk dalam jajaran instrumen korporasi yang paling dicari dan diminati oleh kalangan perbankan,” tegas Ananta, mencerminkan kepercayaan pasar terhadap fundamental dan kinerja perusahaan.
Penetapan Surat Utang SMF Sebagai Underlying Repo Melalui Proses Ketat
Ananta menjelaskan bahwa penetapan surat utang SMF sebagai underlying repo BI bukanlah proses instan, melainkan melalui serangkaian asesmen mendalam selama beberapa bulan terakhir. Kriteria yang dievaluasi meliputi likuiditas pasar, jumlah outstanding, peringkat kredit (credit rating), status entitas, serta pemenuhan kategori High Quality Liquid Asset (HQLA). Dengan lolosnya SMF dari seluruh penilaian tersebut, semakin mengukuhkan posisinya sebagai penerbit surat utang korporasi yang kredibel dan terpercaya.
Melalui perluasan instrumen ini, Ananta berharap dapat meningkatkan kepercayaan investor dan mendorong pendalaman pasar keuangan yang lebih inklusif. “Kami berharap langkah ini dapat membuka peluang bagi para investor untuk semakin percaya pada surat utang yang diterbitkan oleh SMF. Dengan demikian, SMF dapat terus memberikan pembiayaan jangka panjang yang terjangkau bagi sektor perumahan, sekaligus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” pungkasnya.
BI Resmi Terima Obligasi Korporasi SMF
Pada kesempatan yang sama, Deputi Gubernur Senior BI, Destry Damayanti, membenarkan bahwa selama ini BI hanya menerima Surat Berharga Negara (SBN) dan Surat Berharga Ritel Indonesia (SRBI) sebagai instrumen underlying repo. “Namun, terhitung sejak 10 November 2025, kami secara resmi menerima obligasi korporasi yang diterbitkan oleh SMF untuk direpokan,” ungkap Destry.
Kebijakan ini, lanjut Destry, sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UU P2SK), yang menetapkan tiga tujuan utama BI: menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, menjaga stabilitas sistem keuangan melalui kerja sama dengan lembaga lain, dan memperkuat sistem pembayaran. “Tujuan akhir dari seluruh upaya ini adalah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tegas Destry.
“Ini adalah momen bersejarah, karena untuk pertama kalinya BI menerima repo dari surat berharga korporasi, yaitu PT SMF. Sebelumnya, kami hanya menerima SBN dan SRBI,” tutup Destry, menandai era baru dalam kebijakan moneter dan pengembangan pasar keuangan Indonesia.



