Bobroknya Layanan Kesehatan Papua: Ibu & Bayi Meninggal, Gubernur Geram

Posted on

Tragedi di Jayapura: Ibu dan Bayi Meninggal Setelah Ditolak 4 Rumah Sakit, Gubernur Papua Berang

Kematian tragis seorang ibu, Irene Sokoy, dan bayi yang dikandungnya setelah ditolak oleh empat rumah sakit di Jayapura telah memicu kemarahan Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri. Merespons kejadian memilukan ini, Gubernur Fakhiri mengeluarkan ultimatum keras kepada seluruh fasilitas kesehatan di Provinsi Papua.

Gubernur Mathius menegaskan bahwa tidak ada satu pun fasilitas kesehatan di Papua yang diperbolehkan menolak pasien dengan alasan apapun, termasuk ketidakmampuan finansial. Ia mengancam akan memberikan sanksi tegas bagi fasilitas kesehatan yang melanggar aturan ini.

“Layanan kesehatan bagi ibu dan anak adalah prioritas utama. Jangan sampai ada pertimbangan uang atau status sosial. Layani dulu, masalah biaya itu urusan saya sebagai gubernur dan para bupati,” tegas Mathius, seperti yang dilaporkan oleh wartawan Ikbal Asra dari BBC News Indonesia, Jumat (21/11).

Mathius mengakui bahwa kasus yang menimpa Irene Sokoy adalah gambaran nyata dari buruknya pelayanan kesehatan di Papua.

“Ini adalah cara Tuhan untuk membuka mata kita semua, para pemangku kebijakan, bahwa pelayanan kesehatan di Provinsi Papua masih sangat jauh dari harapan,” ungkap Fakhiri saat mengunjungi kediaman keluarga Irene.

Pada Jumat (21/11) malam, Gubernur Papua beserta sejumlah pejabat Pemerintah Provinsi Papua melayat ke rumah duka Irene Sokoy yang terletak di dermaga Kampung Ifar Besar, Kabupaten Jayapura.

Dalam pertemuan tersebut, pihak keluarga menceritakan kronologi lengkap bagaimana Irene, yang berasal dari Kampung Kensio di Danau Sentani, dibawa menggunakan speedboat ke daratan, kemudian melanjutkan perjalanan darat menuju rumah sakit.

Keluarga mengungkapkan dengan pilu bagaimana Irene dan bayi dalam kandungannya menghembuskan nafas terakhir setelah ditolak dan tidak mendapatkan penanganan medis yang memadai di empat rumah sakit berbeda di Jayapura, pada hari Minggu, 16 November 2025.

Kronologi Kejadian yang Memilukan

Menurut keterangan keluarga Irene Sokoy, peristiwa nahas ini bermula pada hari Minggu (16/11).

Saat itu, Irene mengalami kontraksi di Kampung Kensio, Danau Sentani. Karena ketiadaan fasilitas kesehatan yang memadai di kampung tersebut, keluarga bergegas membawa Irene menggunakan speedboat menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Yowari.

Perjalanan dari Kampung Kensio ke RSUD Yowari memakan waktu sekitar 40-50 menit dengan jarak tempuh kurang lebih 30 kilometer.

“Kami tiba di Rumah Sakit Yowari tepat pukul tiga sore,” ujar Ivan Ibo, adik kandung Irene Sokoy.

Sesampainya di rumah sakit, Irene langsung diperiksa oleh perawat.

“Hasil pemeriksaan menunjukkan tensi ibu normal, detak jantung bayi stabil, dan pembukaan mencapai lima sentimeter. Perawat mengatakan semuanya masih dalam kondisi normal,” lanjut Ivan.

Karena pembukaan tidak mengalami perubahan, Irene dipindahkan ke ruang bersalin untuk pemantauan lebih lanjut pada pukul 18.00 WIT. Di ruang bersalin, perawat menghubungi dokter jaga untuk meminta arahan medis.

Dokter kemudian menyarankan pemberian obat perangsang untuk mempercepat proses persalinan.

Keluarga diminta untuk menebus resep obat di apotek rumah sakit. Ivan menyebutkan bahwa ada empat jenis obat perangsang yang diberikan.

“Ada empat jenis obat, yang pertama cairan infus, kedua antibiotik, dan dua jenis obat perangsang,” jelasnya.

Tepat pukul 20.00 WIT, air ketuban Irene pecah.

Namun, kondisi jantung janin tiba-tiba menurun drastis. Dokter kemudian menyarankan untuk segera dilakukan operasi caesar.

Sayangnya, dokter kandungan di RSUD Yowari sedang tidak berada di tempat. Pihak rumah sakit kemudian memutuskan untuk merujuk pasien ke RS Dian Harapan.

Alfonsina Kabey, ipar Irene yang mendampingi proses rujukan, mengaku panik karena kondisi Irene semakin melemah, sementara tidak ada dokter yang menangani.

“Jika memang tidak ada dokter, mengapa saat menerima kami tidak memberi tahu? Kami bisa mengambil keputusan lain sejak awal,” sesalnya.

Keluarga mendesak agar Irene segera dirujuk ke rumah sakit berikutnya, namun ambulans tak kunjung datang.

“Kami menunggu dari jam 11 malam sampai jam 01.22 dini hari, barulah ambulans tiba. Sementara Irene sudah sangat kesakitan, gelisah, dan terus berteriak,” ungkap Alfonsina.

Baca juga:

* ‘Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia’ – Dugaan malpraktik dan lambatnya pelayanan rumah sakit di Papua
* Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua
* ‘Kalau dilatih tapi fasilitasnya tak ada, percuma juga’ – Apakah tepat rencana pemerintah melatih dokter umum melakukan operasi caesar?

Setibanya di Rumah Sakit Dian Harapan Waena, pasien ditolak dengan alasan ruangan penuh.

“[Staf Rumah Sakit] memeriksa BPJS-nya, ditanggung pemerintah, kelas 3. [Namun ruangan] penuh,” kata Ivan dengan nada kecewa.

Kemudian keluarga melanjutkan perjalanan ke RSUD Abepura. Namun, alih-alih mendapatkan perawatan, keluarga hanya menerima penjelasan singkat bahwa ruang operasi di RSUD Abepura sedang direnovasi, sehingga pasien tidak dapat ditangani di fasilitas tersebut.

Atas arahan RSUD Abepura, keluarga kemudian melanjutkan rujukan ke RS Bhayangkara Jayapura, rumah sakit keempat yang mereka datangi pada hari itu. Namun, lagi-lagi, mereka tidak mendapatkan perawatan.

Keluarga Irene Sokoy mengatakan bahwa RS Bhayangkara Jayapura meminta uang muka sebesar Rp4 juta sebelum memberikan tindakan medis, meskipun pasien dalam kondisi darurat dan terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas 3 yang dibiayai oleh pemerintah.

“Sampai di Rumah Sakit Bhayangkara, pemeriksaan identitas sama, BPJS, pemerintah tanggung, kelas 3. Tapi katanya penuh. Ada ruang VIP, tapi kita harus bayar uang muka 4 juta, baru bisa ditangani,” kata Ivan Ibo dengan nada geram.

Menurut Ivan, keluarga tidak memiliki uang sebesar itu, sehingga tidak ada tindakan medis yang dilakukan di IGD.

“Jadi, tindakan medis itu hanya dilakukan di dalam mobil,” ujarnya.

Setelah pemeriksaan awal di area luar ruang IGD, keluarga diarahkan untuk melanjutkan perjalanan menuju RS Dok II Jayapura, rumah sakit berikutnya yang menjadi rujukan.

Namun, kondisi Irene semakin memburuk di perjalanan.

“Kakak sudah merasa sangat gelisah. Panas di dada saja… sesak,” cerita Ivan dengan suara bergetar.

Di tengah perjalanan, Irene bersandar pada Ivan sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.

“Kakak jatuh di dada saya. Kakak bilang, ‘kalau ada saudara laki-laki, saya sudah tidak bisa.’ Itu saja yang dia katakan, lalu kakak menutup mata,” kenang Ivan.

Ivan berteriak kepada sopir agar memutar balik ke rumah sakit terdekat, yakni RS Bhayangkara.

“Sopir putar balik… kami tiba dan menurunkan kakak korban, membaringkannya di tempat tidur. Mereka memasang alat dari kaki sampai ke dada. Tapi alat-alat itu semua tidak berfungsi,” jelas Ivan.

Ia meyakini bahwa kakaknya telah meninggal dunia di dalam mobil, sebelum tiba kembali di RS Bhayangkara.

Tanggapan Pihak Rumah Sakit

Direktur RSUD Yowari, drg Maryen Braweri, menyatakan bahwa Dinas Kesehatan Papua akan segera melakukan audit maternal untuk menelusuri penyebab kematian Irene Sokoy beserta bayi yang dikandungnya.

Melalui pesan singkat, drg Maryen Braweri mengatakan bahwa audit tersebut merupakan langkah resmi pemerintah daerah untuk memastikan seluruh prosedur pelayanan dijalankan sesuai standar.

“Audit ini bertujuan untuk memastikan seluruh prosedur pelayanan dijalankan sesuai standar dan mengklarifikasi rangkaian kejadian yang dialami pasien sebelum meninggal,” katanya kepada kantor berita Antara, setelah mengikuti rapat daring bersama Dinas Kesehatan Provinsi Papua.

Menurutnya, pihaknya masih menunggu pengumuman hasil audit dari Dinas Kesehatan Provinsi.

Sementara itu, pihak Rumah Sakit Dian Harapan membantah telah menolak pasien rujukan dari RSUD Yowari.

Pihak RSDH mengklaim telah menyampaikan kondisi layanan dan ketersediaan dokter serta ruang perawatan kepada petugas RSUD Yowari sebelum pasien dibawa.

Saat itu, ruang NICU telah terisi penuh oleh delapan bayi, ruang kebidanan penuh, dan dokter spesialis Obstetri dan Ginekologi sedang cuti.

Adapun dokter spesialis anestesi mitra yang akan dipanggil membutuhkan waktu koordinasi tambahan jika harus melakukan operasi darurat.

Namun, saat pemberitahuan ini disampaikan, petugas RSUD Yowari sudah dalam perjalanan membawa pasien ke RS Dian Harapan.

Petugas RSUD Yowari yang tiba di RS Dian Harapan sekitar pukul 01.10 WIT, kemudian meminta dokter jaga RS Dian Harapan memberikan cap rumah sakit dan menyampaikan kepada keluarga pasien bahwa dokter Obgyn dan anestesi tidak siaga dan ruang perawatan penuh.

Setelah penjelasan diterima, pihak keluarga memutuskan untuk melanjutkan rujukan ke rumah sakit lain.

Pihak manajemen RS Dian Harapan menegaskan bahwa seluruh prosedur telah dijalankan sesuai standar dan tidak ada unsur penolakan pasien.

Baca juga:

* Papua: Layanan poliklinik tiga rumah sakit berhenti beroperasi buntut protes tenaga kesehatan
* Puluhan warga Yahukimo dilaporkan meninggal karena kelaparan, mengapa bencana ini terus berulang di Papua?
* ‘Dokter bilang saya kena kanker mulut, saya langsung takut’ – Tradisi mengunyah pinang di Papua, dilema antara budaya dan risiko kesehatan

Direktur RS Bhayangkara, Rommy Sebastian, mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah menolak pasien rujukan. Hanya saja, pihak RSUD Yowari tidak melalui prosedur rujukan, yakni mengisi Sistem Rujukan Terintegrasi (SISRUTE), sebuah sistem informasi berbasis internet yang digunakan untuk mempermudah dan mempercepat proses rujukan pasien antar fasilitas kesehatan.

“Kami tidak pernah menolak pasien, tapi yang jadi pertanyaan kenapa RSUD Yowari apakah rujukan itu sudah melalui prosedur? Karena setiap pasien rujukan harus mengisi SISRUTE agar bisa terbaca oleh kami, nah ini tidak dilakukan, jadi jangan salahkan kami,” katanya kepada Kompas.com, pada Jumat (20/11).

Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua, Arry Pongtiku, menyatakan bahwa kasus kematian Irene Sokoy setelah berpindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain tanpa mendapatkan tindakan medis, menunjukkan kegagalan sistem rujukan dan penanganan kegawatdaruratan di wilayah tersebut.

Arry menjelaskan bahwa pasien seharusnya ditangani sebagai kasus emergensi yang membutuhkan tindakan cepat, bukan dipindahkan berulang kali.

“Kalau namanya emergensi, tidak boleh ada penolakan pasien. Harus bisa dilayani dulu. Administrasi bisa menyusul,” tegasnya.

Arry mengakui sejumlah catatan serius dalam sistem rujukan tersebut, termasuk lemahnya koordinasi antar rumah sakit.

“Rumah sakit-rumah sakit ini harus *aware* kalau ada pasien mau dirujuk. Yang tadi itu hanya komunikasi dari Yowari ke Dian Harapan. Rujukan berikutnya hanya jalan begitu saja. Ini salah satu masalah utamanya,” katanya.

Baca juga:

* Rumah sakit di wilayah Papua ‘nyaris lumpuh’ dan beberapa pasien meninggal dunia akibat kelangkaan obat hingga bahan medis
* Demi biayai infrastruktur PON Papua ‘berstandar internasional’, bantuan perbaikan gizi ‘Anak Asli Papua’ dihapus

Dinas Kesehatan Papua telah mengumpulkan 43 perwakilan dari rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten-kota, IDI, BPJS, dan Persatuan Rumah Sakit dalam pertemuan darurat.

Arry mengatakan bahwa semua pihak sepakat membentuk tim kecil audit bersama UNICEF untuk menelusuri seluruh proses pelayanan dan rujukan.

“Tim audit akan melihat apakah ada kesalahan dan bagaimana memperbaikinya. Nanti hasil audit yang akan menentukan,” jelasnya.

Menanggapi klaim adanya permintaan uang sebelum tindakan di salah satu rumah sakit, Arry menegaskan bahwa pasien gawat darurat tidak boleh dimintai biaya di muka.

“Kalau emergensi, tidak boleh ada penolakan pasien. Kalau ada hal yang tidak bisa diklaim BPJS, Dinas Kesehatan bisa membantu membayarkan untuk pasien Orang Asli Papua,” ujarnya.

Arry menegaskan kembali bahwa keselamatan ibu dan bayi harus menjadi prioritas utama semua fasilitas kesehatan di Papua.

Lemahnya Tata Kelola Pelayanan Kesehatan di Papua

Pengamat kebijakan publik Papua, Methodius Kossay, menyatakan bahwa kasus ini tidak hanya menyangkut aspek teknis medis, tetapi juga menyentuh isu tata kelola kebijakan publik, implementasi regulasi, dan akuntabilitas layanan publik.

Dia melihat setidaknya tiga persoalan fundamental dalam peristiwa ini:

Pertama, kegagalan sistem rujukan.

Kedua, dugaan pelanggaran kewajiban rumah sakit dalam penanganan gawat darurat.

Ketiga, lemahnya pengawasan dan koordinasi layanan kesehatan di tingkat daerah.

“Dalam situasi obstetri gawat darurat, rumah sakit pertama wajib memberikan tindakan stabilisasi medis, bukan langsung merujuk tanpa pertolongan. Ketidakmampuan fasilitas kesehatan memberikan respons cepat pada kasus kritis seperti ini adalah bentuk kesenjangan serius layanan kesehatan di Papua,” tuturnya.

Menurutnya, dalam kasus Irene, terdapat dugaan kuat bahwa pihak rumah sakit melakukan pelanggaran terhadap kewajiban menangani pasien dalam kondisi gawat darurat, sebagaimana diatur dalam Pasal 174 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Pasal 174 (1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat wajib memberikan Pelayanan Kesehatan bagi seseorang yang berada dalam kondisi Gawat Darurat untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan.

Pasal 174 (2) Dalam kondisi Gawat Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dilarang menolak Pasien dan/atau meminta uang muka serta dilarang mendahulukan segala urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya Pelayanan Kesehatan.

Methodius Kossay merekomendasikan agar Pemprov Papua melakukan:

* Audit layanan darurat rumah sakit.
* Penegakan sanksi administratif.
* Pembangunan Sistem Rujukan Terintegrasi (One-Gate Referral System) Papua.
* Penguatan Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) 24 Jam.
* Menjamin tidak ada uang muka pada kasus gawat darurat.

“Kematian Ibu Irene Sokoy bukan semata tragedi keluarga, tetapi tragedi kebijakan publik dalam pelayanan kesehatan yang fundamental. Regulasi sudah jelas yakni pasien gawat darurat tidak boleh ditolak. Tetapi kenyataan menunjukkan sebaliknya,” kata Methodius dengan nada prihatin.

“Pemerintah Provinsi Papua harus turun tangan untuk memastikan bahwa setiap ibu hamil, di setiap kampung, memiliki hak yang sama untuk hidup dan ditolong,” tutupnya.

Angka Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia

Angka kematian ibu dan bayi di Papua jauh melebihi rata-rata nasional.

Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka kematian ibu (AKI) di Provinsi Papua sebesar 565 per 100.000 kelahiran hidup. Adapun AKI di Provinsi Papua Barat sebesar 343 per 100.000 kelahiran hidup.

Angka kematian ibu tersebut jauh melampaui rata-rata nasional sebesar 189 per 100.000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi (AKB) di kedua provinsi ini juga sangat tinggi.

AKB di Papua tercatat sebesar 35 per 1.000 kelahiran hidup dan Papua Barat mencatatkan 27 per 1.000 kelahiran hidup. Sementara AKB rata-rata nasional hanya 19 per 1.000 kelahiran hidup.

Tingginya angka kematian bayi berkaitan erat dengan sejumlah faktor, mulai dari keterbatasan layanan neonatal, minimnya tenaga kesehatan yang terlatih, hingga sulitnya akses transportasi bagi ibu dan bayi di daerah-daerah terpencil.

Wartawan di Papua, Ikbal Asra, berkontribusi dalam artikel ini.

* ‘Banyak pasien datang untuk sembuh, tapi justru meninggal dunia’ – Dugaan malpraktik dan lambatnya pelayanan rumah sakit di Papua
* Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua – ‘Kami butuh puskesmas di kampung ini’
* ‘Kalau dilatih tapi fasilitasnya tak ada, percuma juga’ – Apakah tepat rencana pemerintah melatih dokter umum melakukan operasi caesar?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *