JAKARTA. Pemerintah Indonesia secara resmi memberlakukan moratorium izin pembangunan smelter nikel melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 28/2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berbasis Risiko. Kebijakan penting ini membekukan penerbitan izin baru melalui sistem OSS untuk produk turunan nikel utama, termasuk FeNi, NPI, nickel matte, dan Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
Lebih dari sekadar pembekuan izin baru, aturan ini juga menyasar izin yang sudah terbit namun belum menunjukkan perkembangan konstruksi yang signifikan. Eko Widodo, Kepala Tim Verifikasi Perizinan Usaha Direktorat Industri Logam (ILMATE), menjelaskan bahwa kebijakan ini akan berdampak langsung pada proyek-proyek yang belum memasuki tahap pembangunan fisik. Informasi ini dikutip dari Shanghai Metals Market (SMM).
Lalu, bagaimana nasib proyek yang sudah berjalan? Asosiasi Smelter Nikel Indonesia (FINI) akan membantu perusahaan-perusahaan ini untuk mengajukan dispensasi agar konstruksi tetap dapat dilanjutkan, mengingat investasi telah dilakukan sebelum aturan baru ini berlaku. Sebaliknya, proyek yang belum melakukan pembangunan fisik akan menghadapi tantangan besar untuk memperoleh pengecualian. Pemerintah juga membuka peluang pengecualian bagi smelter yang mengembangkan fasilitas hilir seperti stainless steel atau nickel sulfate, meskipun mereka mengoperasikan smelter NPI, matte, atau MHP di bawah entitas terpisah. Namun, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah setelah melalui proses evaluasi yang ketat.
Analis Mandiri Sekuritas, Ariyanto Kurniawan dan Vanessa Taslim, menilai bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk mengendalikan kelebihan pasokan yang telah membebani harga nikel global selama dua tahun terakhir. Pengetatan kuota Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) telah mendorong harga bijih nikel naik tajam dari sekitar US$ 30 per ton menjadi US$ 53 per ton, sekaligus meningkatkan penerimaan royalti negara.
Sebagai negara pemasok hingga 70% kebutuhan nikel dunia, setiap indikasi pengurangan pasokan dari Indonesia berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap harga nikel di pasar internasional. Pemerintah memiliki kepentingan yang kuat untuk menjaga stabilitas dan meningkatkan harga nikel hilir, dengan tujuan memperbaiki monetisasi sektor hilir yang selama ini tertekan akibat kelebihan pasokan.
Salah satu dampak terbesar dari moratorium ini diperkirakan akan dirasakan pada harga MHP. Hal ini dikarenakan sebagian besar proyek smelter yang masih dalam tahap perencanaan menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL). Data Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi per Desember 2023 mencatat bahwa kapasitas terpasang industri nikel Indonesia mencapai 2,2 juta ton, terdiri dari 1,9 juta ton dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) dan 265.000 ton dengan HPAL. Proyek yang sedang dibangun memiliki kapasitas 890.000 ton (555.000 RKEF dan 305.000 HPAL), sementara proyek yang masih direncanakan mencapai 659.000 ton, dengan mayoritas, yaitu 619.000 ton, merupakan HPAL.
“Jika pemerintah benar-benar menghentikan 50% dari proyek yang masih dalam tahap perencanaan, suplai nikel global pada 2028 diperkirakan akan turun dari proyeksi awal 4,4 juta ton menjadi 4,1 juta ton,” ungkap Ariyanto dalam risetnya pada 19 November 2025. Perubahan signifikan ini berpotensi membalikkan kondisi pasar dari surplus 178.000 ton menjadi defisit 152.000 ton.
Dalam risetnya, analis Mandiri Sekuritas berpendapat bahwa kondisi ini akan menguntungkan pelaku industri HPAL. Trimegah Bangun Persada (NCKL) diprediksi menjadi salah satu penerima manfaat terbesar karena memiliki eksposur langsung terhadap 120.000 ton kapasitas HPAL yang telah beroperasi dengan kepemilikan hingga 45%, serta fasilitas hilir yang memproduksi nickel sulfate dan cobalt sulfate.
Selain itu, Vale Indonesia (INCO) dinilai memiliki prospek yang menjanjikan berkat proyek HPAL berkapasitas 180.000 ton yang ditargetkan selesai pada akhir 2026 hingga 2027, dengan kepemilikan 30%.
Harum Energy (HRUM) juga berada dalam posisi yang menarik karena hampir menyelesaikan proyek HPAL 67.000 ton dengan kepemilikan efektif 26%.
Sementara itu, dampak terhadap Aneka Tambang (ANTM) diperkirakan netral karena eksposurnya terhadap ekspansi HPAL relatif terbatas dibandingkan para pesaingnya.
Moratorium ini menandai perubahan signifikan dalam dinamika industri nikel Indonesia dan mengirimkan sinyal kuat kepada pasar global bahwa fase ekspansi agresif yang menyebabkan kelebihan pasokan mulai dikendalikan. Jika diterapkan secara konsisten, kebijakan ini berpotensi mengangkat kembali harga nikel dan MHP, memperkuat nilai ekonomi sektor hilir, dan mendorong produsen berteknologi HPAL menjadi pemain kunci dalam lanskap industri nikel dunia yang baru.
Ariyanto merekomendasikan overweight untuk saham sektor metal. Saham INCO direkomendasikan buy dengan target harga Rp 5.500, saham NCKL direkomendasikan buy dengan target harga Rp 1.500, saham ANTM ditargetkan di Rp 4.000, dan HRUM dipasang di Rp 1.350 per saham.



