JAKARTA – Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jakarta mengalami peningkatan yang mengkhawatirkan. Menurut Staf Khusus Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Chico Hakim, terdapat lima faktor utama yang menjadi pemicu tingginya angka kekerasan ini. Faktor-faktor tersebut saling terkait dan diperparah oleh dinamika kehidupan urban yang kompleks.
Chico menjelaskan bahwa identifikasi dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) serta laporan dari Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DPAPP) DKI Jakarta menunjukkan bahwa akar masalahnya beragam, mulai dari masalah ekonomi hingga pengaruh media sosial. “Lima faktor utama ini saling terkait, terutama di tengah dinamika urban seperti kemacetan, biaya hidup tinggi, dan perubahan pola keluarga,” ujarnya melalui pesan singkat, Senin (24/11/2025).
Tekanan ekonomi keluarga menjadi faktor dominan yang mendorong terjadinya kekerasan. Dalam situasi sulit seperti pengangguran, beban finansial yang berat, dan inflasi, perempuan dan anak menjadi kelompok yang paling rentan. Kondisi ini seringkali memicu konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Selain masalah ekonomi, pola asuh keluarga juga memegang peranan penting. Kesibukan orang tua dalam mencari nafkah seringkali menyebabkan anak-anak kurang mendapatkan pengasuhan yang memadai. Minimnya pengetahuan tentang *parenting* positif juga turut berkontribusi. “Ini berdampak pada kekerasan emosional atau fisik, di mana anak mencari pelarian di luar rumah yang justru berisiko,” lanjut Chico.
Tak dapat dipungkiri, paparan gawai dan media sosial juga menjadi faktor signifikan. Konten negatif dan kekerasan yang beredar di dunia digital dapat membentuk perilaku, terutama pada remaja. Urbanisasi yang membuat anak-anak semakin bergantung pada gawai turut meningkatkan kasus perundungan (bullying) di media sosial, yang bahkan dapat berujung pada kekerasan fisik.
Faktor lingkungan dan sosial juga tidak bisa diabaikan. Kurangnya kepedulian dari lingkungan sekitar seringkali menjadi pemicu terjadinya kekerasan. Chico menambahkan bahwa dalam banyak kasus, kekerasan terjadi karena minimnya kepedulian warga atau ketimpangan relasi kuasa di sekolah dan komunitas.
Pernikahan dini dan ketimpangan gender masih menjadi penyebab kuat kekerasan terhadap perempuan muda. Kurangnya akses pendidikan dan informasi hukum menyebabkan banyak kasus kekerasan tidak terlaporkan. Survei nasional tahun 2025 menunjukkan bahwa 70 persen korban enggan melapor karena takut stigma. Oleh karena itu, pencegahan harus dimulai dari keluarga dengan memberikan edukasi sejak dini.
Sebelumnya, DPPAPP Provinsi Jakarta mencatat adanya 1.917 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak selama periode Januari-November 2025. Kepala DPPAPP Provinsi Jakarta, Iin Mutmainnah, mengatakan bahwa tren kasus kekerasan ini mengalami kenaikan setiap tahunnya. Bahkan, angka kasus hingga November 2025 hampir menyamai jumlah kasus sepanjang tahun 2024. “Jadi memang trennya naik,” ujarnya seperti dikutip Republika, Ahad (23/11/2025).
Dari total kasus tersebut, kekerasan terhadap anak mendominasi dengan persentase mencapai 53 persen. Iin menjelaskan bahwa angka ini mencakup anak perempuan dan laki-laki di bawah usia 18 tahun.
Berdasarkan data DPPAPP Provinsi Jakarta, sebagian besar kasus kekerasan terjadi di lingkungan rumah (1.132 kasus). Selain itu, lokasi lain yang sering menjadi tempat terjadinya kekerasan adalah jalan (135 kasus), indekos (126 kasus), sekolah (119 kasus), kontrakan (88 kasus), dan lain-lain.
Pelaku kekerasan didominasi oleh suami (503 kasus), diikuti oleh teman (351 kasus), orang tidak dikenal (281 kasus), tetangga (203 kasus), ayah kandung (197 kasus), pacar (147 kasus), dan lain-lain.
Jenis kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan seksual terhadap anak (588 kasus), KDRT terhadap perempuan (412 kasus), kekerasan psikis terhadap perempuan (318 kasus), kekerasan fisik terhadap perempuan (276 kasus), kekerasan fisik terhadap anak (242 kasus), kekerasan psikis terhadap anak (236 kasus), dan kekerasan seksual terhadap anak (184 kasus).
Menyadari permasalahan ini, Iin mengatakan bahwa pihaknya telah menyediakan kanal pengaduan bagi korban, baik secara luring (offline) maupun daring (online), serta layanan konseling. Selain itu, terdapat 44 titik pos pengaduan yang tersebar di 44 kecamatan atau RPTRA, masing-masing dilengkapi dengan dua tenaga ahli, konselor, dan paralegal.
“Artinya kesadaran masyarakat semakin berani mengungkapkan atau *speak up*. Ini menjadi sesuatu pengetahuan yang semakin meningkat di masyarakat untuk berani menyampaikan hal-hal yang mungkin terjadi atau dilihat di lapangan,” pungkasnya.



