
Bencana Sumatera: Pernyataan Kontroversial Pejabat di Tengah Derita Korban Banjir dan Longsor
Gelombang bencana yang menerjang Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dalam sepekan terakhir memicu keprihatinan mendalam. Sayangnya, di tengah duka dan kebutuhan mendesak, sejumlah pejabat publik justru melontarkan pernyataan dan melakukan tindakan kontroversial, alih-alih mengambil langkah-langkah korektif dan mengeluarkan kebijakan yang signifikan untuk mencegah terulangnya tragedi serupa.
Pernyataan-pernyataan yang dianggap kurang sensitif ini muncul di saat banyak warga yang terdampak bencana merasa penanganan yang diberikan belum maksimal. Pengamat kebencanaan pun menilai bahwa rangkaian pernyataan tersebut mencerminkan kurangnya “perspektif kemanusiaan”.
“Ini pembelajaran… perlu empati yang lebih baik,” ungkap Eko Teguh Paripurno, pengamat kebencanaan dari UPN Veteran Yogyakarta.
Hingga Rabu (3/12) sore, tercatat setidaknya 770 orang menjadi korban meninggal akibat bencana di tiga provinsi tersebut. Lalu, apa saja pernyataan kontroversial yang memicu reaksi negatif dari publik? Apakah masyarakat merasa penanganan bencana sudah berjalan efektif?
Rentetan Pernyataan Kontroversial dari Pejabat
Pernyataan kontroversial datang dari berbagai tingkatan pemerintahan, baik daerah maupun pusat. Kepala BNPB Suharyanto, misalnya, sempat menyebut bahwa situasi “mencekam” akibat banjir dan longsor “hanya berseliweran di media sosial.” Pernyataan ini menuai kecaman luas.
Suharyanto kemudian meminta maaf saat mengunjungi Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, dan mengaku terkejut dengan skala bencana yang terjadi. “Saya surprise, tidak mengira sebesar ini,” ujarnya.
Selain itu, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan Dwi Januanto juga sempat menyatakan bahwa gelondongan kayu yang hanyut terbawa banjir adalah “kayu lapuk.” Meski kemudian mengklarifikasi pernyataannya, kesan yang terlanjur muncul di publik adalah upaya untuk menyepelekan masalah.
“Terkait pemberitaan yang berkembang, saya perlu menegaskan bahwa penjelasan kami tidak pernah dimaksudkan untuk menafikan kemungkinan adanya praktik ilegal di balik kayu-kayu yang terbawa banjir,” jelas Dwi Januanto. Ia menambahkan bahwa pihaknya tetap akan menelusuri sumber-sumber kayu dan memastikan setiap unsur illegal logging diproses sesuai ketentuan.
Berita terkait:
* Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
* Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’
* Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
Pada Senin (1/12), Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan juga tak luput dari sorotan. Aksinya memanggul sekarung beras saat meninjau lokasi banjir bandang di Padang, Sumatera Barat, justru dianggap sebagai pencitraan. Video yang diunggah di akun Instagram pribadinya memicu kritik dari warganet yang menyebutnya sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas bencana, mengingat jabatannya sebagai Menteri Kehutanan di masa lalu.
Di Aceh Tenggara, Bupati Salim Fakhry membuat pernyataan mengejutkan dengan mengatakan “kalau bisa Pak Prabowo [Subianto] jadi presiden seumur hidup,” saat presiden mengunjungi daerahnya. Meskipun kemudian diklarifikasi oleh Partai Golkar sebagai ekspresi kegembiraan atas respons cepat presiden, pernyataan tersebut tetap menuai kontroversi.
Bahkan, Prabowo Subianto sendiri, saat meninjau lokasi pengungsian di Sumatera Barat, menyinggung soal pemberantasan korupsi di hadapan para korban bencana. Ia melontarkan pertanyaan kepada pengungsi, “Kalian suka enggak kalau saya sikat itu maling-maling semua?” Pernyataan ini dinilai kurang tepat disampaikan dalam suasana duka dan kebutuhan mendesak para korban.
Baca juga:
* Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
* ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
* Perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar
Minim Empati: Penilaian Pengamat Kebencanaan
Beragam pernyataan dan tindakan kontroversial para pejabat pemerintah disayangkan oleh sejumlah pengamat. Alih-alih fokus membuat kebijakan yang dapat mempercepat penanganan bencana, mereka justru terjebak dalam kontroversi yang kontraproduktif.
Eko Teguh Paripurno menekankan pentingnya pemerintah untuk “meningkatkan komunikasi” yang empatik di tengah duka para korban bencana. “Perspektif kemanusiaan enggak muncul dengan baik,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti Sosial Nanyang Technological University Singapura, Sulfikar Amir, menilai bahwa rangkaian kontroversi tersebut mencerminkan sikap pemerintah yang “meremehkan kondisi di lapangan.” Ia menekankan bahwa dalam prinsip kebencanaan, pemerintah seharusnya bersikap “over estimate daripada under estimate” agar sumber daya yang ada cukup untuk menangani krisis.
Suara Korban: Penanganan Bencana Belum Maksimal
BBC News Indonesia mewawancarai sejumlah korban bencana untuk mengetahui pandangan mereka mengenai penanganan yang telah dilakukan pemerintah. Hasilnya, banyak yang merasa penanganan belum maksimal, meskipun bencana telah berlangsung selama sepekan di beberapa daerah.
Mulyani, warga yang memiliki keluarga di Langsa, Aceh, mengungkapkan bahwa penanganan pemerintah di daerahnya masih minim. Bahkan, titik pengungsian dan dapur umum yang jelas pun belum tersedia. Akibatnya, warga terpaksa mendirikan dapur swadaya. Selain itu, harga kebutuhan pokok juga melonjak drastis, membuat warga semakin kesulitan.
Kondisi serupa juga dialami warga Aceh Tengah yang masih terisolir dan terancam kelaparan akibat pasokan bahan pangan yang menipis. Bahkan, penjualan beras di beberapa toko harus dikawal oleh polisi untuk menghindari kericuhan.
Mairizel, warga Palembayan, Agam, Sumatera Barat, juga merasa kecewa dengan lambannya proses penanganan bencana di wilayahnya. Ia menuturkan bahwa korban luka harus digotong melewati lumpur setinggi dada untuk mendapatkan pertolongan medis. Keterlambatan penanganan ini diakui oleh Sekretaris Daerah Agam, Muhammad Lutfi, yang beralasan bahwa banyaknya bencana yang terjadi di wilayahnya membuat personel harus dibagi-bagi.
Lambatnya Penanganan: Apa Penyebabnya?
Eko Teguh Paripurno menilai bahwa “minim empati” yang ditunjukkan para pejabat pemerintah sudah terlihat sejak fase mitigasi bencana. Kurangnya keseriusan dalam menanggapi peringatan dari BMKG membuat pemerintah terlihat gelagapan saat bencana besar terjadi. Akibatnya, penanganan menjadi berantakan, termasuk lambannya penanganan akses terputus dan distribusi bantuan.
Pengamat kebijakan publik Trubus Rahardiansyah sependapat bahwa penanganan bencana kali ini tergolong terlambat. Ia menduga adanya “kebingungan” di tingkat pemerintah pusat, yang mungkin khawatir peningkatan status bencana menjadi nasional akan menyedot anggaran besar dan mengganggu program-program prioritas.
Sulfikar Amir menambahkan bahwa peran BNPB saat ini tidak lagi maksimal akibat pengurangan anggaran, sehingga sumber daya yang dimiliki pun mengecil. Ia membandingkan dengan respons BNPB saat bencana gempa dan tsunami Palu yang dinilai relatif cepat.
Solusi: Memperbanyak Pos Menyamping
Untuk mempercepat penanganan bencana, Eko menyarankan pemerintah untuk segera “memperbanyak pos menyamping”, yaitu unit terkecil yang berfungsi untuk mendata korban, memberikan layanan kesehatan ringan, dan mendistribusikan logistik. Ia menilai bahwa proses ini belum berjalan optimal dalam penanganan bencana di Sumatera.
Saat ini, banyak wilayah yang masih terisolir dan sulit diakses, sehingga bantuan belum dapat menjangkau seluruh korban. Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa seluruh korban bencana mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Wartawan Iwan Bahagia di Aceh Tengah dan Halbert Chaniago di Agam berkontribusi dalam laporan ini
Paling banyak dibaca:
* Operasi CIA di Indonesia: Film porno, daftar perburuan komunis, hingga Metode Jakarta
* Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
* Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’



