
Banjir Bandang Aceh Tamiang: Kisah Pilu Korban Selamat di Tengah Reruntuhan dan Trauma
Kabupaten Aceh Tamiang menjadi saksi bisu dahsyatnya amukan banjir bandang yang terjadi pada Rabu, 26 November lalu. Desa Lintang Bawah dan Sukajadi menjadi wilayah yang paling parah terdampak, kini hanya menyisakan puing-puing bangunan, kayu gelondongan berserakan, dan genangan lumpur pekat. Di antara reruntuhan itu, terselip kisah-kisah perjuangan hidup para korban selamat yang berhari-hari terisolasi tanpa bantuan.
“Mereka yang selamat terpaksa bertahan di atas atap rumah, tanpa pertolongan sedikit pun,” ujar Fitriana, seorang penyintas dari Desa Lintang Bawah, dengan nada pilu. “Ada juga yang bertahan di atap bersama anaknya yang masih kecil, empat tahun, selama tiga hari tanpa makanan dan minuman.”
Sembilan hari berlalu tanpa uluran tangan, membuat wilayah ini bak “kota zombie,” sebutan seorang warga menggambarkan kengerian situasi dengan kerusakan parah dan aroma bangkai yang menyengat. Dalam kondisi putus asa, sejumlah toko swalayan dan grosir di Aceh Tamiang menjadi sasaran penjarahan warga yang kelaparan, memaksa masuk demi mendapatkan persediaan makanan.
Data dari BNPB pada Sabtu siang (06/12) mencatat, banjir bandang di Aceh Tamiang telah merenggut 48 nyawa dan menyebabkan 18 orang terluka.
Bertahan di Atas Atap Rumah: Luka yang Membekas
Banjir bandang yang menghantam Aceh Tamiang meninggalkan trauma mendalam bagi Fitriana, 53 tahun. Rumahnya di Desa Lintang Bawah, Kecamatan Kuala Simpang, hancur lebur diterjang gelombang air bah dan kayu gelondongan. Ia dan warga lainnya tak sempat menyelamatkan harta benda, bahkan surat-surat berharga, karena air naik begitu cepat.
“Banjir ini adalah yang terparah sepanjang hidup saya,” tutur Fitriana, mengenang bagaimana ia dan warga desa berjuang bertahan hidup di atas atap rumah selama berhari-hari. Malam hari menjadi saat-saat yang paling mencekam. Kegelapan pekat, suara gemuruh banjir, dan hantaman kayu ke rumah-rumah menambah kengerian yang tak terperi.
Menurut Fitriana, sekitar 90% rumah di desanya rata dengan tanah, menyisakan hanya lantai semen. Sekitar 300 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. Kini, Fitriana dan lima keluarga lainnya yang merupakan saudara kandungnya, tinggal di posko darurat yang dibangun secara swadaya dari sisa-sisa kayu rumah yang hanyut. Selain kehilangan tempat tinggal, dua warga desa juga menjadi korban jiwa.
Mengungsi Berkali-kali: Mencari Perlindungan di Tengah Bencana
Nasib serupa dialami warga Desa Sukajadi, di mana hampir seluruh dari 323 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal. M. Nur, seorang imam gampoeng di Desa Sukajadi, menceritakan pengalamannya saat banjir datang.
“[Saat banjir datang] Awalnya kami hanya meletakkan bangku-bangku di dalam rumah. Tapi air terus naik. Untungnya ada perahu yang datang mengevakuasi kami,” kata Nur. Karena istrinya sakit, ia memprioritaskan evakuasi istri dan anaknya terlebih dahulu.
Saat istrinya dievakuasi, M. Nur dan anaknya, Deby, berlindung di lantai dua rumah mereka. Namun, air terus meninggi hingga mencapai leher orang dewasa. Untungnya, perahu segera kembali dan mengevakuasi mereka.
Keluarga Nur dievakuasi ke Desa Kesehatan, namun desa itu pun terendam banjir. Mereka kemudian pindah ke Desa Gampoeng Dalam, yang juga tak luput dari terjangan banjir. “Saat kami tidur, air tiba-tiba sudah membasahi kasur kami,” ujar Nur. “Kami tidak bisa kemana-mana lagi, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi. Untungnya rumah menantu saya bertingkat, jadi kami naik ke atas dan selamat.”
Hingga saat ini, M. Nur belum melihat kondisi rumahnya. “Anak-anak bilang rumah kami sudah rata dengan tanah,” ujarnya dengan nada pasrah.
Penjarahan dan Napi yang Dilepaskan: Kondisi Semakin Memburuk
Arif, warga Kampung Dalam, Aceh Tamiang, menyaksikan langsung aksi penjarahan yang terjadi beberapa hari setelah banjir melanda. Pada Minggu (30/11), sejumlah toko swalayan dan grosir dijarah warga yang kelaparan. “Penjarahan terjadi di mana-mana,” katanya.
“Sehari sebelumnya, kami masih berusaha membeli makanan dengan harga yang sangat mahal. Beras 10 kilogram harganya Rp250.000,” ungkap Arif. Ia juga menambahkan bahwa sejak banjir, tidak ada petugas pemerintah yang datang untuk menyelamatkan warga.
Kondisi yang semakin memburuk memaksa pemerintah untuk melepaskan narapidana di Aceh Tamiang karena lapas terendam banjir parah. “Karena kondisi lapas sudah sampai atap, warga binaan pemasyarakatan terpaksa dikeluarkan demi alasan kemanusiaan,” kata Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas) Agus Andrianto di Jakarta, Jumat (5/12).
Agus mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan kepolisian, TNI, dan pemerintah daerah untuk menampung sementara warga binaan, namun tidak mendapat respons. “Alasannya adalah kemanusiaan. Kalau tidak dilepas, mereka bisa tenggelam,” tutup Agus.
Jalan ke Aceh Tamiang Mulai Diakses: Harapan Mulai Muncul
Enam hari setelah banjir menghantam Aceh Tamiang, pemerintah mulai membuka akses jalan darat dari Kota Medan ke Aceh Tamiang pada Selasa (02/12). “Sejumlah alat berat Dinas Pekerjaan Umum terus membersihkan material berupa tanah, lumpur, dan puing lainnya yang menutup akses,” kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari.
Muhari mengatakan bahwa kendaraan roda empat sudah bisa melewati jalur ke Aceh Tamiang dengan kecepatan terbatas. Selain membuka akses jalan, BNPB juga mengirimkan bantuan melalui jalur udara ke Kecamatan Bandar Pusaka, Aceh Tamiang. Bantuan yang dikirim meliputi makanan siap saji, hygiene kit, paket sembako, selimut, matras, dan alat kebersihan.
Aliran Listrik Pulih: Secercah Cahaya di Tengah Kegelapan
Selain akses jalan darat yang mulai terbuka, PLN juga telah mengirimkan genset untuk memasok listrik ke sejumlah titik di Aceh Tamiang, termasuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Muda Sedia, yang menjadi pusat layanan kesehatan korban bencana. Petugas PLN membawa genset berkapasitas 66.000 watt dan lampu-lampu emergency dari Kota Langsa ke Aceh Tamiang.
“Di tengah kondisi yang serba sulit, kehadiran listrik dari PLN adalah penyelamat. Tanpa itu, banyak tindakan medis yang tidak bisa kami lakukan,” ujar Direktur Utama RSUD Muda Sedia Aceh Tamiang, Andika Putra.
Posko pengungsian di Tamiang Sport Center juga berhasil dialiri listrik oleh jaringan PLN, sehingga proses evakuasi, distribusi logistik, dan pendataan warga dapat berjalan dengan lancar. Untuk mendukung pasokan air bersih, PLN juga mengoperasikan genset 33.000 watt yang dikirim dari Binjai untuk PDAM Aceh Tamiang, sehingga kebutuhan air bersih masyarakat berhasil dinormalkan. PLN juga menyediakan genset 100.000 watt yang saat ini masih dalam proses pengiriman dari Banda Aceh.
—
Wartawan Saddam Husein di Aceh Tamiang berkontribusi dalam artikel ini.
*Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
*Setidaknya 846 orang meninggal dunia, pemerintah berkukuh tak tetapkan bencana nasional di Sumatra
*Setelah banjir mematikan di Sumatra, pemerintah ‘semestinya evaluasi penggunaan lahan’, mungkinkah ini dilakukan?
*Korban banjir Sumatra krisis air bersih, apakah air hujan dan sungai bisa dikonsumsi?
*Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur
*Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
*Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
*Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi – ‘Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur”



