Bendera putih di Aceh – ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’

Posted on

Pengibaran bendera putih di sejumlah wilayah Aceh terus terjadi dalam beberapa hari. Yang terbaru, pada demonstrasi di Banda Aceh, Kamis (18/12) warga menaikkan bendera sebagai “sinyal darurat untuk meminta bantuan sekaligus menarik perhatian internasional”.

Menurut warga yang berunjuk rasa, penanganan bencana oleh pemerintah pusat lamban. Hampir tiga pekan berlalu usai banjir dan longsor, akses transportasi di berbagai daerah Aceh masih putus.

Pasokan bantuan kebutuhan dasar, menurut para demonstran, tidak merata. Stok obat serta bahan bakar minyak di berbagai tempat juga menipis.

“Pengibaran bendera putih ini bukan berarti Aceh mengalah atau menyerah, tetapi ini adalah tanda SOS, untuk menarik perhatian teman-teman yang ada di luar bahwa kondisi di Aceh hari ini begitu buruk,” kata seorang warga yang berdemo, Husnul Khawatinnissa.

Husnul bersama puluhan orang lainnya berkumpul di depan pintu gerbang Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Selain bendera putih, mereka juga membawa berbagai spanduk.

Dari berbagai spanduk tersebut, salah satunya berbunyi “tetapkan status darurat bencana nasional”.

Warga lainnya, Azharul Husna, menyebut pengibaran bendera putih ini merupakan ekspresif kolektif. Dia mengklaim peristiwa ini mewakili kekecewaan serta mengandung makna perlawanan dan kritik sosial.

Azharul menganalogikan bendera putih ini seperti fenomena bendera bajak laut anime One Piece yang banyak dikibarkan warga di beberapa daerah di Indonesia, sejak pertengahan tahun 2025.

“Pengibaran bendera putih ini bentuk panggilan solidaritas internasional. Ini adalah bahasa yang dikenal oleh seluruh dunia,” ujar Azharul.

Pengibaran bendera putih terlihat di sejumlah wilayah Aceh dalam sepekan terakhir, dari desa hingga ke perkotaan, termasuk yang tidak terdampak banjir dan longsor secara langsung.

Bendara putih akan kembali dikibarkan di Aceh Barat oleh kelompok mahasiswa, Jumat besok.

Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, menyebut pengibaran bendera putih ini merupakan panggilan solidaritas terhadap komunitas di luar provinsinya.

“Bendera putih, kalau kami artikan, semua masuk, sebagai solidaritas, rasa simpati, dan rasa ingin dibantu,” kata Muzakir, di Aceh Utara, Kamis (18/12).

Apa tuntutan utama dari orang-orang Aceh yang mengibarkan bendera putih?

Koordinator demonstrasi di Banda Aceh, Kamis ini, Rahmad Maulidin, mengklaim aksi mereka merupakan gerakan yang digagas masyarakat.

“Kami tidak ada kaitan apapun dengan pemerintah Aceh,” ujarnya.

“Gerakan ini kami besarkan didasarkan kekhawatiran masyarakat yang tidak mendapatkan bantuan,” ujarnya Rahmad.

“Hari ini banyak daerah yang terisolir. Jadi ini gerakan rakyat yang tidak ada kaitan apa pun dengan pemerintah,” kata Rahmad.

Rahmad berkata, kelompoknya menuntut tiga hal. Pertama, mereka mendesak pada pemerintah segera menetapkan bencana di Sumatra sebagai bencana nasional.

Kedua, kata Rahmad, mereka menuntut agar pemerintah membuka akses untuk komunitas internasional yang hendak memberikan bantuan ke Sumatra.

Ketiga, mereka mendesak pemerintah secara tegas menindak perusahaan yang merusak lingkungan.

Rahmad menuding putusan pemerintah yang menolak bantuan luar negeri sebagai kebijakan yang keliru.

“Menolak bantuan luar negeri menunjukkan bahwa pemerintah pusat secara nyata memperlambat penanganan, termasuk pemulihan korban, pemulihan fisik dan rehabilitasi infrastruktur,” tuturnya.

Dalam orasinya, Rahmad menuding bencana Sumatra dengan istilah “ekosida”, yang terjadi akibat pengabaian lingkungan.

Merujuk data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), terjadi deforestasi seluas 1,4 juta hektare di hutan-hutan di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat dalam satu dekade.

Dalam perkembangan terbaru, pemerintah berjanji akan menindak perusahaan yang terbukti mengubah lanskap hutan sehingga turut memicu banjir dan longsor.

Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk pemerintah mengklaim telah memetakan setidaknya 31 perusahaan yang diduga secara langsung merusak daerah aliran sungai di berbagai wilayah terdampak banjir dan longsor.

Bendera putih di Banda Aceh

Seorang peserta yang mengikuti pengibaran bendera putih di Banda Aceh, Nurmi, menyoroti situasi di kamp pengungsian, terutama yang alami para perempuan. Ia menyebut para perempuan penyintas bencana di Aceh mengalami kerentanan ganda selama di pengungsian karena minimnya fasilitas.

“Betapa banyak ibu-ibu, kaum wanita, mencuci alat kelamin dengan lumpur,” kata Nurmi.

“Mereka membersihkan haid mereka dengan air banjir, kalau ada,” kata Nurmi sambil berteriak, dengan suara yang serak.

Warga lainnya, Munawar Liza Zainal, menuding penanganan bencana Sumatra “terkesan setengah hati”.

“Kami tidak menyalahkan mereka yang bekerja di lapangan. Kami menyalahkan, mereka-mereka yang sebenarnya mampu menggerakkan kekuatan dunia, yang bisa mengumpulkan pesawat, helikopter,” ujar Munawar.

Merujuk data Posko Tanggap Darurat Bencana Pemerintah Provinsi Aceh, per 18 Desember 2025, korban terdampak bencana di Aceh mencapai 1.999,948 jiwa.

Jumlah pengungsi akibat banjir dan longsor mencapai 406,360 jiwa.

Adapun korban meninggal telah berjumlah 458 orang. Selain itu, 31 orang masih berstatus hilang.

Cerita dari Bireuen

Di Bireuen, seorang warga Gampong Alue Kuta, Kecamatan Jangka, mengibarkan bendera putih. Dia menyatakan tidak mampu menghadapi banjir bandang dan longsor terjadi.

“Saya berharap datangnya bantuan dari pemerintah, seperti sembako, agar bisa bertahan hidup. Stok yang ada sudah tidak cukup,” kata Edi Saputra, berumur 35 tahun.

Rumah Edi dan warga Gampong Alue Kuta lainnya tersapu banjir bandang dengan lumpur tebal. Banyak rumah roboh dan tak layak lagi dihuni.

Selain bahan pangan, Edi berharap pemerintah segera menurunkan alat berat untuk memperbaiki jalan di desanya serta untuk memulai rekonstruksi rumah warga.

Edi dan keluarga kecilnya kini harus tinggal di tempat pengungsian bersama warga lainnya.

“Terkadang bantuan ada datang dan terkadang tidak ada. Kami menunggu dibagikan oleh kepala desa,” ujar Edi.

Geuchik alias Kepala Desa Alue Kuta, Habibullah menyampaikan hal yang sama seperti perkataan Edi. Bendera putih adalah tanda bahwa mereka sudah tidak mampu menghadapi dampak banjir dan longsor.

Menurut Habibullah, warga sangat membutuhkan bantuan, baik dari pemerintah maupun berbagai pihak lain. Bantuan yang disalurkan ke kampung mereka, kata Habibullah, hanya cukup untuk membuat warga bertahan setidaknya lima hari ke depan.

Di Alue Kuta, 40 rumah warga hilang. Selain itu ada pula 28 rumah rusak parah dan 95 rumah yang rusak dengan kategori ringan.

“Yang kami butuhkan sekarang adalah tenda untuk tinggal para pengungsi,” kata Habibullah.

“Secara keseluruhan, 240 kerluarga atau 875 orang terkena dampak bencana banjir bandang ini,” ujarnya.

Selain kerusahan rumah, infrastruktur desa dalam radius lima kilometer juga rusak parah.

Lumpur juga memadati jalanan sehingga akses transportasi putus. Listrik di kampung itu hingga sekarang juga belum menyala.

“Warga juga belum mendapatkan air bersih. Obat- obatan dan alat lainnya juga belum ada,” kata Habibullah.

Kondisi di Aceh Barat ‘tak banyak berubah’

Deni Setiawan, warga Meulaboh, Aceh Barat, menyebut situasi yang dialami warga setelah tiga pekan tidak banyak berubah.

“Makanya kami harus mengibarkan bendera putih. Itu adalah respons masyarakat dan elemen sipil,” ujarnya.

Menurut Deni, mengibarkan bendera putih adalah cara warga menyampaikan desakan kepada pemerintah pusat.

“Sebenarnya masyarakat bukan enggak mampu. Masyarakat mampu bertahan. cuma tanggung jawab pemerintahan bagaimana?” kata Deni.

Deni menyebut perbaikan jalan yang tidak kunjung dilakukan. Akses transportasi dari dan menuju kampungnya masih terutup lumpur dan batang-batang pohon yang terbawa banjir.

“Alat berat kami tidak punya. Misalkan dibantu pusat atau dari luar negeri, tentu akan cepat diperbaiki,” ujar Deni.

Selama tiga pekan terkahir, kata Deni, warga bertahan secara mandiri. Dia menyebut bantuan biasanya datang jelang kunjungan resmi pejabat pemerintahan.

Dalam beberapa hari terakhir, Deni menyebut bantuan dari kelompok non-pemerintah mulai berdatangan.

“Mayoritas relawan itu membawa beras, mi, dan pakaian layak pakai.. Ada juga makanan seperti sarden,” tuturnya.

Deni membandingkan situasi saat ini dengan apa yang terjadi tak lama setelah tsunami menerjang Aceh pada 2004.

Usai tsunami, kata Deni, korban bencana dan infrastruktur ditangani dengan cepat. Dia menyebut jalur yang putus akibat tsunami kala itu bisa segera tersambung.

Bantuan untuk warga pun bisa segera tersalurkan ke para pengungsi saat itu. Alat berat, kata dia, setelah tsunami dikerahkan ke tempat-tempat terdampak tsunami, termasuk kampungnya.

Jelang akhir pekan ini, sebagian wilayah Aceh Barat masih terisolasi, terutama kawasan Pante Ceureumen.

Per hari ini, Deni melihat tak sedikit warga yang di pengungsian yang memendam trauma. “Kalau hujan itu, mereka langsung berlari naik ke gunung,” ujarnya.

Aceh Tamiang

Bendera putih juga berkibar di Aceh Tamiang.

Menurut Sulaiman, warga Kecamatan Karang Baru, pengibaran ini merupakan inisiatif warga, bukan arahan pihak manapun, termasuk pemerintah daerah.

Sejumlah endera putih ini, kata laki-laki berusia 50 tahun itu, serentak dipasang sejak 16 November lalu.

“Dengan bendera putih ini, kami berharap ada pihak-pihak yang membantu warga. Menurut kami, pemerintah lamban menangani bencana ini.” ujarnya saat ditemui Kamis (18/12).

Sulaiman merupakan penjaga warung kelontong pinggir jalan. Banjir bandang telah menghancurkan semua yang dia miliki.

Rumah dan segala harta bendanya, termasuk dokumen-dokumen penting seperti ijazah dan akte kelahiran anak, lenyap. Satu-satunya yang tersisa hanyalah pakaian yang melekat di badannya.

Pada 2006, banjir besar juga pernah melanda Kecamatan Karang Baru. Namun dampaknya tidak sedahsyat kali ini, kata Sulaiman.

Selain dampak kehancurannya yang meluas, Sulaiman bilang penanggulangan banjir kali ini amat lambat.

Sulaiman dan keluarganya bahkan terpaksa menumpang tidur dalam mobil boks milik pengendara yang terjebak banjir selama tiga hari berturut. Alasannya, kata dia, pemerintah tak kunjung mengevakuasi warga di kampungnya.

Selama di mobil boks itu, mereka hanya makan seadaanya, bergantung pada uluran tangan sesama warga.

Sulaiman berkata, bantuan dari pemerintah, termasuk tenda darurat BNPB, baru mereka peroleh lebih dari sepekan setelah banjir datang.

“Jadi bendera putih ini agar orang-orang bisa melihat dan membantu Aceh, entah dari luar atau dalam negeri,” ujarnya.

“Dengan inilah kami memohon para donatur untuk membantu korban bencana ini,” kata dia.

Selain menggalang pertolongan publik, Sulaiman menyebut pengibaran bendera putih juga menyimbolkan kekecewaan warga terhadap pemerintah.

Saat liputan ini dilakukan, kondisi sebagian besar warga Aceh Tamiang masih memprihatinkan. Lumpur dan sampah menyatu dengan kepingan rumah-rumah yang hancur diterjang banjir.

Air bersih dan fasilitas sanitasi masih langka di kabupaten ini. Sementara itu, listrik telah menyala di beberapa tempat.

Di sepanjang jalan, warga berdiri memegang kardus-kardus bekas. Mereka bergumul dengan debu demi mendapatkan bantuan dari siapa saja yang melintas.

Menurut Yuni, warga Kecamatan Karang Baru lainnya, mereka menunggu di pinggiran jalan karena terpaksa.

“Bukannya kami memanfaatkan keadaan ini, tidak. Kalau tidak minta-minta, dari mana kami makan? Kadang orang kasih kami nasi, barulah kami makan,” ujar Yuni.

“Kalau tidak turun (ke jalan), kami tidak makan. Kalau cuma tidur-tidur di rumah, kami mati kelaparan.

“Makanya banyak dari kami berjejer di sini, ya, untuk cari makan tadi,” kata warga lainnya, Andrianto.

Aceh Utara

Syifa Yulinnas ,yang meski keluarganya berada di Aceh Utara, telah berkeliling ke sembilan kabupaten dan kota yang terdampak peristiwa banjir.

Dari perjalanannya itu, tiga wilayah yang menurutnya terdampak parah adalah Aceh Utara, Aceh Tengah, dan Aceh Tamiang.

Bahkan di Aceh Tengah, warga baru memperoleh bantuan beras sebanyak 2,5 kilogram pada minggu ketiga.

“Karena di kawasan Aceh Tengah, akses mereka kan enggak bisa keluar. Kalau keluar bisa, tapi harus jalan kaki sampai 7-8 jam,” tutur Syifa.

Asalnya yakni Aceh Utara itu, kata dia, tak pernah banjir sejak dia lahir hingga November kemarin.

“Jadi umur Syifa ini sudah 37 tahun, baru kali ini banjir. Selama ini enggak pernah. Alhamdulillah keluarga tidak apa-apa, tapi semua yang di rumah harus mulai dari nol lagi,” ujar Syifa.

Meski keluarga Syifa sempat mengungsi selama empat hari pasca kejadian, sekembalinya ke rumah, lumpur setinggi 50-100 sentimeter masih tersisa di dalam dan pekarangan rumahnya.

Bantuan untuk warga, kata Syifa, sudah berdatangan, tapi tidak dibagikan secara merata dan jumlahnya pun cenderung minim.

Di sisi lain, harga bahan pokok mulai melambung karena stok yang kian menipis. Di beberapa wilayah seperti Aceh Tengah, muncul jasa penitipan untuk membeli sembako: sekali jalan seharga Rp15.000 hingga Rp20.000 per kilogram.

Harga beras 15 kilogram di Aceh Tengah kini melambung hingga Rp500 ribu per karung.

Persoalannya waktu tanggap darurat sampai 25 Desember 2025. Syifa khawatir bagaimana kelanjutan para warga yang mengungsi atau yang rumahnya belum bisa dibersihkan atau rusak parah.

Persoalan lain, penyakit kini mulai merebak. Tenaga kesehatan disebut Syifa telah bergerak, tapi permasalahannya, stok obat sangat terbatas.

Akramul, Rino Abonita, dan Nanda Fahriza Batubara berkontribusi untuk liputan ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *