Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog

Posted on

Ahli psikologi klinis yang pernah terjun langsung sebagai relawan tsunami Aceh 2004 menilai trauma banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara saat ini lebih berat.

Tidur pun bermimpi dikejar banjir.

Beberapa pengungsi di Aceh Tamiang menuturkan beban psikologis yang harus mereka tanggung saat bertahan hidup di tenda pengungsian pascabanjir bandang dan longsor.

Mereka mengaku perasaan lebih sensitif ketimbang sebelum terjadi bencana. Sebagian mengaku lebih gampang marah, sebagian lain mulai sering termangu.

Ahli psikologi klinis yang telah bekerja di Banda Aceh lebih dari dua dekade menyebut trauma bencana saat ini lebih berat dibandingkan saat tsunami melanda pada 2004 silam.

Lambannya pemenuhan kebutuhan dasar penyintas disebut salah satu yang bisa membawa gangguan psikologis serius.

Jembatan Tamiang di Kecamatan Kuala Simpang, Aceh Tamiang, menjadi saksi bisu bagi perjuangan ratusan keluarga yang mengungsi.

Para penyintas banjir dan longsor ini bukan hanya berjuang menjaga raga tetap sehat—karena pengobatan sulit didapat—tapi juga melawan keputusasaan dan beban psikologis.

Sebelum banjir dan longsor melanda, mereka bisa tidur nyenyak di atas ranjang, bercanda dengan keluarga, dan memilih makanan yang disukai. Namun, bencana telah mengubah keadaan dalam sekejap.

Untuk masuk ke dalam tenda pengungsian, badan harus sedikit membungkuk karena terpalnya pendek.

Salah satu tenda ini menampung keluarga besar Ratnawati.

Ia sudah tinggal beberapa hari terakhir bersama anak, mantu dan tujuh cucunya.

Sebelum pindah ke atas Jembatan Tamiang, warga Desa Suka Jadi ini mengatakan, sudah lima kali berpindah tempat pengungsian. Musababnya, tak ada dataran yang benar-benar aman untuk bisa beristirahat sejenak.

Tiap kali mata hampir terlelap, air hujan merendam tenda.

“Inilah tempat terakhir kita, ke mana lagi kita mau lari. Saya bilang, ‘Jangan jauh-jauh kalian nak, kita mati bersama’,” kata perempuan berusia 54 tahun, Kamis (18/12).

Hidup di tenda pengungsian di Jembatan Tamiang, keluarga Ratnawati harus bernegosiasi dengan terik matahari yang mudah menembus terpal, dan debu dari jalan.

Benda apapun berbentuk tipis dan lebar digunakan untuk berkipas-kipas. Di malam hari, gigitan nyamuk menambah kegusaran orang-orang yang tidur di dalam tenda.

Sebelumnya, Ratnawati bermukim tak jauh dari bibir Sungai Tamiang. Ia menjalani hidup dengan sederhana.

Setelah suaminya meninggal dunia 2006 lalu, ia membuka warung kelontong dan bekerja serabutan.

Tapi Rabu (26/11) dini hari, segalanya berubah.

Sungai Tamiang meluap disertai lumpur dan gelondongan kayu. Banjir bandang seketika menyapu nyaris seluruh bangunan di sekitarnya tak terkecuali rumah Ratnawati.

“Masih mimpi dikejar air. Kalau nengok air itu, tidak sanggup,” ujar Ratnawati sembari meneteskan air mata.

Kepada wartawan Nanda Fahriza Batubara yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Ratnawati mengakui emosinya kini sering berkecamuk.

Emosian. Mau marah saja. Sudah capek rasanya, apa-apa jauh, mau buang air besar jauh, air tidak ada,” ujarnya. Emosinya juga meledak-ledak saat melihat ketidakadilan dalam pembagian bantuan sembako.

Menurut Ratnawati, perubahan emosi juga dirasakan anak-anak, termasuk cucunya. Mereka, kata dia, lebih sering rewel dan gampang menangis.

Kadang mereka minta pulang ke rumah.

“Banyak sekali perubahannya. Minta turun, pulang. Semalaman tidak bisa tidur, menangis terus, 24 jam menangis,” ujarnya.

Selain Ratnawati, perubahan emosional turut dialami Warno, penyintas lainnya yang mengungsi di atas jembatan Sungai Tamiang. Beberapa hari belakangan, ia mengaku sering melamun.

“Saya kira melamun, itulah yang saya alami,” kata pria 56 tahun.

Selama ini, Warno mencari penghasilan dengan menarik becak motor, sedang istrinya buruh cuci dan sesekali berdagang makanan.

Sebagaimana Ratnawati, rumah Warno juga berada tak jauh dari tepi Sungai Tamiang.

Sampai hari ini, Warno masih tak percaya rumah yang dibangun dengan susah payah itu lenyap begitu saja diterjang banjir bandang.

Meski perasaannya hancur, Warno berusaha tegar di mata istri dan anak-anaknya. Ia memilih untuk memendam kepedihan di dalam hati.

“Kalau bisa jangan ada pagi, malam saja, supaya [kami] tidur terus. Kalau pagi datang, kami kepikiran lagi,” ujarnya.

Penanganan kesehatan mental dibutuhkan

Sejauh ini, posko pengungsian di jembatan Sungai Tamiang belum menyediakan layanan konseling psikologi ataupun program pemulihan trauma.

Padahal, menurut Nursahati, 30 tahun, layanan tersebut sangat mereka butuhkan, terutama anak-anak.

Nursahati adalah warga Desa Suka Jadi yang kini mengungsi di atas jembatan Sungai Tamiang.

Di sini, ia mengungsi bersama suami, anak, dan sejumlah kerabatnya.

“Perlu sih, terutama untuk anak-anak ini supaya menghilangkan trauma,” ujarnya.

‘Lebih berat dari tsunami Aceh 2004’

Psikolog klinis, Yulia Direzkia, mengatakan dampak psikologis bencana yang saat ini terjadi di Aceh lebih berat dibanding tsunami 2004.

Hal ini disebabkan lambannya pemenuhan kebutuhan dasar penyintas. Kebutuhan ini terdiri dari pangan dan air bersih, tempat tinggal sementara, keamanan, pakaian layak, layanan medis, informasi dan akses layanan serta sanitasi dan kebersihan.

“Harusnya kan di fase tanggap darurat seperti ini, kita sudah harus segera melakukan PFA (psychological first aid). Tapi sampai hari ini kita belum mampu, karena secara fisik saja belum terpenuhi kebutuhan masyarakat. Basic need-nya saja belum,” kata Yulia.

PFA adalah dukungan psikologis awal kepada penyintas bencana tanpa terapi dan tanpa diagnosis. Tujuannya menenangkan, menguatkan, dan membantu korban kembali merasa aman.

Ada tiga tahapan PFA yaitu mengamati (look), mendengarkan (listen) dan menghubungkan (link). Bagian terakhir adalah yang terpenting yaitu menghubungkan penyintas dengan bantuan pangan dan kesehatan, keluarga, dan informasi resmi.

Layanan PFA diberikan karena pada dasarnya, manusia memiliki “kemampuan beradaptasi dengan situasi apapun” pada rentang 0 sampai 1 bulan. Dengan syarat, kebutuhan dasarnya terpenuhi.

“Nah masalahnya di bencana yang kali ini. Mau link [menghubungkan] ke siapa? Dapur umumnya mana? Posko medis mana? Itu masalahnya,” tambah Yulia yang pernah menjadi relawan saat tsunami Aceh 2004.

Yulia membandingkan dengan penanganan tsunami Aceh 2004 silam. Kata dia, 20 hari pascabahala ini kebutuhan dasar penyintas telah terpenuhi.

“Saya ingat di hari ketiga atau kelima [pascatsunami] bantuan sudah datang. Ada rumah sakit yang di kapal. Sudah ada tentara-tentara dari luar negeri membersihkan kota, membersihkan rumah sakit segala macam,” katanya.

Namun bencana hari ini, hingga lebih dari 20 hari, masih ditemukan wilayah yang terisolir.

Penyintas kesulitan akses air bersih, jalan tertutup lumpur, listrik belum penuh, komunikasi tersendat, layanan kesehatan jauh, tenda pengungsian belum terkonsentrasi, layanan psikologis belum ada dan lain-lain.

Kondisi ini membuat penyintas tidak mampu mengaktifkan mekanisme pemulihan alami (self-healing) dan berisiko mengalami gangguan psikologis serius, katanya.

Yulia menjelaskan, trauma bencana dapat berkembang dari acute stress disorder dalam 1–3 bulan menjadi post traumatic stress disorder (PTSD) kronis setelah enam bulan.

Gejalanya meliputi menghindari pembicaraan tentang bencana, kilas balik kejadian traumatis, serta emosi yang mudah meledak dan gangguan fisik karena masalah psikologis (psikosomotis).

“Tapi kalau kondisinya seperti ini, mereka memang akhirnya tidak berdaya. Jadi tidak bisa mengaktifkan self protection mechanism, sehingga sangat perlu bantuan dari luar”.

“Tapi dari luar pun nggak ada. Ketika basic need-nya tidak terpenuhi, itulah yang akhirnya nanti menjadi trauma yang berat,” kata Yulia.

Selain itu, penanganan bencana saat ini lebih kompleks karena wilayah terdampak bersifat sporadis atau tersebar.

Beda dengan tsunami 2004 yang dampaknya terjadi di satu hamparan yaitu wilayah yang berada di kawasan pesisir seperti Kota Banda Aceh, Meulaboh dan Aceh Besar.

“Jadi cepat dan memang terlokalisasi di Banda Aceh dan Meulaboh kan waktu itu. Jadi lebih mudah,” katanya.

Bencana banjir dan longsor saat ini jauh lebih kompleks karena bukan sekadar bencana alam, atau konflik bersenjata.

Kayu gelondongan yang diduga berasal dari pembabatan hutan turut memperparah, apa yang disebut Yulia sebagai “bencana ekologis”.

“Korban konflik [bersenjata] itu kan dendamnya sampai sekarang. Dan trauma yang berlangsung turun-temurun, sedangkan yang natural disaster, tsunami itu orang Aceh pada umumnya lebih mudah memaafkan dan menerima”.

“Nah ini [banjir dan longsor] campuran keduanya, yang ekologis,” katanya.

Trauma massal pascabencana

Tak hanya penyintas, trauma juga dapat dialami tim relawan, TNI/Polri, tim SAR, kesehatan dan jurnalis yang hadir di lokasi bencana.

Bahkan, trauma ini bisa mendera masyarakat luas yang terus terpapar pemberitaan bencana, fenomena yang disebut secondary trauma.

Blunder para pejabat saat penanganan bencana dan disnformasi di media sosial dinilai ikut memperparah kondisi psikologis publik.

  • Lima pernyataan dan tindakan para pejabat yang dinilai ‘tidak empati’ kepada korban banjir Sumatra – ‘Perlu empati yang lebih baik’
  • Ulama Aceh dan Dewan Profesor USK tuntut status ‘bencana nasional’ dan ‘bantuan asing’, Presiden Prabowo menolak
  • Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’

Yulia menjelaskan, kapasitas penanganan trauma di Aceh sangat terbatas. Menurutnya, saat ini ada sekitar 60an psikolog, tapi hanya segelintir yang punya kompetensi khusus menangani trauma berat.

Ia mendorong pemerintah memetakan wilayah terdampak berdasarkan tingkat keparahan psikologis, serta segera mengerahkan seluruh bentuk bantuan yang tersedia.

“Dalam kondisi seperti ini, [bantuan] sekecil apapun penting bagi penyintas sekarang ini,” katanya.

Seskab: Penanganan bencana sudah berskala nasional

Dalam keterangan terpisah, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menegaskan, penanganan bencana di Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat sejak awal telah dilakukan dengan skala nasional.

Hal tersebut disampaikan Seskab menanggapi berbagai pandangan yang masih mempersoalkan status bencana nasional.

“Sejak hari pertama, tanggal 26 [Oktober], pemerintah pusat sudah melakukan penanganan skala nasional di tiga provinsi ini, langsung mobilisasi nasional,” kata Seskab Teddy dalam keterangan pers, Jumat (19/12).

Pemerintah pusat juga telah mengerahkan lebih dari 50 ribu personel gabungan TNI, Polri, Basarnas, dan relawan telah dikerahkan di wilayah terdampak. Ia juga menepis anggapan bahwa tanpa status bencana nasional, dukungan anggaran pusat tidak dapat disalurkan.

“Bapak Presiden sudah jawab dari awal, semuanya ini akan menggunakan dana pusat, disampaikan Rp60 triliun, sudah dikeluarkan secara berangsur untuk membangun kembali rumah sementara, rumah hunian tetap, fasilitas semuanya,” kata Seskab.

Selain itu, pemerintah pusat juga memberikan dukungan langsung kepada kepala daerah terdampak.

“Dan juga langsung seluruh bupati, wali kota 52 itu, diberikan uang cash untuk di hari itu, bila ada kebutuhan lain, tinggal sampaikan, pasti dikasih juga,” lanjut Seskab.

Selain itu, Teddy juga menyampaikan lebih dari 100 kapal, pesawat, dan helikopter telah dikerahkan ke wilayah terdampak, termasuk alat berat dari berbagai daerah di Indonesia.

“Ada alat berat dari PU mungkin, totalnya sekitar seribu mungkin, diangkut dari manapun di Indonesia ini, diangkut ke sana,” ucap Seskab.

Seskab Teddy juga mengakui bahwa penanganan di lapangan belum sepenuhnya sempurna. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pihak saling mendukung dan menyampaikan langsung kepada petugas apabila masih terdapat wilayah yang membutuhkan bantuan.

“Apakah semuanya sudah dapat logistik? Apakah yang dilakukan sudah sempurna? Tentu belum. Makanya ayo kita sama-sama bahu membahu, saling dukung,” ujar Seskab.

Menutup keterangannya, Seskab menegaskan seluruh unsur bangsa telah bekerja keras sejak hari pertama untuk mempercepat pemulihan wilayah terdampak. Ia pun mengajak semua pihak untuk menjaga kekompakan dan menyebarkan energi positif.

“Kalau niat bantu, ayo, sama-sama. Hibur warga, timbulkan optimisme, bikin ketawa, timbulkan senyum, timbulkan keyakinan. Sekali lagi, ayo kita saling bantu, saling jaga, saling dukung, sebarkan energi positif,” pungkas Seskab.

Aceh Tamiang menjadi salah satu wilayah paling terdampak bahala banjir bandang dan longsor akhir November. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per Jumat siang (19/12) melaporkan 85 orang meninggal. Sebanyak 10.720 unit rumah rusak dan 200.000 warga mengungsi.

Dari data keseluruhan BNPB, melaporkan 1.068 orang meninggal, 190 orang hilang, 147.236 rumah rusak di Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

  • Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
  • Balita dan anak-anak di Aceh Tamiang makan mi instan belasan hari, apa dampaknya bagi kesehatan?
  • ‘Tuhan akan mengatur dengan segala kesederhanaan’ – Bagaimana banjir dan longsor akan mengubah perayaan Natal sebuah kampung kecil di Sumatra?
  • Ulama Aceh dan Dewan Profesor USK tuntut status ‘bencana nasional’ dan ‘bantuan asing’, Presiden Prabowo menolak
  • Kisah keluarga yang terjebak di hutan berhari-hari saat banjir dan longsor Sumut – ‘Tinggalkan aku, selamatkanlah adikmu’
  • Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *