
jogja.jpnn.com, YOGYAKARTA – Membuka halaman utama mesin pencarian Google hari ini, pengguna disambut oleh ilustrasi hangat Google Doodle yang merayakan Hari Ibu. Gambar tersebut menjadi pengingat visual bagi jutaan orang tentang peran sentral sosok ibu dalam kehidupan.
Namun, di balik selebrasi digital dan limpahan bunga yang mewarnai tanggal 22 Desember ini, tersimpan ajakan untuk memaknai ulang esensi keibuan secara lebih mendalam dan realistis.
Hari Ibu di Indonesia hampir selalu hadir dengan wajah yang sama: ucapan terima kasih yang mengalir deras, pemujaan atas pengorbanan, dan pengangkatan ketabahan sebagai standar kebajikan tertinggi. Ibu sering digambarkan sebagai sosok tanpa cela yang selalu kuat dan sabar.
Narasi ini memang lahir dari niat baik untuk menghormati peran yang sering luput dari pengakuan formal. Mengingat beban ganda yang dipikul ibu, mulai dari mengasuh anak, mengelola rumah tangga, hingga menopang stabilitas ekonomi. Pujian tersebut adalah ruang bagi rasa terima kasih yang kerap tertunda.
Namun, pengulangan narasi tunggal ini perlahan menjadi “satu-satunya cerita yang sah.” Ibu tidak lagi diposisikan sebagai manusia dengan pengalaman beragam, melainkan figur ideal yang harus dipuja. Akibatnya, hampir tidak ada ruang bagi pembicaraan tentang ibu yang lelah, keliru, atau terjebak dalam pola asuh yang problematis.
Di balik perayaan yang rapi, relasi ibu dan anak sering kali jauh lebih rumit. Tidak sedikit hubungan yang justru diwarnai ketegangan dan relasi kuasa yang timpang. Atas nama “kasih sayang,” sebagian ibu tetap merasa berhak mengatur pilihan hidup anak dewasa, mulai dari karier hingga pasangan.
Dalam masyarakat religius, istilah moral seperti “durhaka” terkadang menjadi batas yang membungkam suara anak. Mengutip teori kelekatan dari psikolog John Bowlby dan Mary Ainsworth, relasi yang dibangun di atas rasa takut dan kontrol cenderung melahirkan kepatuhan semu, bukan kelekatan emosional yang sehat.
Mengakui adanya “luka” dalam relasi keluarga bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan langkah awal untuk memutus siklus pengasuhan yang tidak sehat. Hari Ibu seharusnya menjadi momentum untuk menggeser cara pandang: dari kontrol menuju kepercayaan dan dari tuntutan moral menuju kehadiran emosional yang nyata.
Realitas Medis: Tantangan Kesehatan Ibu di Indonesia
Penghormatan terhadap ibu tidak hanya soal emosi, tetapi juga soal memastikan keselamatan nyawa mereka. Di tengah perayaan ini, data menunjukkan bahwa kesehatan fisik ibu di Indonesia masih menghadapi tantangan besar.
Berdasarkan data terbaru, Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih tergolong tinggi, yakni 189 per 10.000 kelahiran hidup, sementara Angka Kematian Bayi (AKB) berada di angka 17 per 1.000 kelahiran hidup. Meskipun menurun dalam satu dekade terakhir, angka ini masih jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs).
Guru Besar FK-KMK Universitas Gadjah Mada (UGM) R. Detty Siti Nurdiati mengungkapkan adanya pergeseran penyebab kematian ibu.
“Awalnya, penyebab utama adalah pendarahan dan hipertensi, kini bertransisi ke komplikasi nonobstetri seperti penyakit jantung, obesitas, dan diabetes mellitus,” jelas Detty dalam pengukuhannya di Balai Senat UGM.
Untuk menjawab tantangan ini, Prof Detty menekankan beberapa poin krusial:
- Setiap Kehamilan Berisiko: Menghapus anggapan ada kehamilan yang benar-benar bebas komplikasi.
- Deteksi Dini: Skrining sejak masa prakonsepsi hingga pascapersalinan untuk menghindari keterlambatan diagnosis.
- Kedokteran Fetomaternal: Pentingnya subspesialis ini untuk menangani kehamilan risiko tinggi dan kelainan janin secara komprehensif.
- Transformasi Layanan: Pergeseran dari community medicine (pendekatan seragam) menuju personal medicine yang melihat keunikan kondisi genetik dan gaya hidup setiap ibu.
Peringatan Hari Ibu tahun ini diharapkan tidak berhenti sebagai perayaan simbolik semata. Menghormati ibu berarti berani melihat kenyataan apa adanya, baik secara psikologis maupun fisik.
Dengan memperkuat sistem kesehatan, misalnya memanfaatkan teknologi seperti Artificial Intelligence untuk pemantauan medis serta membangun dialog emosional yang lebih sehat di rumah, kita sedang memastikan masa depan Indonesia yang lebih baik. Sebab, ibu yang berdaya dan sehat adalah aset utama bagi generasi yang akan datang. (antara/ugm/jpnn)



