Ratusan Vila Mewah di Pulau Padar: Warga Geram, Ditinggalkan Bertahun-tahun

Posted on

Rencana pembangunan 448 vila megah di Pulau Padar, jantung Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur, menuai gelombang penolakan keras. Kelompok warga dan sejumlah pelaku usaha menyuarakan kekhawatiran mendalam, bahwa “proyek wisata premium” ini akan merusak ekosistem vital dan memadamkan mata pencarian lokal. Di sisi lain, pemerintah menegaskan bahwa proyek tersebut “akan diawasi ketat” demi menjaga keberlanjutan.

Selama bertahun-tahun, masyarakat di sekitar Taman Nasional Komodo telah menganggap pemberian izin pembangunan ratusan vila di Pulau Padar sebagai bentuk “ketidakadilan struktural”. Kecemasan kian memuncak di kalangan pelaku wisata, yang khawatir proyek ini tak hanya akan “membunuh habitat komodo”, tetapi juga “mematikan denyut nadi pelaku wisata lokal secara perlahan-lahan”.

Surat Keputusan bernomor SK.796/Menhut-I/2014, yang dikeluarkan oleh Siti Nurbaya saat menjabat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada September 2014, menjadi landasan bagi izin operasi PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE). Berdasarkan surat tersebut, perusahaan ini memperoleh hak untuk mengelola sarana wisata alam seluas 274,13 hektare, mencakup sekitar 19,5 persen dari total luas Pulau Padar. Menanggapi protes yang meluas, Kepala Balai Taman Nasional Komodo, Hendrikus Rani Siga, menjelaskan bahwa “area terbangun itu hanya 5,64 persen dari total izin tersebut”.

Pada bulan Juli lalu, Kementerian Kehutanan menggelar konsultasi publik untuk menguji dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari rencana investasi PT KWE di Pulau Padar. Di tengah riuhnya penolakan, konsultasi publik ini justru dianggap sebagai “hikmah” bagi warga. Pegiat lingkungan, Venan Haryanto, menyebutkan bahwa melalui forum ini, masyarakat di sekitar Taman Nasional Komodo akhirnya bisa memahami skala proyek yang direncanakan PT KWE. “Dari dulu kami hanya mereka-reka saja, apa sih rencana PT KWE. Oh, ternyata masif sekali memang pembangunannya,” ungkap Venan, menyoroti besarnya skala proyek.

Pulau Padar, sebagai bagian dari gugusan pulau di Taman Nasional Komodo, telah lama diakui sebagai ikon dan jantung destinasi pariwisata NTT. Pulau ini juga menjadi salah satu dari dua pantai berpasir pink yang memukau di Taman Nasional Komodo, menawarkan pengalaman tak terlupakan untuk menyaksikan matahari terbit dan terbenam. Meskipun tak berpenghuni oleh manusia, Balai Taman Nasional Komodo mencatat bahwa per 2024, populasi Komodo di Pulau Padar mencapai 31 ekor, menjadikannya habitat penting bagi satwa endemik ini.

‘Kami sakit hati’

Meskipun regulasi mengharuskan konsultasi publik sebagai wadah pembahasan dampak lingkungan antara perusahaan dan masyarakat, sebagian besar penduduk di kawasan Taman Nasional Komodo memilih untuk tidak hadir dalam forum pada bulan Juli lalu, sebagai bentuk penolakan. Alimudin, seorang warga setempat, menyampaikan rasa ketidakadilan yang mendalam. Ia menuding Kementerian Kehutanan hanya mengalokasikan sekitar 27 hektare lahan untuk 2.000 warga di Desa Komodo, sementara investor mendapatkan konsesi lahan sepuluh kali lebih luas. “Bagaimana masyarakat tidak sakit hati. Ini kan ketidakadilan agraria yang dirasakan oleh masyarakat di kawasan ini,” keluh Alimudin pada Minggu (03/08).

Sejak Taman Nasional Komodo dideklarasikan pada tahun 1980, warga Komodo telah berulang kali menghadapi eksklusi atau penyingkiran. Alimudin mengenang bagaimana masyarakat Komodo dulunya memiliki perkebunan sentral di Loh Liang, Pulau Komodo, namun kemudian dipindahkan “untuk kepentingan konservasi di taman nasional”. Salah satu pemindahan signifikan terjadi pada tahun 2001, ketika otoritas merevisi aturan zonasi, mengubah wilayah tangkap nelayan asal Desa Komodo di perairan Loh Liang menjadi zona wisata laut. Akibatnya, nelayan lokal kehilangan akses esensial untuk mencari nafkah.

Seiring pesatnya perkembangan pariwisata di taman nasional, semakin banyak nelayan lokal yang kehilangan akses ke dermaga, karena penguasaan wilayah perairan beralih ke tangan pemilik resor. Untuk tetap bertahan hidup, banyak nelayan terpaksa mengubah perahu ikan mereka menjadi kapal wisata. Namun, sebuah riset menunjukkan bahwa persaingan dengan pemilik kapal wisata yang lebih besar dan memenuhi standar keamanan, menjadi tantangan berat bagi mereka.

Pada tahun 2019, ketika menjabat sebagai Gubernur NTT, Viktor Laiskodat bahkan sempat berencana menutup taman nasional dan memindahkan seluruh warga di kawasan itu. “Karena namanya Pulau Komodo, maka kita harus mengatur agar pulau itu betul-betul hanya terisi komodo, tidak boleh ada manusia yang lain,” ujar Viktor kala itu. Rencana ini sontak memicu penolakan dan demonstrasi besar-besaran hingga ke Jakarta, yang akhirnya memaksa Viktor membatalkan niatnya. “Warga tidak dikasih apa-apa di atas lahannya, padahal setiap warga negara kan punya hak atas tanahnya,” tutur Alimudin. “Negara ini kan baru munculnya belakangan. Orang Komodo itu sudah ada di tanah ini sebelum negara ini ada,” imbuh laki-laki berusia 48 tahun itu dengan nada getir.

‘Pembangunan belum dimulai’

Dalam pernyataan Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) mengenai konsultasi publik pada 23 Juli lalu, Direktur Konservasi Kawasan Kementerian Kehutanan, Sapto Aji Prabowo, menjelaskan bahwa PT KWE masih dalam tahap penyusunan AMDAL. Ia menegaskan, “hasilnya nanti akan dilaporkan kepada UNESCO, sebelum pembangunan benar-benar dimulai.” Izin pengelolaan yang dipegang PT KWE berlaku untuk jangka waktu 55 tahun, dengan izin pembangunan tahap I yang telah keluar pada tahun 2020. Pada tahun 2021, pemerintah mewajibkan PT KWE untuk menyusun dokumen AMDAL dan mengajukan konsultasi untuk setiap rencana pembangunan kepada Komite Warisan Dunia atau IUCN.

‘Kenapa sampai rebut Taman Nasional Komodo?’

Berbeda dengan warga Komodo yang secara sengaja absen dari konsultasi publik sebagai bentuk penolakan, Asosiasi Agen Tur dan Perjalanan (ASITA) Manggarai Raya mengaku tidak menerima undangan. Sekretaris Dewan Perwakilan Cabang ASITA Manggarai Raya, Getrudis Naus, mengungkapkan bahwa meskipun pihaknya tercantum dalam daftar acara, tidak ada satu pun perwakilan lembaga mereka yang hadir. Seperti halnya warga Komodo, ASITA pun merasakan adanya ketidakadilan.

Getrudis menegaskan bahwa selama ini ASITA selalu “mengikuti semua aturan” taman nasional “demi alasan konservasi, menjaga keberlangsungan destinasi wisata”. Namun, ia menuding pemerintah kini justru mengizinkan investor besar untuk membangun proyek skala raksasa di dalam kawasan taman nasional. “Di mana fakta konservasi itu ketika wilayah itu diberikan kepada pihak-pihak untuk membuka dan membangun fasilitas semewah itu?” tanya Getrudis. “Jangankan membunuh habitat komodo, ini membunuh masyarakat Flores secara keseluruhan,” ujarnya penuh emosi. Ia juga mempertanyakan, “Kenapa sampai rebut Taman Nasional Komodo? Padahal lahan di Labuan Bajo ini masih luas. Itu Golo Mori mungkin berapa ratus hektare yang belum ada apa-apanya.” Golo Mori, sebuah desa perbukitan di selatan Labuan Bajo, berjarak sekitar satu jam perjalanan darat.

Investasi terbaru ini, menurut Getrudis, menimbulkan penyesalan atas “upaya memperjuangkan pariwisata, bahkan jauh sebelum Labuan Bajo dan taman nasional popular”. Pada tahun 2009, Getrudis bersama ratusan warga Manggarai Barat lainnya pernah menentang tambang emas di kawasan Batu Gosok, karena khawatir akan merusak lingkungan dan keindahan perairan yang menjadi favorit untuk menyelam dan snorkeling. Kemudian pada tahun 2022, Getrudis menjadi figur terdepan yang menentang kenaikan harga tiket masuk ke Pulau Komodo dan Pulau Padar sebesar Rp3,7 juta per orang, yang berujung pada pembatalan kenaikan tersebut. “Begitu kami sudah nyaman di dunia pariwisata, kenapa psikis kami itu selalu diganggu, tidak pernah nyaman? Bukannya urus bagaimana regulasi supaya tetap nyaman, tetap aman, malah urusannya melawan investor. Sakit sih, sakit sekali,” keluh Getrudis, menyiratkan kelelahan akan perjuangan yang tak berkesudahan.

Apa isi AMDAL proyek vila di Padar?

BBC berhasil mendapatkan salinan dokumen AMDAL PT KWE yang diajukan oleh tim ahli dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Juli lalu. Berkas AMDAL tersebut secara gamblang mengidentifikasi berbagai potensi masalah yang dapat muncul akibat proyek PT KWE. Salah satu perhatian utamanya adalah potensi gangguan terhadap populasi komodo.

Pembangunan sarana dan prasarana wisata di area lembah-lembah yang merupakan habitat utama komodo, menurut dokumen tersebut, berpotensi mengganggu pergerakan satwa ini dan mendorongnya menjauh dari lokasi konstruksi. Selain itu, limbah dapur dari fasilitas penginapan juga dikhawatirkan dapat membuat komodo terbiasa (terhabituasi) mencari makan di lokasi pembuangan sampah. Aktivitas manusia (pekerja) dan kegiatan pembangunan juga diprediksi akan mengganggu aktivitas alami komodo, seperti bersarang dan mencari makan.

Untuk memitigasi berbagai potensi dampak tersebut, tim penyusun AMDAL PT KWE menawarkan beberapa solusi. Salah satunya adalah pembangunan sarana dengan sistem panggung (elevated), yang bertujuan meminimalkan gangguan pada pergerakan satwa. Perusahaan juga berkomitmen untuk mengembangkan prosedur operasional standar (SOP) bagi pekerjanya guna menjaga dan melindungi komodo serta satwa liar berbahaya lainnya. Sistem penyimpanan dan pembuangan sisa makanan juga akan dibangun secara khusus untuk mencegah satwa liar, terutama komodo dan ular, mendekat. Para pekerja juga akan diinstruksikan untuk menghentikan aktivitas ketika sarana yang dibangun melintasi atau berada di dekat sarang komodo, dan segera melaporkan temuan tersebut kepada pihak balai taman nasional.

Tim ahli AMDAL juga mengidentifikasi dampak sosial ekonomi yang signifikan, memprediksi bahwa pembangunan “berpotensi memicu konflik di masyarakat”. Dalam dokumen AMDAL disebutkan bahwa masyarakat Desa Komodo merasa “paling berhak” untuk mendapatkan kesempatan kerja di PT KWE dibandingkan dengan masyarakat dari desa lain, seperti Papagarang dan Pasir Panjang. Selain itu, lahan usaha warga di Long Beach 1, Long Beach 2, dan Long Beach 3, termasuk Pink Beach yang ikonik, juga terancam penutupan. Demi menghindari potensi konflik ini, PT KWE berencana membuat SOP mengenai penerimaan tenaga kerja yang mengutamakan masyarakat sekitar, serta melakukan sosialisasi intensif terkait pembangunan dan peluang ekonomi yang ditawarkan kepada masyarakat. Balai Taman Nasional Komodo juga diminta untuk aktif terlibat dalam penataan ulang pengelolaan Long Beach, yang akan melibatkan kepentingan PT KWE dan masyarakat.

‘Pemerintah tak mendengar’

Sejak pemerintah memberikan konsesi di kawasan Taman Nasional Komodo kepada beberapa perusahaan pada tahun 2014, warga dan pelaku usaha terus menyuarakan penolakan. Mereka menuding kebijakan pemerintah bertentangan dengan prinsip konservasi yang seharusnya dipegang teguh. Kelompok warga mempertanyakan mengapa pembangunan di dalam kawasan konservasi terus berlanjut, sebagaimana diutarakan oleh pegiat lingkungan, Venan Haryanto. “Suara penolakan publik selama ini kan bukan lagi di tingkat proseduralnya. Seluruh rancang bangun investasi di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, ditolak total,” tegasnya.

Jika pembangunan di dalam kawasan Taman Nasional Komodo terus dilanjutkan, Venan Haryanto mencemaskan sejumlah dampak buruk yang tak terhindarkan. Pertama, terkait dampak lingkungan. Pembangunan ratusan vila di bentangan lahan seluas hampir 300 hektare disebutnya akan membahayakan alam dengan menghadirkan “ekologi baru”. “Tidak main-main kan, 619 fasilitas, 448 vila, coba dibayangkan, manusia, pekerja, wisatawan yang akan tidur di situ, pasti akan sangat berdampak buruk terhadap lingkungan,” ucapnya. Selain potensi gangguan terhadap komodo di habitatnya, paparan penilaian dampak lingkungan (EIA) oleh IPB untuk PT KWE juga menyoroti keharusan memperhatikan ekosistem terumbu karang, padang lamun, penyu, hingga bakau.

Kedua, Venan memprediksi akan muncul dampak sosial terhadap masyarakat, terutama warga yang mendiami kawasan taman nasional. “Meski sekarang mereka tetap ada di dalam, hidup di zona permukiman, mereka bisa disingkirkan kapan saja karena secara regulasi penduduk hidup di atas tanah negara,” ujarnya, menyoroti kerentanan status kepemilikan lahan warga. Meskipun tidak ada warga yang tinggal permanen di Pulau Padar, Venan menyebutkan bahwa sejumlah orang mencari nafkah dengan mendirikan warung di Long Beach dan Pink Beach, dua destinasi favorit di Taman Nasional Komodo.

Ketiga, akan ada potensi dampak ekonomi yang merugikan bagi para pelaku wisata lokal. Pembangunan di Pulau Padar disebutnya akan “merusak jantung destinasi” dan “menghancurkan narasi keberlanjutan” yang selama ini dibangun. Venan menilai dampak ini sebagai “kerugian besar”, karena alih-alih menciptakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi, para pelaku wisata lokal justru “berada dalam posisi yang sangat berisiko”. “Akan terjadi monopoli bisnis di sana,” tegasnya. Isu dampak sosial ekonomi ini juga disebutkan dalam paparan AMDAL PT KWE, yang mencatat beberapa poin mengenai potensi konflik antar masyarakat terkait kesempatan kerja dan usaha wisata.

Berharap pada UNESCO

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, kelompok warga, para pelaku usaha lokal, dan pegiat lingkungan kini menaruh harapan besar pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO). Alimudin dan sejumlah kelompok warga Komodo berencana mengirimkan surat penolakan resmi kepada UNESCO, sebuah langkah yang juga diwacanakan oleh ASITA. “Bola panasnya sekarang ada di UNESCO,” ujar Venan, menegaskan posisi krusial lembaga internasional ini.

Pada tahun 1991, Taman Nasional Komodo secara resmi ditetapkan sebagai salah satu Situs Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO. Sejak saat itu, segala bentuk pengelolaan dan pembangunan di kawasan ini harus mematuhi kewajiban internasional yang ketat. Salah satu kewajiban utama taman nasional adalah melindungi Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value – OUV), yang dalam kasus ini merujuk pada habitat alami komodo. Selain itu, mereka juga diwajibkan untuk memastikan pembangunan berkelanjutan, yang prosesnya terus-menerus dikaji ulang oleh UNESCO dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).

Dalam dokumen Nomor WHC/25/47.COM/7B, yang diterbitkan setelah Pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO di Paris, Prancis, pada 6-16 Juli lalu, tercatat beberapa poin yang mengundang kekhawatiran UNESCO. Komite secara khusus menyoroti temuan dampak-dampak negatif terhadap OUV dalam kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) yang terkait dengan rencana induk pembangunan infrastruktur di kawasan tersebut. Indonesia diminta untuk secara serius memperhatikan dampak ini sebelum mengambil keputusan yang sulit dibatalkan, dan harus memastikan bahwa tidak ada pembangunan yang disetujui jika berpotensi merusak OUV. UNESCO juga berpesan agar pemerintah tidak menyetujui proyek atau konsesi tanpa penilaian dampak yang memadai dan berpotensi merusak Nilai Universal Luar Biasa situs tersebut, menggarisbawahi pentingnya kehati-hatian dalam setiap langkah pembangunan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *