Rekomendasi Saham Nikel Terbaik: Investasi Baterai EV Menguntungkan?

Posted on

caristyle.co.id JAKARTA. Industri pengolahan dan produsen nikel di Indonesia tengah menghadapi tantangan ganda yang signifikan. Selain fluktuasi harga nikel global yang cenderung tertekan, sektor ini juga bersaing ketat dengan komoditas lain dalam memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik.

Fakta mengejutkan terungkap dari Indonesia Battery Corporation (IBC) yang menyebutkan bahwa 90% mobil listrik baru yang terjual di Indonesia pada tahun 2024, dengan total 40.000 unit, menggunakan baterai berbasis Lithium Ferro Phosphate (LFP). Kondisi ini menjadi ironi mengingat Indonesia memiliki cadangan bijih nikel melimpah, mencapai 5,3 juta ton pada 2023 menurut Kementerian ESDM, dan tengah gencar mengembangkan proyek smelter serta pabrik baterai kendaraan listrik berbasis Nickel Manganese Cobalt (NMC).

Muhammad Wafi, Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia, menyoroti peningkatan pamor baterai LFP sebagai hambatan serius bagi industri nikel Tanah Air. Permintaan produk olahan nikel dari smelter domestik menjadi tertahan, yang berpotensi mengganggu daya saing emiten nikel besar seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL), dan PT PAM Mineral Tbk (NICL) akibat risiko keterbatasan penyerapan produk. “Situasi ini diperparah dengan harga nikel global yang masih rentan tertekan, menciptakan tekanan ganda yang signifikan bagi sektor ini,” ujarnya pada Kamis (4/9/2025).

Senada, Analis Pilarmas Investindo Sekuritas, Arinda Izzaty, memperingatkan bahwa tren konsumsi baterai LFP yang terus menanjak dapat membuat emiten tambang dan pengelola smelter nikel kehilangan pangsa pasar strategis. Bahkan tanpa sentimen LFP pun, kinerja emiten nikel jangka pendek diproyeksikan masih rawan kontraksi, seiring estimasi penurunan harga nikel global sebesar 6% year on year (YoY) pada tahun ini. Pelemahan harga nikel ini utamanya bersumber dari melimpahnya pasokan komoditas, terutama dari Indonesia dan Filipina, di tengah permintaan global yang belum pulih secara signifikan.

Meski demikian, bukan berarti peluang bagi emiten nikel sepenuhnya tertutup. Beberapa sentimen positif masih berpotensi menopang kinerja sektor ini, misalnya melalui ekspansi kapasitas smelter yang agresif oleh NCKL atau kinerja operasional INCO yang relatif solid. Selain itu, sejumlah emiten nikel mulai memperkuat strategi hilirisasi nikel dan mendapatkan sertifikasi Environmental Social Governance (ESG) untuk menjaga minat investor institusional. “Oleh karena itu, meskipun margin tertekan oleh harga komoditas, emiten yang efisien, terdiversifikasi, dan aktif menggarap pasar hilir akan memiliki prospek yang lebih baik dibandingkan para pemain lain,” jelas Arinda, Kamis (4/9/2025).

Wafi menambahkan, emiten nikel tidak dapat lagi terlalu bergantung pada industri kendaraan listrik sebagai satu-satunya pasar utama. Pasalnya, teknologi baterai kendaraan listrik terus berkembang pesat, membuka peluang untuk peralihan penggunaan komoditas bahan baku. Para emiten perlu berekspansi dengan memasarkan produk olahan nikel ke berbagai industri lain seperti stainless steel, alloys, hingga material energi. “Peran pemerintah juga sangat krusial, yakni dengan mendorong permintaan domestik untuk pabrik baterai dan ekosistem EV lokal, serta menyediakan insentif ekspor dan jaminan kepastian regulasi demi mempertahankan kepercayaan investor dan pembeli global terhadap produk nikel Indonesia,” jelas dia.

Secara umum, Wafi menilai sektor nikel masih layak dicermati oleh investor, meskipun tetap harus memilih dengan selektif. Saham INCO, misalnya, tetap menarik dalam jangka panjang berkat cadangan nikel yang besar dan proyek pembangunan smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Sementara itu, saham NCKL dan NICL unggul berkat ekspansi agresif serta integrasi fasilitas HPAL dan Rotary Klin Electric Furnace (RKEF). Target harga saham INCO dipatok di level Rp 4.100 per saham, NCKL di level Rp 1.450 per saham, dan NICL Rp 1.200 per saham.

Senada, Arinda merekomendasikan saham NCKL, INCO, dan MBMA sebagai pilihan menarik di sektor nikel. Dengan target harga masing-masing di level Rp 1.150 per saham untuk NCKL, Rp 4.350 per saham untuk INCO, dan Rp 540 per saham untuk MBMA.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *