Sektor panas bumi, atau yang dikenal juga sebagai geothermal, semakin menarik perhatian di Indonesia sebagai tulang punggung masa depan energi terbarukan. Bukti terkini datang dari langkah strategis Grup Sinarmas yang baru saja mengukuhkan kerja sama dengan Energy Development Corporation, sebuah perusahaan energi terbarukan terkemuka asal Filipina.
Kolaborasi penting ini diformalisasi melalui entitas bisnis masing-masing. PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA) berpartisipasi melalui anak usahanya, PT DSSR Daya Mas Sakti, sedangkan Energy Development Corporation diwakili oleh PT FirstGen Geothermal Indonesia. Kemitraan ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengelola sumber daya panas bumi dengan potensi gabungan mencapai sekitar 440 megawatt (MW). Proyek ambisius ini akan tersebar di enam lokasi strategis yang meliputi Jawa Barat, Flores, Jambi, Sumatra Barat, dan Sulawesi Tengah, menandakan ekspansi signifikan dalam infrastruktur energi bersih nasional.
Langkah DSSA ini bukan yang pertama di pasar modal Indonesia yang melirik potensi panas bumi. Sebelumnya, emiten-emiten besar seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) dan PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) telah lebih dulu aktif menggarap sektor ini. Menurut Sukarno Alatas, Senior Equity Research Kiwoom Sekuritas, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia, mencapai sekitar 24 gigawatt (GW). Namun, potensi yang baru termanfaatkan baru sekitar 2,6 GW, menunjukkan ruang ekspansi yang masif.
Melihat potensi yang belum terjamah ini, Sukarno meyakini bahwa sektor geothermal memiliki ruang ekspansi yang sangat luas. Dorongan utama datang dari peningkatan permintaan energi bersih berbasis beban dasar (baseload) serta dukungan regulasi yang kuat, yang secara kolektif meningkatkan prospek industri ini. “Permintaan energi bersih dan dukungan regulasi menjadikan sektor ini prospektif,” tegasnya. Namun, ia juga mengingatkan agar para pelaku industri tetap mewaspadai tantangan yang ada, seperti tingginya biaya eksplorasi awal, kompleksitas perizinan, dan potensi risiko sosial yang mungkin timbul.
Dalam lanskap kompetitif ini, PGEO menonjol sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang secara murni berfokus pada panas bumi. Dengan kapasitas operasional langsung sekitar 727,5 MW dan total area kelolaan mencapai 1.933 MW, PGEO dinilai memiliki visibilitas paling tinggi di antara para pemain lainnya. Posisi dominannya ini menjadikannya pilihan menarik bagi investor yang mencari eksposur langsung ke sektor energi terbarukan.
Sementara itu, BREN, melalui entitasnya Star Energy, merupakan operator terbesar dengan kapasitas mencapai ±886 MW dan tengah menjalankan proyek ekspansi sebesar 112 MW. Namun, Sukarno Alatas mencatat bahwa valuasi BREN saat ini sudah berada di level premium, sehingga sensitivitas terhadap katalis proyek baru cenderung lebih tinggi. Untuk DSSA, proyek geothermal mereka masih berada pada tahap awal pengembangan, yang berarti kontribusi terhadap pendapatan perusahaan belum akan signifikan dalam jangka pendek. Meskipun demikian, keterlibatan DSSA dengan jelas menegaskan minat besar konglomerasi terhadap prospek jangka panjang sektor panas bumi di Indonesia.
Senada dengan pandangan tersebut, Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas, turut menggarisbawahi besarnya potensi geothermal di Indonesia. Baginya, wajar jika konglomerasi sekelas Sinarmas melirik sektor vital ini, mengingat “kebutuhan geothermal ke depannya juga akan sangat dibutuhkan seiring dengan pengurangan ketergantungan pada penggunaan energi batu bara.” Berdasarkan analisisnya, Nafan merekomendasikan “akumulasi beli” untuk PGEO dengan target harga Rp 1.725. Menariknya, alih-alih BREN, Nafan justru merekomendasikan “akumulasi beli” untuk PT Barito Pacific Tbk (BRPT), dengan target harga yang lebih tinggi, yaitu Rp 2.540.
Dari perspektif valuasi, Sukarno menilai PGEO relatif lebih atraktif dengan konsensus target harga berkisar antara Rp 1.855 hingga Rp 2.200. Kiwoom Sekuritas, senada, merekomendasikan “beli” untuk PGEO, mengingat kuatnya lini proyek (pipeline) dan posisi dominannya di pasar. Penilaian ini didukung oleh prospek pertumbuhan yang solid dan fundamental perusahaan yang kokoh dalam sektor geothermal.
Untuk BREN, Sukarno menyarankan status hold, karena meskipun memiliki skala operasional yang besar, valuasi sahamnya dianggap sudah premium. Sementara itu, DSSA ditempatkan dalam kategori hold atau watchlist lantaran peluang signifikan bagi perusahaan baru akan terwujud setelah finalisasi perjanjian usaha patungan (JV) dan proyek mencapai tahap financial close. Hal ini menunjukkan bahwa investasi di DSSA pada sektor geothermal masih memerlukan waktu untuk memberikan dampak yang substansial.
PGEO Chart by TradingView