Apa itu Burden Sharing?
Burden sharing, sebagaimana dijelaskan oleh Kemenkeu dan BI, adalah sebuah mekanisme inovatif dalam pembagian biaya bunga yang timbul dari pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah. Skema ini dijalankan dengan membagi secara proporsional biaya bunga tersebut, setelah dikurangi oleh imbal hasil yang diperoleh dari penempatan dana pemerintah pada institusi keuangan domestik.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, secara khusus menguraikan bahwa pembagian beban ini akan dialokasikan spesifik untuk SBN yang digunakan dalam pembiayaan program-program krusial, seperti inisiatif perumahan rakyat dan pengembangan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Implementasinya dilakukan dengan memberikan tambahan bunga ke rekening pemerintah yang tersimpan di Bank Indonesia, sebuah langkah yang selaras dengan peran sentral BI sebagai pemegang kas negara. Meskipun detail besaran tambahan bunga tidak dirinci, kedua institusi menegaskan bahwa penerapan kebijakan ini akan senantiasa menjunjung tinggi prinsip disiplin moneter.
Apakah BI Akan Mencetak Uang Baru?
Menanggapi kekhawatiran publik, Bank Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa skema burden sharing ini sama sekali tidak melibatkan pencetakan uang baru secara fisik yang berpotensi memicu inflasi secara langsung. Sebaliknya, BI menegaskan bahwa pembelian SBN dilakukan dengan memanfaatkan likuiditas yang sudah tersedia dalam sistem keuangan. Artinya, dana yang digunakan adalah bagian dari peredaran uang yang sudah ada, bukan menambah suplai uang dari awal.
Meskipun demikian, ada pula pandangan lain yang berpendapat bahwa pembelian SBN oleh bank sentral, terutama dalam volume besar, secara teknis dapat diinterpretasikan sebagai bentuk monetisasi utang atau quantitative easing. Kebijakan semacam ini memiliki potensi untuk meningkatkan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Oleh karena itu, jika tidak dikelola dengan sangat hati-hati dan cermat, langkah ini berisiko memicu tekanan inflasi di kemudian hari.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Keputusan krusial mengenai kelanjutan skema burden sharing ini merupakan hasil kesepakatan dan komitmen bersama antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia. Pihak yang bertanggung jawab dalam mengumumkan serta menjelaskan kebijakan ini diwakili oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, bersama dengan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Ramdan Denny Prakoso, yang secara transparan menyampaikan keterangan resmi kepada publik.
Bagaimana Mekanismenya?
Denny menjelaskan lebih lanjut mengenai detail implementasi burden sharing. Pelaksanaannya akan dilakukan melalui pemberian tambahan bunga yang dialokasikan ke rekening pemerintah di Bank Indonesia. Mekanisme ini tidak hanya berdasarkan kebutuhan praktis, namun juga memiliki landasan hukum yang kuat, sesuai dengan ketentuan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 dan Pasal 22 juncto Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Denny menekankan bahwa sinergi ini akan senantiasa diwujudkan dengan menerapkan kaidah kebijakan fiskal dan moneter yang menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian, transparansi, serta akuntabilitas demi menjaga stabilitas dan kepercayaan.
Kapan Berlaku?
Skema burden sharing yang menjadi sorotan ini dijadwalkan mulai berlaku efektif pada tahun 2025. Kebijakan ini akan terus diterapkan dan berlangsung secara berkelanjutan hingga seluruh program-program prioritas pemerintah yang menjadi target pembiayaan telah tuntas terlaksana, menunjukkan komitmen jangka panjang dalam mendukung pembangunan.
Mengapa Diperlukan?
Kemenkeu dan BI mengemukakan alasan mendasar di balik diperlukannya skema burden sharing ini. Utama tujuannya adalah untuk menciptakan ruang fiskal yang lebih leluasa bagi pemerintah, yang esensial dalam upaya mendorong stimulus pertumbuhan ekonomi serta meringankan beban yang dihadapi oleh masyarakat. Dari sisi Bank Indonesia, kebijakan ini secara konsisten diarahkan untuk mempertahankan stabilitas nilai tukar Rupiah dan menjaga tingkat likuiditas perbankan yang sehat. Secara simultan, langkah ini juga diproyeksikan untuk menjadi katalisator bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan di Indonesia.
Apakah akan Memicu Inflasi?
Kekhawatiran publik mengenai potensi dampak inflasi dari skema ini langsung ditanggapi oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa burden sharing tidak secara otomatis akan menjadi pemicu kenaikan harga barang dan jasa di pasar. Menurut Purbaya, inflasi baru akan menjadi ancaman nyata apabila pertumbuhan ekonomi melampaui kapasitas potensialnya. Kondisi saat ini, imbuhnya, masih jauh dari ambang batas tersebut. Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa inflasi yang didorong oleh permintaan, atau yang dikenal sebagai demand pull inflation, terjadi ketika ada kelebihan uang yang beredar sementara ketersediaan barang sangat terbatas.
“Inflasi itu tumbuhnya cepat, kalau ekonomi tumbuh cepat baru bisa inflasi. Kalau pertumbuhannya di atas laju pertumbuhan ekonomi potensial. Kita [kapasitas potensial] 6,5% sampai 6,7%. Jadi masih jauh kalau kita bilang demand pull inflation akan terjadi,” pungkas Purbaya pada Selasa, 9 September 2025, saat memberikan keterangan di Istana Negara, Jakarta. Beliau kembali menegaskan bahwa defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau peningkatan belanja pemerintah tidak serta-merta menjadi penyebab inflasi. Potensi inflasi baru akan meningkat secara signifikan apabila pertumbuhan ekonomi sudah melampaui kapasitas potensial yang dimiliki negara.