Tujuh Tahun Setelah Tragedi Caledonian Sky: Perempuan Adat Raja Ampat Memimpin Pemulihan Terumbu Karang
Tujuh tahun pasca insiden kapal pesiar Caledonian Sky yang menghancurkan terumbu karang Raja Ampat, sebuah proyek restorasi ambisius telah dimulai. Yang unik, proyek ini menempatkan perempuan adat Yenbuba di garis depan, berkolaborasi dengan para ilmuwan untuk menghidupkan kembali ekosistem laut yang rusak. Keterlibatan perempuan adat ini bukan sekadar partisipasi; mereka adalah kunci keberhasilan, membawa kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemulihan terumbu karang. Pengetahuan tradisional mereka tentang lingkungan laut menjadi aset berharga dalam upaya ini.
Insiden nahas pada Maret 2017, ketika kapal mewah Caledonian Sky yang membawa 102 wisatawan kandas di perairan dangkal Pulau Kri, meninggalkan luka mendalam. Kerusakan yang diakibatkannya, diperkirakan mencapai miliaran rupiah, menimbulkan kecaman internasional dan menyoroti lemahnya perlindungan kawasan konservasi di Indonesia. Aleksina Unpain, seorang perempuan Yenbuba dari Pulau Mansuar, menggambarkan kerusakan yang terjadi: “Karang-karang di sekitaran lokasi itu hancur karena kandas kapal dan minyak dari kapal itu, sehingga di lokasi itu kerusakan karang banyak.” Proses evakuasi kapal pun memperparah kerusakan. “Terumbu karang kalau rusak, dan ekosistem yang ada di Raja Ampat, khususnya di Pulau Mansuar, di Kampung Yenbuba, kalau rusak memang kami tidak bisa buat apa-apa, karena dari laut kami juga menikmati hasil dari terumbu karang,” ujar Aleksina kepada wartawan BBC News Indonesia, Abd Rahman Muchtar. Insiden ini merusak terumbu karang seluas sekitar 1.600 meter persegi—setara tiga kali lapangan sepak bola—menghancurkan spesies karang langka dan menghancurkan kehidupan laut.
Setelah negosiasi panjang dengan pemilik kapal dan perusahaan asuransi, tercapai kesepakatan untuk mendanai proyek restorasi selama dua tahun senilai jutaan dolar. Proyek yang dijadwalkan selesai pada akhir 2026 ini menargetkan rehabilitasi terumbu karang seluas 3.797 meter persegi yang mengalami kerusakan langsung dan 19.232 meter persegi yang terdampak secara tidak langsung di sekitar Pulau Kri.
Restorasi ini menggunakan teknologi mutakhir. Metode transplantasi karang canggih dikerahkan, termasuk sistem reef star—struktur heksagonal baja yang menambatkan fragmen karang—dan teknik mikro fragmentasi untuk mempercepat pertumbuhan karang. Tim ilmiah dari Departemen Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin (Unhas), bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup, BLUD UPTD Kawasan Konservasi Perairan Raja Ampat, dan PT Jorindo Agung, memimpin proyek ini. Syafyudin Yusuf, peneliti dan ahli biologi terumbu karang dari Unhas, menjelaskan, “Kami berharap karang-karang yang ditanam pada Reefstar ini akan tumbuh dengan cepat, tumbuh untuk menutupi dan mengembalikan fungsi terumbu karang sebagaimana mestinya.” Metode ini diharapkan mempercepat pemulihan yang biasanya memakan waktu puluhan tahun menjadi satu hingga tiga tahun.
Namun, proyek ini lebih dari sekadar pemulihan ekologi. Syafyudin menekankan pentingnya “inklusi sosial,” melibatkan masyarakat setempat dalam setiap tahap—perencanaan, implementasi, dan evaluasi. Perempuan Yenbuba berperan aktif, menentukan lokasi penanaman dan pembibitan karang. Sekitar 80% dari mereka terlibat langsung dalam penanaman. “Tujuannya bukan hanya perbaikan ekologi, tetapi juga inklusi sosial,” tegas Syafyudin. Perjanjian tersebut juga mencakup kompensasi finansial bagi masyarakat Yenbuba melalui pembayaran langsung, lapangan kerja, dan investasi dalam program ekowisata dan pengelolaan laut berbasis masyarakat.
Elisabet Kikio, salah satu perempuan Yenbuba yang berpartisipasi, mengungkapkan rasa bahagianya, memandang terumbu karang sebagai “berkat” yang perlu dilindungi untuk generasi mendatang. Ia berharap wisatawan lebih peduli dan menghindari kerusakan terumbu karang. Pendapat serupa disampaikan oleh Anique Van Tol, wisatawan asal Belanda, yang mengapresiasi keterlibatan lokal dan menyatakan kepedulian wisatawan terhadap lingkungan.
Pemantauan berkala menggunakan drone dan survei bawah air akan dilakukan untuk menilai pertumbuhan karang dan stabilitas ekologi, dengan temuan yang dibagikan kepada badan konservasi internasional. Hingga Mei 2025, lebih dari 2.000 unit reef star telah ditanam, masing-masing berisi 10 fragmen karang. Proyek ini menjadi contoh nyata pemulihan ekologis sekaligus pemberdayaan masyarakat adat dalam perlindungan sumber daya laut. Aleksina Unpain, dengan penuh harapan, menyatakan, “Saya mau karena saya ingin anak cucu saya juga menikmati terumbu karang seperti saya, sehingga saya harus menjaga dan melindungi laut.”
- Kisah perempuan Papua di balik peristiwa viral Save Raja Ampat – ‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
- Bahlil hentikan sementara operasi tambang nikel di Raja Ampat, Greenpeace sebut hanya ‘akal-akalan’ untuk meredam protes
- Izin empat perusahaan di Raja Ampat dicabut – Apa untung-rugi menambang di pulau-pulau kecil?
- Pemerintah Indonesia didesak ‘segera bertindak’ dalam kasus Raja Ampat
- RI tuntut pertanggungjawaban perusak terumbu karang di Raja Ampat
- Kerusakan terumbu karang di Raja Ampat lebih besar dari yang 1.600m2?