Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menyusun rencana pelarangan penggunaan ondel-ondel untuk mengamen di jalanan. Kebijakan yang digagas Gubernur Pramono Anung ini bertujuan menjaga muruah kesenian Betawi tersebut, namun sekaligus menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi para pegiat seni yang menggantungkan hidup dari kegiatan ini, menambah potensi pengangguran di ibu kota.
Para pengamen ondel-ondel mengaku tidak memiliki alternatif pekerjaan lain. Mereka cemas akan kehilangan satu-satunya sumber pendapatan jika pemerintah daerah betul-betul merealisasikan pelarangan tersebut. “Kalau ondel-ondel dilarang, mau makan apa? Ini doang pencarian saya,” keluh Achmad Muchsin, seorang pengamen ondel-ondel berusia 23 tahun, kepada Arie Firdaus dari BBC News Indonesia.
Kisah Muchsin adalah cerminan kerasnya perjuangan. Setiap hari, ia memikul boneka raksasa seberat sekitar lima kilogram selama sembilan hingga sepuluh jam, berkeliling puluhan kilometer di bawah terik matahari Jakarta. Memar di bahu telah menjadi teman setianya, namun baginya, mencari uang untuk makan adalah prioritas utama. Muchsin, yang hanya lulusan SMP, jujur mengakui tidak memiliki keahlian lain selain mengamen. “Daripada enggak ngapa-ngapain di rumah,” ujarnya menggambarkan situasi yang serba sulit.
Dengan jam kerja yang panjang dan melelahkan, Muchsin serta rekan-rekannya harus berhitung cermat. Pendapatan harian mereka bervariasi, dari Rp100.000 saat sepi hingga di atas Rp200.000 saat beruntung. Namun, angka ini belum bersih. Mereka harus menyisihkan sebagian besar untuk biaya operasional: sewa bajaj atau angkutan kota untuk memindahkan ondel-ondel, makan di perjalanan, hingga menyewa speaker dan sebuah ondel-ondel dari pemilik sanggar. Setelah semua pengeluaran, Muchsin mengaku hanya bisa membawa pulang sekitar Rp30.000-Rp40.000 per orang setiap hari. Penghasilan yang pas-pasan ini, menurutnya, hanya “secukupnya saja” untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebagai bujangan.
Di balik para pengamen, ada sosok Mulyadi, pemilik sanggar Irama Betawi di Pasar Gaplok, Senen, Jakarta Pusat. Mulyadi mengaku dilanda pergolakan batin saat harus menyewakan ondel-ondel miliknya untuk mengamen. Sebagai seniman, ia ingin kesenian Betawi ini tampil di tempat yang layak, bukan di jalanan. Namun, keterbatasan lokasi tampil dan kebutuhan untuk menghidupi sanggar serta membantu tetangga yang tidak memiliki pekerjaan tetap, membuatnya terpaksa menyewakan dua dari tiga pasang ondel-ondel miliknya.
Pandemi Covid-19 menghantam keras Sanggar Irama Betawi. Jika pada 2014 mereka bisa tampil empat hingga lima kali sebulan, kini panggilan mentas “belum tentu sebulan sekali atau bahkan setahun sekali.” Mulyadi beradaptasi dengan membuka toko kelontong dan menjadi perajin ondel-ondel, menjualnya kepada hotel, perusahaan, atau kantor pemerintahan. Ia berharap pemerintah tidak hanya melarang, tetapi juga menyiapkan solusi konkrit seperti memperbanyak akses lokasi pertunjukan atau memberikan anggaran pembinaan bagi sanggar, terutama yang tidak terafiliasi komunitas besar.
Rencana pelarangan mengamen menggunakan ondel-ondel pertama kali disuarakan oleh Gubernur Pramono Anung pada 28 Mei 2025. Alasan utamanya adalah untuk menjaga muruah kesenian Betawi, agar “budaya Betawi ini kita naikkan, kita buat menjadi sesuatu budaya yang sangat dihormati oleh siapa pun. Bukan kemudian budaya untuk ngamen.” Gubernur juga menyatakan akan menerbitkan peraturan daerah (perda) yang mencantumkan sanksi bagi pelanggar. Wakil Gubernur Rano Karno sempat menargetkan perda tersebut terbit pada HUT ke-498 Kota Jakarta, namun hingga kini beleid tersebut belum rampung.
Sejumlah seniman dan budayawan Betawi, seperti Bachtiar dari Sanggar Si Pitung dan Yahya Andi Saputra, mendukung adanya regulasi. Mereka kerap mendapati pengamen ondel-ondel yang tidak sesuai pakem, misalnya diarak tidak berpasangan, diiringi musik seadanya, atau tidak mengenakan pakaian tradisional. Kondisi ini dikhawatirkan dapat mereduksi nilai dan citra budaya Betawi. Muchsin sendiri pernah mengalami teguran keras saat mengamen, dituding “memakai budaya gue ngamen! Bikin gue malu aja lu!” Hal ini menunjukkan adanya ketegangan antara pelestarian budaya ideal dengan realitas ekonomi.
Menariknya, ondel-ondel digunakan untuk mengamen bukanlah fenomena baru. Budayawan Yahya Andi Saputra menyebut bahwa catatan sejarah menunjukkan praktik ini sudah ada sejak awal abad ke-20 di era kolonial, bahkan pemerintah kolonial pun mengaturnya dengan ketat, termasuk kewajiban menggunakan sepasang ondel-ondel dan membayar pajak. Seiring waktu, ondel-ondel mengalami perubahan fisik, dari yang digambarkan seram sebagai penolak bala menjadi lebih ramah. Antropolog Universitas Indonesia, Yasmine Zaki Shahab, berpendapat bahwa perubahan ini adalah hal yang wajar mengingat adaptasi kultur masyarakat Betawi.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Mochamad Miftahulloh Tamary, menegaskan bahwa larangan ini menyasar ondel-ondel yang tidak sesuai pakem dan bahkan dapat dikategorikan sebagai mengemis. Pihaknya sedang merampungkan detail aturan perda bersama para pemangku kepentingan untuk memastikan substansinya sesuai tujuan pelestarian. Meski menyadari potensi dampak ekonomi, Miftahulloh menyatakan pemerintah akan berupaya memberdayakan para pegiat seni ondel-ondel dalam berbagai kesempatan seperti HUT DKI, Karnaval Budaya, Lebaran Betawi, dan acara resmi lainnya.
Dilema antara idealisme pelestarian budaya dan realitas ekonomi para pegiatnya menjadi tantangan besar bagi DKI Jakarta. Mencari titik temu yang dapat mengangkat muruah kesenian Betawi tanpa meminggirkan pengamen ondel-ondel yang menggantungkan hidup, menjadi krusial. Solusi yang komprehensif diharapkan dapat menciptakan harmoni antara nilai-nilai luhur budaya dan kesejahteraan masyarakat.