caristyle.co.id , JAKARTA – Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menembus level psikologis baru 8.000 dan mencapai all time high (ATH) penutupan pada Jumat (19/9/2025), performa saham-saham perbankan papan atas seperti Bank Mandiri (BMRI) dan Bank Negara Indonesia (BBNI) justru belum menunjukkan kinerja yang optimal.
Kondisi ini terlihat jelas saat IHSG mencetak rekor baru. Pada penutupan perdagangan Jumat lalu, BMRI dan BBNI justru menghuni daftar tiga besar saham penghambat utama (top laggards) dengan koreksi masing-masing 0,90% dan 1,61%. Lebih jauh lagi, secara year to date (YTD), daftar top laggards paling atas didominasi oleh Bank Central Asia (BBCA) dengan koreksi 20,41%, disusul BMRI di posisi kedua dengan koreksi 23,16%. Secara sektoral, indeks IDXFINANCE hanya mampu tumbuh tipis 0,01% pada Jumat lalu, sebuah kontras mengingat pelonggaran kebijakan moneter yang seharusnya menjadi stimulus utama pendorong laju indeks komposit.
Menanggapi fenomena ini, pengamat pasar modal Indonesia Reydi Octa menilai bahwa prospek saham emiten bank sesungguhnya masih sangat menjanjikan. Potensi ini terutama akan terwujud apabila tren suku bunga rendah telah dimulai. Menurutnya, kondisi tersebut akan didukung oleh peningkatan likuiditas pasar akibat penggelontoran dana dari Bank Indonesia. Berbagai stimulus lain yang diharapkan ikut mendorong adalah ekspektasi peningkatan penyaluran kredit, penurunan cost of fund perbankan, hingga peningkatan margin bank. “Ruang penguatan untuk perbankan potensinya sangat kuat menuju akhir tahun,” ujar Reydi kepada Bisnis, dikutip Minggu (21/9/2025).
Reydi menambahkan, saham emiten perbankan berpotensi menjadi rotasi sektor berikutnya di tengah kemungkinan koreksi IHSG akibat profit taking setelah menyentuh ATH baru. Argumen ini didasari oleh fakta bahwa sektor perbankan belum mendapatkan apresiasi harga yang signifikan semenjak kebijakan penurunan suku bunga oleh BI dan The Fed. “Saham emiten perbankan semakin dinilai undervalued dan defensif dengan fundamental yang solid,” tegasnya, menyoroti daya tahan sektor ini.
Namun, skenario rebound untuk saham-saham perbankan ini bisa menghadapi ganjalan serius. Reydi memaparkan beberapa risiko, di antaranya tekanan terhadap nilai tukar rupiah, atau potensi peningkatan non performing loan (NPL) sebagai konsekuensi atas ekspansi kredit yang agresif, menyusul kebijakan penggelontoran dana Rp200 triliun dari bank sentral ke bank-bank Himbara. “Ganjalan lainnya adalah penundaan pemangkasan suku bunga di saat isu tarif dagang dan geopolitik kembali tereskalasi,” ujarnya, menggarisbawahi faktor eksternal yang dapat mempengaruhi.
: : Bank Mandiri (BMRI) Pangkas Target Penyaluran Kredit dan Rasio Margin 2025
Sementara itu, Liza Camelia Suryanata, Head Riset Kiwoom Sekuritas, turut mencermati potensi rotasi sektoral yang akan dicari pasar. Ia melihat adanya pergeseran minat investor ke saham-saham yang diuntungkan oleh kondisi likuiditas domestik yang longgar. Sederet sektor yang diperkirakan akan menadah dampak positif adalah emiten perbankan, yang diuntungkan dengan likuiditas longgar sehingga mampu menurunkan cost of fund serta meningkatkan kemampuan menyalurkan kredit.
Sejalan dengan aliran dana yang berpotensi masuk ke sektor riil melalui penyaluran kredit, yang pada gilirannya mampu mendorong daya beli masyarakat, Liza menilai saham-saham sektor consumer staples juga menjadi sektor yang menjanjikan. Selain itu, sektor lain yang turut diuntungkan adalah konstruksi kecil/menengah dan material tertentu, terutama jika belanja pemerintah dapat direalisasikan sesuai rencana, memberikan dorongan signifikan bagi sektor ini.
: : Bank Mandiri (BMRI) Buka Peluang Bagikan Dividen Interim
Sebaliknya, ada beberapa sektor yang menurut Liza perlu diwaspadai. Sektor properti, misalnya, memerlukan waktu yang lebih lama agar penurunan suku bunga dapat ditransmisikan menjadi penurunan bunga KPR. Sektor lain yang membutuhkan kehati-hatian adalah sektor telekomunikasi yang memerlukan capex besar dan menghadapi kompetisi pasar yang ketat, serta sektor komoditas siklikal yang sangat sensitif terhadap fluktuasi dolar AS, sehingga rentan terhadap perubahan kondisi makroekonomi global.
Bank Mandiri (Persero) Tbk. – TradingView
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. – TradingView
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.