Rencana Trump Akhiri Perang Gaza: Reaksi Hamas & Israel

Posted on

Donald Trump dan Benjamin Netanyahu membahas rencana untuk mengakhiri perang di Gaza. Lalu, apa saja yang tercantum dalam usulan 21 poin tersebut?

Janji terbaru Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk mengakhiri konflik di Gaza dengan segera disambut dengan keraguan oleh sebagian besar pengamat. Penilaian skeptis ini tak lepas dari rekam jejak Trump yang sebelumnya melontarkan klaim palsu bahwa dia telah mengakhiri tujuh perang.

“Kita punya peluang nyata untuk mencapai KEJAYAAN DI TIMUR TENGAH. SEMUA PIHAK SIAP UNTUK SESUATU YANG ISTIMEWA, UNTUK PERTAMA KALINYA. KITA AKAN WUJUDKAN!!!” seru Donald Trump di platform Truth Social miliknya pada Minggu (28/09).

Pernyataan tersebut merujuk pada rencana 21 poin yang digagasnya, yang rinciannya mulai terungkap akhir pekan lalu. Usulan ini menjadi sorotan menjelang pertemuannya di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (29/09), yang merupakan pertemuan keempat mereka di tahun ini. Lantas, poin-poin krusial apa saja yang sebenarnya tercantum dalam usulan perdamaian Gaza tersebut?

Menuju pembentukan negara Palestina

Salah satu aspek terpenting dari rencana Donald Trump ini adalah membuka jalan menuju pembentukan negara Palestina, sebuah gagasan yang secara konsisten dan tegas ditentang oleh Israel. Selain itu, rencana tersebut juga mencakup peta jalan masa depan yang komprehensif untuk Gaza. Poin krusial lainnya adalah tuntutan pembebasan 20 sandera yang masih hidup di Gaza, serta sejumlah sandera yang telah meninggal, untuk ditukar dengan pembebasan ratusan warga Palestina yang ditahan di Israel. Proses pertukaran ini harus terealisasi dalam waktu 48 jam setelah kesepakatan tercapai.

Menurut laporan dari The Washington Post, “Setelah semua sandera dibebaskan, Israel akan membebaskan 250 tahanan yang menjalani hukuman seumur hidup, serta 1.700 warga Gaza yang ditahan setelah serangan 7 Oktober. Untuk setiap sandera Israel yang jasadnya dikembalikan, Israel akan menyerahkan jasad 15 warga Gaza yang telah meninggal.” Rincian ini menunjukkan kompleksitas dan skala pertukaran yang diusulkan.

Lebih lanjut, rencana 21 poin ini secara tegas menuntut penggulingan Hamas, yang diakui sebagai organisasi teroris oleh Jerman, Uni Eropa, AS, dan beberapa negara Arab, serta komitmen Hamas untuk melucuti senjata. Tak hanya itu, ada pula tuntutan reformasi terhadap Otoritas Palestina (PA) dan janji dari Israel untuk tidak melancarkan serangan lebih lanjut terhadap Qatar, negara yang selama ini telah berupaya berperan sebagai mediator dalam konflik tersebut.

Poin-poin lain mencakup rencana ekonomi yang ambisius untuk mendorong pertumbuhan di Gaza, jaminan keamanan untuk Gaza yang akan dijaga oleh AS dan negara-negara kawasan. Rencana ini juga memberikan kesempatan bagi warga yang telah meninggalkan Gaza untuk kembali, tanpa ada pemaksaan bagi siapa pun yang masih tinggal di sana untuk pergi, menjamin kebebasan memilih bagi penduduk.

Gaza nantinya akan dikelola oleh pemerintahan transisi. Menariknya, mantan anggota Hamas diberi opsi untuk tetap tinggal dan berpartisipasi dalam rencana baru ini, atau diberi jalan aman untuk pindah ke negara lain yang tidak disebutkan. Selain itu, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) harus segera menghentikan semua operasinya setelah kesepakatan dan menyerahkan wilayah yang telah direbut. Israel juga harus berjanji tidak akan menduduki atau mencaplok wilayah Gaza. Komisi Penyelidikan di bawah Dewan HAM PBB (UNHRC) baru-baru ini menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida terhadap warga Palestina, menambah urgensi pada ketentuan ini.

Rencana perdamaian Gaza ini juga mencakup jaminan bahwa bantuan dari lembaga internasional bisa masuk ke Gaza tanpa hambatan dari kedua pihak, meskipun tidak disebutkan soal Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung oleh Israel dan AS.

Asal-usul rencana 21 poin Trump

Pada Senin (23/09), utusan AS Steve Witkoff mengungkapkan bahwa Donald Trump mengajukan rencana 21 poin tersebut dalam sebuah pertemuan penting dengan para pemimpin dari negara-negara Arab dan Islam, termasuk Qatar, Arab Saudi, Indonesia, Turki, Pakistan, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Yordania, di markas PBB. Sayangnya, Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas tidak diizinkan menghadiri Sidang Umum PBB, tempat pertemuan sela itu berlangsung, setelah pemerintah AS menolak memberinya visa.

Dalam sebuah pernyataan bersama, negara-negara yang terlibat dalam pertemuan tersebut “menegaskan kembali komitmen untuk bekerja sama dengan Presiden Trump dan menekankan pentingnya kepemimpinannya untuk mengakhiri perang.” Ini menandakan adanya dukungan awal dari beberapa pihak kunci di kawasan terhadap inisiatif Donald Trump.

Rencana 21 poin ini kabarnya juga mendapat dukungan dari Tony Blair Institute for Global Change, yang dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Inggris tersebut. Beberapa laporan bahkan menyebut Blair akan memimpin Gaza International Transitional Authority (GITA) berdasarkan rencana ini. Namun, Blair sendiri dinilai tidak populer di Timur Tengah karena dukungannya terhadap invasi AS ke Irak pada tahun 2003. GITA diproyeksikan akan memegang kendali selama beberapa tahun hingga Otoritas Palestina dinilai memenuhi syarat yang diperlukan untuk menjalankan pemerintahan yang stabil.

Usulan ini muncul di tengah meningkatnya jumlah negara Barat, seperti Inggris, Prancis, dan Kanada, yang mulai mengakui negara Palestina. Namun, Benjamin Netanyahu menyebut keputusan-keputusan tersebut sebagai “tindakan tercela,” menunjukkan adanya perbedaan pandangan yang signifikan di kancah internasional.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Respons Hamas dan Israel

Meskipun Donald Trump sangat percaya diri dengan rencana perdamaian Gaza yang diusulkannya, Benjamin Netanyahu jauh lebih berhati-hati dalam menanggapi, meski tidak secara langsung menolaknya. “Kami sedang mengerjakannya,” katanya kepada Fox News pada Minggu (28/09). “Ini belum final, tapi kami sedang bekerja sama dengan tim Presiden Trump saat ini,” ungkap Netanyahu, menyiratkan proses yang masih berjalan.

Pada Jumat (26/09), seorang pejabat Hamas yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa kelompok tersebut belum pernah menerima pemaparan resmi mengenai rencana 21 poin tersebut.

Kelompok itu kemudian merilis pernyataan pada hari Minggu (28/09) yang menyatakan, “Hamas siap untuk mempertimbangkan secara positif dan bertanggung jawab setiap proposal yang datang dari para mediator, asalkan proposal itu melindungi hak-hak nasional rakyat Palestina.” Pernyataan ini menunjukkan kesediaan Hamas untuk berdialog, dengan syarat-syarat tertentu.

Sementara itu, Menteri Keuangan sayap kanan Israel, Bezalel Smotrich, menguraikan kesulitan yang akan dihadapi Benjamin Netanyahu dalam mengimplementasikan rencana semacam itu, meskipun secara umum ia mendukung upaya perdamaian. Hal itu disampaikannya melalui akun X pada Senin (29/09). Ia menulis bahwa keamanan Israel bergantung pada “tindakan, kendali kami atas wilayah, dan penegakan tanpa kompromi yang hanya bergantung pada (militer Israel) dan aparat pertahanan kami.” Smotrich juga secara tegas menolak segala bentuk keterlibatan Otoritas Palestina, yang pernah memerintah Gaza hingga Hamas mengambil alih pada tahun 2007, menunjukkan tantangan politik internal yang signifikan bagi Israel.

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Algadri Muhammad dan Muhammad Hanafi

Editor: Hani Anggraini

ind:content_author: Matt Pearson

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *