Manufaktur Lesu, Pilih Saham Defensif! Strategi Cerdas Investor

Posted on

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sektor manufaktur Indonesia kembali menunjukkan geliatnya dengan mencatatkan ekspansi tipis pada bulan September 2025. Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh S&P Global, Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur tercatat berada di level 50,4. Meskipun demikian, angka ini sedikit melambat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang menorehkan posisi 51,5, mengindikasikan adanya perlambatan momentum pertumbuhan.

Perlambatan dalam indeks PMI Manufaktur ini, menurut Head of Research Kiwoom Sekuritas, Liza Camelia Suryanata, mengisyaratkan bahwa permintaan di pasar sejatinya masih tetap ada. Namun, para pelaku usaha kini cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menambah kapasitas produksi mereka. Hal ini mencerminkan sikap kehati-hatian di tengah dinamika ekonomi yang memerlukan strategi bisnis yang lebih adaptif.

Lebih lanjut, tekanan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut menjadi sorotan utama. Kondisi ini secara signifikan menekan margin keuntungan bagi emiten-emiten yang sangat bergantung pada impor bahan baku. Sebaliknya, emiten dengan kemampuan pricing power yang kuat serta basis permintaan domestik yang stabil justru dinilai memiliki posisi yang lebih aman di tengah fluktuasi pasar.

Saham Defensif Jadi Pilihan Menarik

Dalam jangka pendek, saham-saham yang tergolong defensif menarik perhatian investor berkat konsistensi permintaan dan kemampuan menjaga margin keuntungan. Beberapa nama besar yang disebut-sebut adalah PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), dan PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). Perusahaan-perusahaan ini memiliki fundamental kuat yang membuatnya relatif tahan terhadap gejolak pasar.

Di sisi lain, saham-saham siklikal seperti PT Semen Indonesia Tbk (SMGR), PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), dan PT Chandra Asri Pacific Tbk (TPIA) tetap menyimpan potensi besar. Namun, untuk dapat merealisasikan potensi tersebut, emiten-emiten ini membutuhkan katalis tambahan yang signifikan, baik dari proyek-proyek infrastruktur baru maupun dorongan ekspor yang lebih kuat.

“Investor sebaiknya overweight ke emiten defensif dengan arus kas stabil, sambil selektif masuk ke siklikal saat permintaan terlihat membaik,” tutur Liza kepada Kontan pada Rabu (1/10). Ia menambahkan bahwa ekspansi tipis PMI manufaktur bukan berarti seluruh saham manufaktur berisiko melemah. Sebaliknya, investor perlu memfokuskan perhatian pada emiten yang terbukti mampu menjaga profitabilitas perusahaan di tengah tantangan ini.

IHSG Melemah 0,21% ke 8.043 pada Rabu (1/10/2025), AKRA, AMRT, AMMN Top Losers LQ45

Dihubungi secara terpisah, Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany Travelin Yunus, mengutarakan pandangannya bahwa kondisi lesunya PMI manufaktur memang menandakan adanya tekanan yang cukup berat pada emiten-emiten manufaktur. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara supply dan demand, yang tentu saja akan menjadi beban bagi operasional dan keuangan perusahaan.

Menurut Indri, lemahnya permintaan pasar terhadap barang setengah jadi berpotensi besar menyebabkan cost atau biaya produksi perusahaan membengkak, sehingga margin keuntungan perusahaan pun tertekan. Kondisi ini menuntut strategi efisiensi dan adaptasi yang lebih cermat dari para pelaku industri.

Indri juga menjelaskan bahwa data manufaktur dipengaruhi oleh beragam faktor kompleks dan memiliki dampak yang luas, namun tidak selalu signifikan secara merata. Oleh karena itu, tidak semua emiten manufaktur akan secara otomatis sensitif hanya karena data manufaktur itu sendiri. Sensitivitas tersebut lebih sering dipengaruhi oleh faktor permintaan dari masing-masing segmentasi output yang dihasilkan oleh emiten.

Saham Big Banks Kompak Melemah pada Penutupan Bursa Rabu (1/10)

“Saat ini, kecenderungan para pelaku pasar adalah memanfaatkan momentum berdasarkan sentimen dari masing-masing emiten seperti aksi korporasi perusahaan maupun dari sisi momentum pasar berdasarkan pergerakan harga secara teknikal,” tambah Indri. Hal ini menunjukkan bahwa keputusan investasi kini lebih banyak didasarkan pada dinamika spesifik perusahaan dan tren harga, di samping data ekonomi makro.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *