Tim gabungan penyelamat menghadapi misi evakuasi yang sarat tantangan di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, tempat reruntuhan bangunan menjebak sejumlah santri. Suara-suara memilukan, jeritan minta tolong, terus terdengar dari balik puing, menjadi isyarat vital bahwa para santri masih hidup dan sangat membutuhkan pertolongan segera.
Laksita Rini Sevriani, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) Kota Surabaya, menegaskan bahwa kondisi di lokasi sangatlah ekstrem. Tim penyelamat harus berjibaku di tengah medan reruntuhan yang sempit dan berpotensi membahayakan. “Situasi dan kondisinya memang sangat sulit,” ujar Laksita Rini pada Rabu (1/10) malam. Beruntung, lanjutnya, peralatan canggih seperti kamera dan live detector sangat membantu tim memantau posisi serta kondisi korban reruntuhan, membuka harapan di tengah keputusasaan.
Laksita Rini merinci momen-momen dramatis penyelamatan beberapa santri, termasuk Yusuf, Haikal, dan Deni. Meski celah di antara puing sangat terbatas, jeritan pilu anak-anak ini berhasil terdeteksi, membimbing langkah tim. “Alhamdulillah, tim rescue berhasil menyelamatkan,” tuturnya, merujuk pada keberhasilan awal menarik Yusuf dan kemudian Deni dari belitan reruntuhan. Namun, evakuasi santri bernama Haikal justru menghadapi kesulitan luar biasa; tubuhnya terjepit kuat, tertutup oleh material keras seperti bordes.
Proses penyelamatan Haikal, sang santri, sungguh menguras energi dan waktu, berlanjut hingga keesokan harinya. Punggungnya yang terjepit kuat di bawah material reruntuhan dan terhalang bahkan oleh jenazah temannya, menuntut strategi yang sangat hati-hati dari tim gabungan, termasuk Basarnas. Setelah perjuangan panjang, Haikal akhirnya berhasil dikeluarkan, meski dalam kondisi “kuning”, menandakan perlunya perawatan medis intensif di rumah sakit.
Di tengah ancaman puing, tim penyelamat juga tak luput memberikan perhatian serius pada aspek psikologis korban reruntuhan. Komunikasi terus-menerus dibangun dengan para santri yang masih terjebak, tidak hanya untuk memetakan lokasi mereka tetapi juga untuk menjaga kesadaran dan semangat juang. “Masih banyak anak-anak yang berteriak,” jelas Laksita Rini, menggambarkan upaya tim untuk memberi dukungan moral, menanamkan kesabaran, dan meyakinkan bahwa bantuan pasti akan datang. Bahkan, makanan dan minuman sempat disalurkan kepada korban, walau dengan susah payah karena keterbatasan gerak mereka, seperti Haikal yang hanya mampu menggerakkan tangannya, semua demi menjaga vitalitas dan harapan para santri.
Laksita Rini tak sungkan mengakui bahwa misi ini adalah sebuah “tantangan yang sangat luar biasa” bagi tim rescue. Mereka harus menyusup ke celah-celah sempit, bahkan dengan ketinggian hanya beberapa sentimeter, berimpitan langsung dengan material reruntuhan yang rapuh. Dalam operasi gabungan berskala besar ini, DPKP Kota Surabaya mengerahkan dua tim penyelamat, masing-masing beranggotakan 6 hingga 8 personel, berkolaborasi erat dengan Basarnas serta unit-unit lainnya yang tersebar di berbagai titik lokasi kejadian.
Upaya tanpa henti ini terus membuahkan hasil, dengan jumlah korban reruntuhan yang berhasil dievakuasi dari insiden Ponpes Al Khoziny terus bertambah. Pada hari Rabu, tujuh orang berhasil diselamatkan, meskipun dua di antaranya dinyatakan meninggal dunia. Dengan demikian, total korban meninggal dunia akibat tragedi ini mencapai lima orang. Secara keseluruhan, hingga saat ini, 107 orang telah dievakuasi dari lokasi, dengan lima di antaranya merupakan korban meninggal dunia.