Dunia berduka atas kepergian Jane Goodall, ikon primatolog dan pakar simpanse paling termasyhur di dunia, yang meninggal dunia pada usia 91 tahun. Kabar duka ini secara resmi dikonfirmasi oleh Jane Goodall Institute (JGI) pada Rabu (1/10) waktu setempat, menandai berakhirnya era seorang pelopor yang tak tergantikan.
Perempuan bernama lengkap Dame Valerie Jane Morris-Goodall ini menghembuskan napas terakhir karena penyebab alami. Ia berpulang saat tengah berada di tengah-tengah tur sebagai pembicara konservasi yang berapi-api di Los Angeles, California, AS. Dalam pernyataan resminya, JGI menyebut Goodall sebagai sosok “luar biasa yang penuh keberanian dan keyakinan,” seraya menambahkan, “Seumur hidupnya didedikasikan untuk menyuarakan ancaman terhadap satwa liar, mendorong konservasi, serta menginspirasi hubungan yang lebih harmonis dan berkelanjutan antara manusia, hewan, dan alam.”
Lahir di London, Inggris, pada 3 April 1934, kecintaan Goodall pada hewan sudah tampak sejak usia dini. Ia terinspirasi oleh buku The Story of Dr. Dolittle dan diiringi rasa penasaran mendalam akan ekosistem Afrika. Titik balik dalam hidupnya terjadi pada tahun 1957 ketika perjalanannya ke Kenya mempertemukannya dengan paleoantropolog Louis Leakey. Pertemuan krusial ini meyakinkan Jane untuk meneliti perilaku simpanse (Pan troglodytes) sebagai kunci untuk memahami nenek moyang manusia.
Tiga tahun berselang, Goodall memulai riset revolusionernya di Taman Nasional Gombe Stream, Tanzania. Tanpa latar belakang akademis formal di bidang yang saat itu didominasi kaum laki-laki, ia menghabiskan berbulan-bulan mengamati simpanse, memberi mereka nama-nama personal seperti Fifi, Passion, dan David Greybeard. Pendekatan humanistiknya ini kelak mengubah cara pandang dunia ilmiah terhadap hewan. “Bukan hanya manusia yang punya kepribadian, yang mampu berpikir rasional, dan punya emosi seperti suka dan duka,” kata Goodall dalam film dokumenter PBS tahun 1996.
Pada tahun 1966, Goodall meninggalkan Gombe untuk sementara waktu dan memilih untuk menyelesaikan program doktoralnya di University of Cambridge. Disertasinya merinci studi ekstensif yang dia lakukan selama riset di Gombe, termasuk mendokumentasikan momen bersejarah seekor simpanse yang meraut ranting untuk menangkap rayap. Temuan ini benar-benar mengguncang dunia ilmiah karena mematahkan anggapan bahwa hanya manusia yang mampu membuat alat. Louis Leakey bahkan berseru, “Kita harus mendefinisikan ulang alat, mendefinisikan ulang manusia, atau menerima simpanse sebagai manusia!”
Lebih lanjut, Goodall juga mencatat perilaku unik simpanse yang berburu dan memakan daging, membuktikan bahwa mereka adalah omnivora, bukan vegetarian seperti yang diyakini sebelumnya. Ia juga menyaksikan simpanse berpelukan saat berduka ketika salah satu anggotanya mati, bahkan mengembangkan bentuk bahasa sederhana. Namun, ia juga menemukan sisi gelap dari kehidupan simpanse, seperti induk betina yang membunuh bayi simpanse lain. “Seperti manusia, simpanse juga memiliki sisi kelam,” tulisnya dalam buku Reason for Hope (2000).
Memasuki tahun 1970-an, perhatian Jane Goodall bergeser ke isu konservasi. Ia mendirikan Jane Goodall Institute (JGI) pada tahun 1977, sebuah organisasi yang kini mengelola penelitian simpanse terlama di dunia serta program edukasi lingkungan yang vital bagi generasi muda. Hingga akhir hayatnya, Goodall tetap aktif menyuarakan krisis lingkungan global, bahkan menghabiskan sekitar 300 hari per tahun berkeliling dunia, membawa pesannya ke berbagai penjuru.
Dalam banyak ceramahnya, Dr. Jane kerap membuka sesi dengan tiruan panggilan simpanse yang khas, selalu disambut tawa hangat audiens yang terinspirasi. Pesannya senantiasa jelas dan mendalam: “Bahaya terbesar bagi masa depan kita adalah rasa apatis,” tulisnya dalam esai di Time Magazine (2002). Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, menyebut Goodall sebagai sosok yang mampu mengubah cara pandang dunia terhadap kera besar. “Salam khas simpanse Dr. Jane di UNESCO tahun lalu akan terus bergema bertahun-tahun mendatang,” ucapnya, mengenang warisan tak ternilai dari sang primatolog.
Goodall meninggalkan seorang putra, Hugo Eric Louis van Lawick alias Grub, serta tiga cucu. Ia mendidik putranya dengan meneladani ikatan erat antara induk dan anak simpanse yang ia amati di Gombe, menunjukkan bagaimana penelitiannya tidak hanya memengaruhi ilmu pengetahuan, tetapi juga kehidupannya sendiri.
Sepanjang hidupnya, Jane Goodall menerima berbagai penghargaan bergengsi atas dedikasinya yang luar biasa. Deretan penghargaan tersebut meliputi Commander of the Order of the British Empire (1995), United Nations Messenger of Peace (2002), French Legion of Honour (2006), hingga Presidential Medal of Freedom dari Presiden AS Joe Biden yang akan diterimanya pada Januari 2025, sebuah testimoni abadi atas dampak global yang ia ciptakan.