Pemerintah menggembar-gemborkan proyek industrialisasi di pesisir utara Jawa sebagai mesin pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun, kenyataan pahit berkata lain: kerugian demi kerugian terus menghantui. Para ekonom bahkan memprediksi dekade mendatang akan diwarnai penurunan pendapatan masyarakat serta merosotnya produktivitas sektor perikanan dan pertanian. Sebuah ironi pembangunan tengah terjadi di depan mata.
Satu tahun menjelang evaluasi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, janji manis swasembada beras yang digaungkan saat pelantikan Oktober 2024 terancam kandas. Salah satu penyebabnya adalah alih fungsi lahan produktif yang semakin marak, diubah menjadi kawasan industri yang mengkilap.
Ambil contoh Indramayu, Jawa Barat. Wilayah Pantura ini dulunya dikenal sebagai lumbung padi yang menyumbang lebih dari separuh pasokan beras nasional. Kini, hamparan sawah hijau berganti menjadi hutan beton yang mencengangkan.
Indramayu, bersama dengan wilayah pesisir utara Jawa lainnya seperti Batang dan Kendal di Jawa Tengah, serta Gresik di Jawa Timur, menjadi pusat pengembangan industri yang menyandang label Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut tragedi kerugian multidimensi yang menimpa masyarakat pesisir di tengah hiruk pikuk pembangunan industri ini sebagai “paradoks hilirisasi”. Sebuah istilah yang menggambarkan bagaimana industrialisasi, alih-alih menyejahterakan, justru membawa petaka.
Studi Celios memprediksi dampak yang mencengangkan: dalam 10 tahun ke depan, Produk Domestik Bruto (PDB) akan merosot sebesar Rp219,39 triliun, dan pendapatan masyarakat akan terpangkas Rp218,08 triliun akibat proyek-proyek industri di Pantura. Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan pun diperkirakan merugi hingga Rp5,70 triliun dalam satu dekade mendatang.
Liputan ini adalah bagian akhir dari rangkaian investigasi mendalam yang mengungkap “ekosida” – perusakan lingkungan yang terstruktur, masif, dan sistematis – di Pantura. Sebuah laporan yang mengupas kontradiksi antara ambisi swasembada pangan pemerintah dengan kenyataan alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Sementara rakyat kecil, terus menanggung kerugian yang berlipat ganda.
Seri liputan ini merupakan kolaborasi dengan Pulitzer Center, sebuah bukti komitmen jurnalisme investigasi dalam mengungkap kebenaran.
‘Lahan pertanian berubah jadi kawasan industri’
Di tengah hamparan sawah yang menghijau di Losarang, Indramayu, Jawa Barat, sekelompok petani tampak tekun menanam padi. Sebuah pemandangan kontras tersaji di belakang mereka: ekskavator raksasa menimbun lahan sawah dengan pasir yang dibawa oleh truk-truk yang hilir mudik. Suara bising mesin berpadu dengan deru kendaraan, menghancurkan ketenangan desa.
Tak jauh dari sana, bangunan-bangunan beton telah berdiri kokoh di kompleks kawasan peruntukan industri Losarang, mencabik-cabik lanskap pedesaan. Ironisnya, merujuk peta Bhumi ATR-BPN dan RTRW Indramayu, lokasi pembangunan pabrik tersebut justru tercatat sebagai Lahan Sawah Dilindungi (LSD).
“Di situ memang lahan pertaniannya berubah jadi kawasan industri,” ujar Ruskiyah, seorang petani yang ditemui di lahan sawah garapannya pada 12 Juli lalu, dengan nada getir.
Ruskiyah, 54 tahun, adalah sekretaris Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Puntang, Kecamatan Losarang. Ia menjadi saksi langsung bagaimana lahan subur tempatnya mencari nafkah perlahan-lahan dirampas.
Kawasan industri yang sedang dibangun di atas lahan pertanian itu, menurut Ruskiyah, rencananya akan menempati lahan seluas 1.000 hektare. Lokasinya berada di sebelah utara Jalan Raya Pos yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19. Sebuah ironi sejarah, jalan yang dulu dibangun untuk kepentingan kolonial, kini menjadi saksi bisu penjajahan lahan oleh industri modern.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan produksi pertanian yang drastis.
Lahan sawah produktif seluas satu hektare, rata-rata mampu menghasilkan enam ton beras dalam sekali masa panen. Artinya, jika 1.000 hektare sawah di Losarang dikonversi menjadi kawasan industri, potensi panen beras sebanyak 6.000 ton akan lenyap begitu saja. Sebuah kerugian besar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional.
Perjalanan sekitar 30 menit ke arah pesisir utara Jawa Barat membawa kita ke area persawahan Mekarsari, Kecamatan Patrol, Indramayu.
Rodi, 65 tahun, seorang buruh tani, tampak bersantai di pematang sawah. Kemeja lengan panjang yang dikenakannya terlihat basah oleh keringat. Sambil mengusap peluh, pria yang akrab disapa Mang Rodi ini melepas topi koboi dari kepalanya, lalu mengipas-ngipaskan ke tubuh.
Mang Rodi adalah seorang buruh tani di Mekarsari. Di lahan yang ia garap, ia menanam padi dan sayur mayur, sama seperti buruh tani lainnya.
Dari tempatnya duduk, pandangannya menyapu hamparan padi yang mulai menguning keemasan. Sayur mayur yang hijau segar juga terhampar luas sejauh mata memandang. Namun, ketika pandangannya mengarah lurus ke barat, matanya tertumbuk pada sebuah cerobong asap yang menjulang tinggi. Sebuah pemandangan yang merusak keindahan alam pedesaan.
“Itu cerobong PLTU Indramayu,” kata Mang Rodi, dengan nada suara yang mengandung kekecewaan.
Cerobong asap pembangkit listrik tenaga uap yang ditunjuk Mang Rodi berada di Sumuradem, Kecamatan Sukra, Indramayu. Sebuah simbol industrialisasi yang mencemari lingkungan.
Jarak antara PLTU Indramayu 1—yang dibangun di atas lahan seluas 83 hektare pada tahun 2007 dan mulai beroperasi pada tahun 2011—dengan area pertanian di Mekarsari cukup dekat, hanya sekitar 1,5 km.
Mekarsari dikenal sebagai kawasan pertanian produktif, di mana satu hektare lahan sawah dapat menghasilkan sekitar 7-8 ton padi. Selain terkenal dengan padi yang berwarna putih bersih, Mekarsari juga dikenal sebagai produsen bawang merah berkualitas tinggi.
Namun, lambat laun, lahan pertanian di Mekarsari semakin tergerus abrasi akibat penurunan muka tanah dan kenaikan permukaan air laut di pesisir utara Indramayu. Sebuah ancaman nyata bagi keberlangsungan pertanian di wilayah ini.
Mang Rodi mengungkapkan bahwa situasi di Mekarsari semakin memburuk setelah PLTU Indramayu berdiri di dekat lahan garapannya. Tanah mulai terasa asam dan asap dari PLTU mulai mengganggu aktivitas petani.
Asap yang keluar dari cerobong PLTU, menurut Mang Rodi, seringkali membuat petani sesak nafas, sakit mata, dan bahkan “yang fisiknya tidak kuat, bisa pingsan”. Sebuah dampak kesehatan yang serius akibat polusi industri.
Namun, ironisnya, alih-alih memberikan perlindungan di kawasan pertanian yang tergerus abrasi, pemerintah—bekerja sama dengan Jepang—justru berencana membangun PLTU 2 sebagai perluasan PLTU sebelumnya, yang akan dibangun di Mekarsari. Sebuah kebijakan yang kontradiktif dan merugikan petani.
“Luasnya sekitar 266 hektare,” kata Mang Rodi menyebutkan luas lahan yang telah dibebaskan di Mekarsari. Lahan subur yang akan dikorbankan demi ambisi industrialisasi.
Perluasan PLTU tersebut, menurut Mang Rodi, akan semakin menyengsarakan buruh tani. Dampak dari PLTU 1 saja sudah merugikan, apalagi dengan adanya perluasan PLTU 2 yang akan mencaplok lahan pertanian yang lebih luas. Sebuah mimpi buruk bagi para petani Mekarsari.
Para buruh tani yang tergabung dalam Jaringan Tanpa Asap Batu Bara Indramayu (Jatayu), telah melakukan aksi protes hingga ke Jakarta. Mang Rodi, yang menjabat sebagai ketua Jatayu, dengan tegas menolak lahan pertanian dibeton menjadi kompleks pembangkit listrik. Ia berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan tanah airnya.
Alasan penolakan Jatayu adalah untuk mempertahankan lahan yang menjadi tumpuan hidup mereka, serta masyarakat Indonesia secara luas. Tanah yang akan dibeton itu, menurut Mang Rodi, adalah tanah sawah yang selama ini, bahkan sudah sejak lama, menjadi lahan pertanian produktif.
Pertanian Mekarsari memiliki kontribusi penting dalam menjadikan Indramayu sebagai lumbung pangan. Ini adalah soal ketahanan pangan. Oleh karena itu, mempertahankan lahan sawah Mekarsari menjadi sebuah keniscayaan bagi petani Jatayu.
“Pertahanan pangan ini penting. Percuma punya pertahanan senjata, kalau enggak makan,” ujar Mang Rodi dengan penuh semangat. Sebuah pernyataan yang menggambarkan betapa pentingnya sektor pertanian bagi kelangsungan hidup bangsa.
“Makanan rakyat adalah padi dan sayur mayur, bukan beton,” tegas Mang Rodi, menjelaskan alasan mengapa Jatayu menolak pembangunan PLTU 2. Sebuah penolakan yang didasari oleh kecintaan pada tanah air dan kepedulian terhadap nasib petani.
Aksi Jatayu terbilang sukses, pada tahun 2022, Jepang memutuskan untuk mundur dari kerja sama pendanaan pembangunan PLTU 2. Sebuah kemenangan kecil bagi para petani Mekarsari.
Mang Rodi dan buruh tani lainnya masih bisa menanam di lahan sawah yang sekarang dikuasai negara karena di lahan itu masih terpasang papan informasi berlogo Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang bertuliskan TANAH MILIK NEGARA. UNIT INDUK PEMBANGUNAN JAWA BAGIAN TENGAH I. Sebuah secercah harapan di tengah ketidakpastian.
Meskipun Mang Rodi dan buruh tani lainnya masih bisa bercocok tanam, ancaman terhadap ruang hidup mereka di Mekarsari belum sepenuhnya usai.
Masih ada rencana pembangunan kawasan industri yang berlokasi di Kecamatan Patrol, Sukra, dan Kandanghaur yang masuk dalam Kawasan Peruntukan Industri (KPI) Patrol. Sebuah bayang-bayang yang terus menghantui para petani.
Sebagai seorang petani, Mang Rodi akan menolak segala bentuk pembangunan yang dapat menggerus ruang hidup petani. Ia tidak akan menyerah begitu saja.
Lahan pangan harus tetap dipertahankan. Ia pun mempertanyakan arti lumbung padi bagi Indramayu, jika pemerintah justru ingin menggerus dan mengusir petani dari ruang hidupnya. Sebuah pertanyaan retoris yang menggugah nurani.
“Pembangunan pabrik menghabiskan lahan, mengapa ada kalimat pertahanan pangan, tapi lahannya dihabiskan. Apa yang akan dipertahankan, apa pangan datang dari langit? Pangan juga butuh ditanam, ditanam di atas bumi, bukan di atas batu beton,” ujar Mang Rodi dengan nada tegas. Sebuah pesan yang jelas dan lugas kepada para penguasa.
Terjadinya alih fungsi lahan di Indramayu juga terekam dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan bahwa dalam 7 tahun terakhir, dari tahun 2018 hingga 2024, terjadi penurunan luas lahan yang diikuti dengan penurunan produksi beras. Sebuah bukti nyata dari dampak negatif industrialisasi terhadap sektor pertanian.
Pada tahun 2022, produksi padi Indramayu sempat mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, dari 1.319.623,64 ton menjadi 1.482.255,86 ton. Namun, hal ini terjadi karena adanya penambahan luas lahan.
Namun, pada tahun 2023, produksi padi kembali mengalami penurunan menjadi 1.424.303,1 ton yang dipicu oleh menyempitnya luas lahan pertanian. Sebuah tren yang mengkhawatirkan bagi ketahanan pangan Indramayu.
Penurunan produksi padi juga terjadi di Kendal, Jawa Tengah. Banyak lahan pertanian yang telah berubah menjadi tambak, atau dibiarkan terbengkalai karena sering terkena banjir rob.
Tambak-tambak yang dikelola oleh salah satu petambak di Kendal, Turmudzi, dulunya juga merupakan sawah. Namun, karena selalu terkena rob dan tidak bisa ditanami lagi, lahan itu sekarang beralih fungsi menjadi tambak. Sebuah perubahan drastis akibat dampak perubahan iklim dan pembangunan yang tidak berkelanjutan.
Desa Mororejo yang berdekatan dengan KEK Kendal, juga mengalami hal yang sama. Dalam 3-4 tahun terakhir, banjir rob mulai masuk ke areal persawahan.
Padi sudah tidak bisa ditanam lagi. Banyak petani yang mengubah lahan sawahnya menjadi tambak, dan tak sedikit pula yang membiarkannya terbengkalai. Sebuah potret buram kehidupan petani di pesisir utara Jawa.
Data BPS menunjukkan bahwa produksi padi di Kabupaten Kendal dalam tujuh tahun terakhir mengalami fluktuasi.
Namun, tren yang terjadi adalah luas lahan dan produksi padi mengalami penurunan. Pada tahun 2018, luas lahan mencapai 36.851 hektare, dengan produksi padi sebanyak 199.421 ton.
Pada tahun 2024, luas lahan menyusut menjadi 29.188,5 hektare, dengan total produksi padi sebesar 175.081,41 ton. Sebuah penurunan yang signifikan dan mengancam ketahanan pangan daerah.
Sementara itu, sektor pertanian di Kabupaten Batang juga mengalami penurunan. Meskipun sempat mengalami kenaikan pada tahun 2023, produksi padi kembali terjun bebas di tahun berikutnya.
Tren yang terjadi dalam tujuh tahun terakhir adalah menyempitnya luas lahan, diikuti dengan penurunan produksi beras. Sebuah potret suram bagi sektor pertanian di Batang.
Merujuk data BPS, pada tahun 2018 lahan tanaman padi seluas 34.393 hektare, dengan total produksi beras sebanyak 165.666 ton.
Dan pada tahun 2024, luas lahan turun menjadi 25.536,62 hektare, dengan produksi padi yang juga ikut menurun, sebanyak 139.924,97 ton. Sebuah penurunan yang mengkhawatirkan dan membutuhkan perhatian serius dari pemerintah.
Adapun tren pertanian di Kabupaten Gresik, sebenarnya mengalami kenaikan dalam tujuh tahun terakhir. Namun, pada tahun 2024, produksi padi terjun bebas karena luas lahannya berkurang hingga 10.000 hektare lebih.
Data BPS menunjukkan bahwa lahan tanaman di Kabupaten Gresik pada tahun 2018 seluas 57.721,64 hektare, dengan produksi padi sebanyak 351.702,39 ton. Luas lahan terus naik hingga mencapai 66.202,61 hektare pada tahun 2023, dan mampu memproduksi padi sebanyak 417.428,58 ton.
Namun, pada tahun 2024, luas lahannya menyusut menjadi 54.057,45 hektare. Hasil produksi padinya pun ikut menurun menjadi 328.959,53 ton. Sebuah penurunan yang signifikan dan mengancam status Gresik sebagai salah satu lumbung padi di Jawa Timur.
Utopia Swasembada Pangan
Pantai Utara Jawa adalah salah satu lumbung pangan Indonesia, terutama beras, dengan kontribusi sebesar 54,22 persen terhadap produksi beras nasional. Fakta ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 yang diteken oleh Prabowo Subianto setelah menjabat sebagai presiden. Sebuah pengakuan atas pentingnya wilayah Pantura bagi ketahanan pangan nasional.
Namun, alih fungsi lahan atas nama Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Proyek Strategis Nasional (PSN), berdampak signifikan pada ketahanan pangan Indonesia. Sebuah ancaman serius bagi swasembada pangan yang dicita-citakan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin, menyoroti Perpres Nomor 87 Tahun 2021, tentang pembangunan Kawasan Rebana dan Jawa Barat bagian selatan.
Menurut Iwank, sapaan akrabnya, Perpres tersebut menjadi ancaman bagi ketahanan pangan nasional, sebab banyak lahan pertanian yang beralih fungsi karenanya. Sebuah kebijakan yang kontradiktif dengan semangat ketahanan pangan.
Perpres tersebut diperkuat dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat Nomor 14 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Pengembangan Kawasan Rebana Tahun 2020-2030 yang dikeluarkan saat Ridwan Kamil menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Sebuah langkah yang semakin memuluskan alih fungsi lahan pertanian.
Dalam konteks Segitiga Rebana, yang meliputi Indramayu, Cirebon, dan Subang, kebijakan itu secara otomatis mengancam Indramayu yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi terbesar di Jawa Barat. Sebuah pukulan telak bagi Indramayu dan ketahanan pangan Jawa Barat.
Merujuk pada Pergub Rencana Aksi tersebut, lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan Kawasan Rebana mencapai 43.912 hektare. Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan kota yang masuk dalam kawasan Rebana—Indramayu, Subang, Cirebon, Sumedang, dan Majalengka—total luasnya hanya 17.925 hektare.
Selisih sebesar 25.987 hektare ini, oleh Iwank dari Walhi Jabar, disebut sebagai *mark up*. Sebuah indikasi adanya praktik spekulasi lahan dan potensi korupsi.
“Luasan KPI (Kawasan Peruntukan Industri) Rebana tidak sesuai kebijakan RTRW Kabupaten/Kota,” kata Iwank. Sebuah pelanggaran terhadap tata ruang wilayah yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.
Merujuk pada data tersebut, lanjut Iwank, banyak lahan pertanian dan tambak di Indramayu yang akan hilang. Sebuah kerugian besar bagi sektor pertanian dan perikanan Indramayu.
“Ini tak hanya mengancam alih fungsi kawasan pertanian, tapi juga mengancam ketersediaan air,” imbuhnya. Sebuah ancaman serius bagi keberlangsungan hidup masyarakat Indramayu.
Dalam RTRW Kabupaten Indramayu 2024-2044 yang tertuang dalam Perda Nomor 9 Tahun 2024, luas kawasan peruntukan industri (KPI) hanya 14.110 hektare. Sebuah batasan yang seharusnya menjadi pedoman dalam pembangunan industri.
Namun, pemerintah Kabupaten Indramayu justru menyiapkan lahan KPI seluas 20.000 hektare. Terdapat selisih sebesar 5.890 hektare yang melebihi dari yang ditetapkan dalam RTRW. Sebuah pelanggaran terhadap tata ruang wilayah yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.
Dari lahan tersebut, 85 persen berada di kawasan pesisir. Oleh karena itu, banyak Lahan Sawah Dilindungi (LSD) yang terancam hilang karena alih fungsi lahan untuk industri. Sebuah ancaman nyata bagi keberlangsungan pertanian di Indramayu.
Bupati Indramayu, Lucky Hakim, telah dimintai tanggapan terkait persoalan lahan ini, namun hingga liputan ini diterbitkan, belum memberikan respons. Sebuah sikap yang disayangkan dan menunjukkan kurangnya transparansi pemerintah daerah dalam pengelolaan lahan.
Alih-alih memproteksi pertanian, lanjut Iwank, pemerintahan Prabowo Subianto saat ini justru meneruskan program pemerintah sebelumnya yang merusak lahan pertanian. Sebuah keberlanjutan kebijakan yang merugikan petani dan mengancam ketahanan pangan nasional.
Padahal, di sisi lain, Prabowo sendiri sedang *ngidam* terwujudnya ketahanan pangan di Indonesia. Sebuah kontradiksi yang sulit dipahami.
“Saya tidak bayangkan lumbung pangan yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat Jawa Barat dan nasional, lahan pertaniannya dialih fungsikan. Lalu program ketahanan pangan Prabowo mau dijawab di mana, daerah mana. Nah ini tidak *relate*,” Iwank merasa heran dengan kebijakan pemerintah yang jauh panggang dari api. Sebuah kritik pedas terhadap inkonsistensi kebijakan pemerintah.
Saat pidato pelantikan tahun lalu, Prabowo dengan percaya diri menyatakan bahwa di masa kepemimpinannya, Indonesia bisa mencapai swasembada pangan, dan bahkan menjadi lumbung pangan dunia. Sebuah ambisi yang mulia, namun sulit untuk diwujudkan jika lahan pertanian terus dikorbankan demi kepentingan industri.
“Kita siap menjadi lumbung pangan dunia,” kata Prabowo dalam pidato pelantikannya pada 20 Oktober 2024. Sebuah pernyataan yang disambut dengan harapan oleh masyarakat Indonesia.
Belum genap setahun, pada bulan September lalu, di depan Sidang Umum PBB, 23 September 2025, Prabowo memberanikan diri bercerita kepada dunia, bahwa Indonesia telah mengalami swasembada beras. Sebuah klaim yang patut dipertanyakan.
Ia pun yakin bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Indonesia bisa menjadi lumbung pangan dunia. Katanya, produksi beras dan cadangan gabah Indonesia, menempati posisi tertinggi dalam sejarah. Sebuah pernyataan yang perlu diverifikasi kebenarannya.
Di hadapan delegasi dari berbagai negara pula, Prabowo mengatakan bahwa Indonesia telah mengekspor beras ke negara-negara lain yang membutuhkan. Sebuah prestasi yang patut diapresiasi, jika memang benar adanya.
Namun, data BPS menunjukkan bahwa produksi beras tertinggi justru terjadi pada tahun 2018, bukan di masa kepemimpinannya. Sebuah fakta yang membantah klaim Prabowo tentang produksi beras tertinggi dalam sejarah.
Pada tahun itu, dari bulan Januari hingga Agustus, total produksi beras mencapai 45,99 juta ton. Sedangkan pada tahun 2025, pada rentang waktu yang sama, total produksi hanya 43,75 juta ton—itu pun masih menggunakan angka sementara dan potensi. Sebuah penurunan produksi yang signifikan dan mengancam swasembada beras.
Di sisi lain, Indonesia masih bergantung pada impor beras dari Vietnam, India, Thailand, Arab Saudi, dan negara-negara lain. Data BPS menunjukkan, sampai bulan Juli 2025, tercatat importasi beras sebanyak 70.543,5 ton. Sebuah ironi di tengah klaim swasembada beras.
Kendati begitu, Indonesia juga mengekspor beras ke Uni Emirat Arab pada bulan Juli 2025 silam, sebanyak 1,1 ton beras. Betapapun, jumlah impor jauh lebih banyak ketimbang ekspor. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu memenuhi kebutuhan beras dalam negeri.
Ambisi Prabowo untuk mencapai swasembada beras di Indonesia semakin terancam. Hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan sawah menjadi beton, seperti yang terjadi di Indramayu, Jawa Barat. Sebuah tantangan besar bagi pemerintah dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Padahal, wilayah Pantura ini, yang sedang mengalami penyusutan lahan, diklaimnya menyumbang lebih dari setengah persen suplai beras nasional. Sebuah ironi yang menggambarkan betapa pentingnya wilayah Pantura bagi ketahanan pangan Indonesia.
Sebelumnya, saat kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, Joko Widodo berjanji untuk mempertahankan Indramayu sebagai lumbung padi nasional. Setelah terpilih menjadi Presiden, janji tersebut dihidupkan kembali dengan kunjungannya ke Indramayu. Sebuah harapan bagi para petani Indramayu.
Pada Oktober 2023, Presiden Jokowi secara simbolis melakukan seremoni panen padi di Desa Karanglayung, Kecamatan Sukra. Lokasi ini diketahui tidak jauh dari desa tetangga, yaitu Mekarsari, tempat tinggal Mang Rodi. Sebuah simbol dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian.
Seremoni panen raya ini dilakukan setelah ia menerbitkan Perpres Nomor 87 Tahun 2021 tentang percepatan pembangunan di Kawasan Rebana yang disebut menjadi akar masalah yang menggusur dan merusak lahan-lahan pertanian di Indramayu. Sebuah kontradiksi yang membingungkan.
Sebagai seorang buruh tani, Mang Rodi memiliki tekad kuat untuk mempertahankan lahan sawah di Indramayu, tidak hanya di desanya Mekarsari, tetapi juga di seluruh wilayah. Sebuah semangat perjuangan yang patut diteladani.
Bagi Mang Rodi, perjuangan mempertahankan lahan pertanian merupakan isu mendasar yang setara dengan mempertahankan harga dirinya. Sebuah prinsip yang kuat dan menjadi landasan perjuangannya.
Ia menolak keras dan tidak rela jika sawah-sawah produktif di Indramayu digerus atau dialihfungsikan oleh kepentingan perusahaan atau pembangunan apa pun. Sebuah penolakan yang didasari oleh kecintaan pada tanah air dan kepedulian terhadap nasib petani.
“Harapan petani, kebijakan-kebijakan pemerintah supaya bisa mempertahankan pertanian. Jangan hanya mulutnya saja yang pandai bicara, tapi tujuannya tidak sesuai dengan mulut yang disampaikannya,” harap Mang Rodi. Sebuah pesan yang ditujukan kepada para penguasa agar lebih memperhatikan nasib petani.
Sementara itu, Ruskiyah mengeluhkan masalah serius terkait kelangkaan dan mahalnya pupuk. Sebuah masalah klasik yang selalu menghantui petani di Indonesia.
Selain itu, kebijakan pemerintah yang seringkali memutuskan impor beras, terutama saat musim panen raya, dinilai menekan dan merugikan petani karena menyebabkan anjloknya harga gabah. Sebuah kebijakan yang kontradiktif dan merugikan petani.
“Saat petani panen, pemerintah malah impor, dan kalau dibeli, harganya murah,” keluh Ruskiyah. Sebuah keluhan yang seringkali kita dengar dari para petani di Indonesia.
Data BPS menunjukkan bahwa total impor beras mencapai 11.700.000 ton lebih selama delapan tahun terakhir. Sebuah angka yang fantastis dan menunjukkan betapa besarnya ketergantungan Indonesia pada impor beras.
Ini adalah pukulan keras bagi petani seperti Ruskiyah dan Mang Rodi. Apalagi, impor biasa dilakukan saat masa panen tiba. Itu juga yang mendasari para petani akhirnya beralih profesi. Sebuah pilihan yang sulit, namun terkadang menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
“Kalau begitu [rugi] terus kan enggak ada hasilnya,” katanya. Sebuah ungkapan keputusasaan dari seorang petani yang merasa tidak dihargai oleh pemerintah.
Kerugian yang Berlipat
Kerugian yang diderita masyarakat pesisir berlipat ganda, tidak hanya menanggung dampak kerusakan ekologi, tetapi juga ekonomi, kesehatan, pendidikan, sosial, dan budaya. Sebuah tragedi multidimensi yang menghancurkan kehidupan masyarakat pesisir.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyebut fenomena kerugian multidimensi yang diderita masyarakat di tengah gencarnya pembangunan industri ini sebagai “paradoks hilirisasi”. Sebuah istilah yang menggambarkan betapa industrialisasi, alih-alih menyejahterakan, justru membawa petaka.
Paradoks ini merujuk pada kontradiksi di mana program ekonomi nasional yang seharusnya membawa kemajuan justru menciptakan kemunduran dan kerugian bagi masyarakat lokal. Sebuah ironi pembangunan yang menyakitkan.
Bhima mengkaji dan menghitung dampak pembangunan kawasan industri KEK dan PSN di Pantura Jawa Timur, Tengah, dan Barat. Sebuah penelitian yang mendalam dan komprehensif.
Total luas lahan yang terdampak mencapai 12.546 hektare, namun dampak kerusakan akibat hilangnya fungsi lahan per satu hektar, setiap tahunnya sebesar Rp690,98 juta. Sebuah kerugian yang sangat besar dan berkelanjutan.
Menilik laporan KEK tahun 2024, akumulasi investasi yang terkumpul sebesar Rp263,4 triliun dan menyerap tenaga kerja sebanyak 160.874 orang. Sebuah klaim yang patut dipertanyakan efektivitasnya.
Namun, studi Celios menunjukkan bahwa kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar daripada keuntungan yang didapatkan. Kehadiran KEK, khususnya di pesisir utara Pulau Jawa, justru menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp219 triliun rupiah dalam kurun waktu 10 tahun. Sebuah fakta yang mengejutkan dan membantah klaim pemerintah tentang manfaat KEK.
Artinya, sampai tahun 2035, meskipun ada keuntungan yang didapatkan, kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar. Sebuah *net loss* yang merugikan masyarakat dan negara.
“Ada keuntungan, tapi menjadi *net loss*, banyak ruginya,” kata Bhima. Sebuah pernyataan yang lugas dan menggambarkan betapa buruknya dampak KEK terhadap perekonomian daerah.
Serapan tenaga kerja yang diklaim mampu menyerap ribuan tenaga kerja, terutama masyarakat lokal, juga ditepis oleh Bhima. Menurutnya, serapan tenaga kerja tidak sebanding dari sisi makro dan mikro. Sebuah klaim yang perlu diuji kebenarannya.
Dari sisi makro, semakin masifnya pembangunan KEK, terutama di era Presiden Joko Widodo, serapan tenaga kerjanya justru semakin tidak berkualitas. Sebuah indikasi bahwa KEK tidak mampu menciptakan lapangan kerja yang layak bagi masyarakat.
Setiap Rp1 triliun dana investasi yang masuk, pada tahun 2015 mampu menyerap 2.600 orang tenaga kerja. Namun, pada semester pertama tahun 2025, serapannya hanya 1.200 orang tenaga kerja. Sebuah penurunan yang signifikan dan menunjukkan bahwa investasi yang masuk kurang berkualitas.
“Kalau semakin turun, artinya investasi yang masuk juga kurang berkualitas di KEK,” terang Bhima. Sebuah kritik terhadap kualitas investasi yang masuk ke KEK.
Jika dilihat lebih detail, masyarakat sekitar KEK yang mayoritas berprofesi sebagai nelayan dan petani, tidak memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kebutuhan kerja di industri-industri KEK. Sebuah kesenjangan yang menghambat penyerapan tenaga kerja lokal.
Akhirnya, kata Bhima, mereka sebagian besar hanya menjadi tenaga buruh kontrak lepas, atau pekerja di sub-sub kontraktor. Dan sebagian besar menggunakan sistem *outsourcing*. Sebuah praktik yang merugikan pekerja dan tidak memberikan jaminan kesejahteraan.
Atau warga yang hanya berharap dari jasa *laundry*, tempat kos-kosan, ataupun jasa lain yang pendapatannya sangat kecil. Menurut Bhima, hal ini tidak banyak membantu roda perekonomian masyarakat lokal. Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa KEK tidak memberikan dampak positif yang signifikan bagi perekonomian masyarakat sekitar.
“Jadi, sebelum dan setelah adanya KEK, tidak ada perubahan yang signifikan,” katanya. Sebuah pernyataan yang lugas dan menggambarkan betapa minimnya dampak positif KEK terhadap perekonomian masyarakat lokal.
Apa yang dikatakan oleh Bhima persis dengan apa yang terjadi di Gresik, Kendal, dan Batang. Sebuah bukti nyata dari dampak negatif KEK terhadap kehidupan masyarakat pesisir.
Di Gresik, banyak nelayan yang akhirnya tidak melaut dan memilih untuk bekerja di proyek bangunan di KEK. Di Kendal, sejumlah petambak malah berpikir untuk menjual tambaknya dan memilih untuk membuka usaha kos-kosan. Sebuah perubahan mata pencaharian yang dipicu oleh dampak negatif KEK terhadap sektor perikanan dan pertanian.
Melihat realitas yang terjadi, Bhima menganggap bahwa angka serapan tenaga kerja proyek industri KEK dan PSN hanyalah klaim yang semu. Sebuah pernyataan yang perlu diuji kebenarannya.
Pemerintah, lanjut Bhima, tidak pernah menghitung berapa banyak tenaga kerja lokal yang kehilangan pekerjaannya, beralih profesi, dan dampak-dampak negatif lainnya. Sebuah kelalaian yang disesalkan oleh Bhima.
Selain degradasi lahan dan banjir rob yang semakin tinggi frekuensinya, juga ada dampak lingkungan terkait dengan kesehatan, yakni akibat PLTU. Sebuah ancaman serius bagi kesehatan masyarakat pesisir.
Kajian Celios menemukan bahwa sumber energi di KEK sebagian besar berasal dari PLTU. Total ada lima PLTU di Jawa yang memasok energi untuk KEK. Sebuah fakta yang mengkhawatirkan, mengingat dampak negatif PLTU terhadap lingkungan dan kesehatan.
Rantai pasok energi berbahan bakar batu bara ini, berdampak pada biaya kesehatan masyarakat. Dan kerugiannya mencapai Rp438 triliun selama 10 tahun. Sebuah kerugian yang sangat besar dan harus menjadi perhatian serius pemerintah.
Bhima menganggap bahwa dalih pemerintah yang mengklaim bahwa KEK dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyejahterakan rakyat, bahkan mengandalkannya untuk menumbuhkan ekonomi hingga 8 persen, hanyalah utopis dan klaim yang semu. Sebuah pernyataan yang lugas dan mengkritik klaim pemerintah yang berlebihan.
“KEK tidak efektif menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi,” katanya. Sebuah kesimpulan yang didasarkan pada data dan fakta yang ada.
Pemerintah, menurut Bhima, telah membuat kesalahan fatal dengan mengubah fungsi lahan pertanian. Sebuah kesalahan yang akan berdampak panjang terhadap ketahanan pangan nasional.
Sektor pertanian dan perikanan—baik tangkap maupun budidaya—seharusnya dipertahankan sebagai pilar ketahanan pangan dalam pembangunan ekonomi, tetapi realitas yang terjadi justru kontradiktif. Sebuah ironi pembangunan yang menyakitkan.
Pemerintah dinilai telah menggerus kedua sektor penting tersebut, yang mengakibatkan kerugian berlipat ganda bagi masyarakat. Sebuah kebijakan yang tidak pro-rakyat dan merugikan masyarakat pesisir.
Celios menghitung bahwa kerugian dari sektor pertanian, kehutanan, dan ekonomi dari pembangunan KEK di Pantura, mencapai Rp5,70 triliun dalam kurun waktu 10 tahun. Sebuah angka yang fantastis dan menunjukkan betapa besar kerugian yang ditimbulkan oleh KEK.
“Swasembada pangan hanya semu. Lahan yang sifatnya produktif sudah diganti besi dan beton,” kata Bhima. Sebuah pernyataan yang lugas dan menggambarkan betapa jauhnya pemerintah dari cita-cita swasembada pangan.
Pakar hukum lingkungan dari Universitas Gadjah Mada (