Setahun Pemerintahan Prabowo: Sentralisasi Kekuasaan dan Bayang-Bayang Orde Baru?
Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto diwarnai dengan kebijakan-kebijakan yang terkesan sentralistik, mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) hingga pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP). Namun, lebih dari itu, dalam 12 bulan terakhir, Prabowo terlihat memperkuat kekuasaannya dengan bertumpu pada tiga pilar utama: militer, pengusaha, dan partai politik.
Militer seolah menjadi mesin penggerak di balik berbagai keputusan strategis Prabowo, terutama dalam implementasi program-program prioritas seperti MBG, lumbung pangan, hingga distribusi obat-obatan.
Di sisi lain, Prabowo juga menunjukkan kecenderungan untuk memperkuat organisasi militer. Hal ini tercermin dari pembangunan Komando Daerah Militer (Kodam) baru, penambahan ratusan batalion, serta alokasi anggaran pertahanan yang mencapai lebih dari 30% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada periode 2025-2026. Sebuah angka yang fantastis.
Kelompok pengusaha besar turut berperan dalam menopang pemerintahan Prabowo melalui berbagai proyek infrastruktur, yang sebagian di antaranya menyandang predikat Proyek Strategis Nasional (PSN). Keterlibatan mereka menjadi kunci dalam merealisasikan ambisi pembangunan yang dicanangkan.
Di parlemen, koalisi politik yang solid berhasil mengamankan regulasi-regulasi yang dibutuhkan pemerintah untuk menjalankan program-program utamanya. Revisi Undang-Undang TNI dan pembentukan Danantara adalah contoh nyata dari kekuatan koalisi ini dalam meloloskan kebijakan.
Situasi ini memunculkan perbandingan dengan era Orde Baru. Beberapa pengamat politik dan militer yang dihubungi BBC News Indonesia bahkan menyebut pemerintahan Prabowo memiliki kemiripan dengan gaya kepemimpinan Soeharto.
Lantas, bagaimana sebenarnya Prabowo membangun kekuasaannya dengan bertopang pada tiga kekuatan utama tersebut? Apakah ini sinyal kembalinya praktik-praktik yang dulu pernah dikecam?
Jutaan Tentara Menuju 2029
Sejak awal masa jabatannya, Prabowo Subianto telah mewarnai pemerintahannya dengan nuansa militer yang kental. Penunjukan sejumlah tokoh berlatar belakang militer dalam jajaran kabinet menjadi salah satu indikatornya.
Sebut saja Menteri Luar Negeri, Sugiono, yang pernah dikirim Prabowo untuk menempuh pendidikan kadet di Norwich University, Amerika Serikat, saat Prabowo masih menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Kemudian ada Sjafrie Sjamsoeddin, Menteri Pertahanan dengan rekam jejak militer yang panjang, termasuk pernah menjabat sebagai ajudan Soeharto, mantan mertua Prabowo. Setelah pensiun, Sjafrie setia mengikuti jejak Prabowo, hingga akhirnya “mendapatkan” kursi Menteri Pertahanan setelah Prabowo memenangkan Pilpres 2024.
Tak ketinggalan, Teddy Indra Wijaya, ajudan Prabowo selama menjabat Menteri Pertahanan, yang diangkat sebagai Sekretaris Kabinet. Kenaikan pangkatnya yang pesat dan statusnya sebagai tentara aktif memicu polemik di publik, meskipun TNI AD berdalih bahwa jabatan Teddy tidak setara menteri dan berada di luar struktur militer.
Terbaru, Prabowo menunjuk purnawirawan TNI, Djamari Chaniago, sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, menggantikan pensiunan Polri, Budi Gunawan.
Dominasi militer juga terlihat di lembaga negara. Sebanyak lima pejabat Badan Gizi Nasional (BGN), yang menjadi motor program andalan Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG), diisi oleh purnawirawan tentara.
Keputusan Prabowo ini menuai kritik dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), yang menilai bahwa rezim Prabowo memperkuat corak militeristik yang sering kali tidak selaras dengan nilai-nilai demokrasi.
Tidak hanya itu, militer juga dikerahkan untuk mendukung program-program pemerintah. Dalam setahun terakhir, militer aktif mengurusi MBG dengan membangun ratusan dapur. Bahkan, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menginginkan militer terlibat dalam urusan obat-obatan, mulai dari produksi hingga distribusi, dengan alasan untuk menekan harga obat yang mahal.
Kehadiran militer semakin mencolok dalam isu lingkungan. Prabowo meminta TNI, bersama elemen pemerintahan lain, untuk menjaga kebun-kebun sawit di Indonesia, yang dianggapnya sebagai “aset negara.” TNI juga dilibatkan dalam penertiban kawasan hutan melalui Satgas Penertiban Kawasan Hutan, yang terdiri dari berbagai kementerian dan lembaga.
Namun, pelibatan TNI ini menuai kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), yang menilai bahwa hal ini menunjukkan “ketidakmampuan negara melalui Kementerian Kehutanan untuk menjaga dan memulihkan hutan Indonesia.”
Pelaksanaan lumbung pangan (food estate) juga membuka peran tentara di lapangan. Meskipun proyek ini dianggap gagal di masa lalu, Prabowo tetap mempertahankannya, kali ini dengan sasaran Papua Selatan. Pembukaan lahan untuk persawahan dibarengi dengan pengiriman dan penempatan tentara, dengan membentuk sekitar 5 batalion baru.
Kehadiran tentara ini, menurut laporan organisasi HAM asal Inggris, Tapol, berisiko menebar teror di tengah masyarakat dan memicu pengambilan lahan adat tanpa persetujuan warga.
Puncak dari dinamika militer dalam pemerintahan Prabowo adalah revisi Undang-Undang TNI. Revisi ini memuat beberapa poin penting, seperti penempatan TNI di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer, koordinasi perencanaan strategis TNI di bawah Kementerian Pertahanan, peningkatan usia pensiun anggota TNI menjadi 62 tahun, dan diperbolehkannya prajurit menduduki jabatan pada pemerintahan atau lembaga negara di 15 kementerian atau lembaga.
Revisi UU TNI ini memicu reaksi keras dari publik. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai bahwa revisi ini “mengembalikan dwifungsi militer” dan berpotensi memunculkan masalah seperti eksklusi warga sipil dari jabatan sipil, menguatkan dominasi militer di ranah sipil, dan memicu terjadinya kebijakan maupun loyalitas ganda.
Meskipun ditolak masyarakat, revisi UU TNI tetap disahkan. Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, menjelaskan bahwa campur tangan militer di banyak aspek menunjukkan betapa Prabowo ingin tentara menjadi kekuatan penting selama rezimnya berkuasa.
Made mencontohkan konsolidasi kekuatan militer di era Prabowo dengan pemekaran struktur kelembagaan di tubuh TNI mantra darat. Prabowo meresmikan pembentukan enam Komando Daerah Militer (Kodam) baru sebagai bagian dari “strategi memperkuat pertahanan negara dan sistem keamanan rakyat semesta.” Selain itu, Prabowo juga berencana membentuk 100 batalion teritorial setiap tahun hingga mencapai 514 batalion pada tahun 2029.
Penambahan organisasi baru TNI ini diperkirakan akan mendorong jumlah tentara di Indonesia mencapai jutaan personel sampai akhir masa pemerintahan pertama Prabowo, 2029.
‘Jangan Sampai Hanya Dikuasai 50 Orang’
Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan sekelompok pengusaha di Istana Negara pada 6 Maret 2025 digambarkan sebagai “hangat dan produktif” oleh akun YouTube Sekretariat Kabinet. Dalam pertemuan itu, Prabowo membahas isu-isu strategis seperti pembangunan infrastruktur, swasembada pangan dan energi, pengelolaan investasi, hingga industrialisasi.
Sehari berselang, para pengusaha tersebut kembali diundang ke Istana Negara untuk berjumpa dengan pakar investasi dan manajemen aset, Ray Dalio.
Kehadiran para pengusaha ini memicu pemberitaan luas. Hubungan Prabowo dengan para pengusaha ini tidak sebatas agenda pertemuan formal. Prabowo menekankan bahwa pemerintah tidak dapat berjalan sendiri dalam mewujudkan pembangunan, begitu pula pihak swasta. Kolaborasi keduanya merupakan keniscayaan.
Prabowo mengaku bahwa para konglomerat tersebut bersedia membantu pemerintah menggencarkan pembangunan. “Mereka mengatakan, ‘Pak, apa yang bisa kami ikut?’ Silakan Anda pilih! Gimana yang Anda mau, kan? Ada yang, ‘Pak, kami akan buka rumah sakit di sini.’ ‘Pak, kami mau buka sekolah.’ Okay, good. Konsultasi sama saya, tanya sama saya,” ujar Prabowo.
Andi Syamsuddin, atau Haji Isam, ditugaskan menggarap proyek lumbung pangan berupa cetak sawah satu juta hektare di Papua Selatan. Sugianto Kusuma alias Aguan, melalui Agung Sedayu Group, berpartisipasi dalam ‘Program 3 Juta Rumah’ yang dicanangkan pemerintah bagi masyarakat. PT Adaro Indonesia, yang dipimpin Garibaldi Thohir, diminta pemerintah untuk melakukan hilirisasi batu bara menjadi metanol dan DME. Sementara Tomy Winata menyediakan kawasan Artha Industrial Hills sebagai lokasi Proyek Ekosistem Industri Baterai Listrik Terintegrasi.
Tak ketinggalan, Prabowo menunjuk pengusaha sekaligus saudaranya, Hashim Djojohadikusumo, menjadi representasi pemerintah dalam ajang konferensi iklim, COP29, di Baku, Azerbaijan, dan sebagai Ketua Satgas Perumahan.
Dosen politik dan pembangunan Universitas Airlangga, Febby Risti Widjayanto, menerangkan bahwa hubungan penguasa dan pengusaha selalu muncul di setiap masa pemerintahan. Dalam konteks era Prabowo, pengusaha diperlukan untuk merealisasikan janji populisnya.
Febby mengingatkan beberapa hal terkait relasi dengan pengusaha besar di dalam negeri. Pertama, memusatkan konsentrasi ekonomi kepada kelompok pengusaha tertentu membuka peluang terciptanya pembangunan yang tidak inklusif. Kedua, negara harus memastikan bahwa efek keterlibatan pengusaha bisa berantai sekaligus panjang, melahirkan lapangan pekerjaan berskala masif, pemerataan di berbagai daerah, hingga realisasi penetapan pajak untuk pengusaha yang nantinya dipakai program pengentasan kemiskinan atau jaring pengaman sosial.
“Jangan sampai kemudian 50 orang terkaya menguasai harta yang nilainya setara dengan 50 juta kekayaan orang biasa. Itu sangat timpang,” tegas Febby.
Berkumpul di Satu Atap Koalisi
Saat maju dalam Pilpres 2024, Prabowo membentuk Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang terdiri dari sejumlah partai politik. Setelah Prabowo menang pilpres, partai-partai politik yang sebelumnya mendukung kandidat lain, seperti PKB, PKS, serta Nasdem, merapat ke gerbong pemerintah, dan nama koalisinya direvisi menjadi Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM Plus).
Di lingkup eksekutif, Prabowo menyediakan kursi menteri atau wakil menteri kepada perwakilan partai pendukung koalisinya. Kabinet Prabowo, Indonesia Maju, total berisikan 103 pejabat.
Di parlemen, KIM Plus menguasai 470 kursi dari 580 yang tersedia, atau sekitar 80%. Sisanya, 110 kursi, dipegang PDI Perjuangan yang memilih berdiri di luar pemerintah, meskipun tidak pula menempatkan dirinya sebagai oposisi.
Prabowo menawarkan agar KIM Plus menjadi koalisi politik permanen dan membantu pemerintahannya. Beberapa petinggi partai di tubuh koalisi menyambut tawaran Prabowo.
Namun, koalisi politik semacam ini bukan tanpa konsekuensi. Beberapa regulasi yang dikritik publik tetap diloloskan di DPR.
Delapan fraksi di Komisi I DPR sepakat membawa revisi UU TNI ke tingkat II untuk pengesahan, meskipun publik mendesak pemerintah menghentikan revisi tersebut. Semua fraksi di Komisi VI DPR tidak menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan Ketiga atas UU BUMN, yang kemudian disepakati di rapat paripurna, dan dari sinilah Danantara berdiri.
Pengajar ilmu politik Universitas Islam Internasional Indonesia, Djayadi Hanan, menerangkan bahwa koalisi saat ini merupakan bentuk kontrol pemerintah untuk melancarkan kepentingan program maupun kebijakannya.
Prabowo segera ‘mengamankan’ partai-partai politik yang ada guna bergabung ke gerbongnya. Dengan partai politik sudah masuk ke genggaman, termasuk pemberian jabatan di kabinet, maka peluang pemerintah ‘dijegal’ jadi menyempit.
“Untuk pertama kalinya, hampir sama sekali tidak ada oposisi di DPR,” ungkap Djayadi. “Itu artinya suara-suara kritis yang bisa menyalurkan kritik masyarakat, kekecewaan masyarakat, itu menjadi sangat berkurang.”
‘Enggak Ada Sedikit Pun yang Berbeda dari Orde Baru’
Presiden Prabowo Subianto hendak memusatkan kekuasaan di tangannya, dengan pilar penopang berupa militer, pengusaha, serta partai politik.
Peneliti ISEAS-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, mengatakan bahwa apa yang ditempuh Prabowo sekarang mirip dengan langkah Soeharto kala membangun Orde Baru.
“Kalau menurut saya, Prabowo ini punya gaya tersendiri dalam memerintah. Jadi semua kekuatan itu dia inkorporasi—dileburkan. Sama seperti dulu Soeharto menginkorporasi semua kekuatan,” tandasnya.
Prabowo, kata Made, “sangat percaya kepada kekuatan negara.” Peran negara, dalam menjalankan semua rantai kebijakan, begitu vital. Baik militer, pengusaha, maupun partai politik tidak boleh melebihi kapasitas negara.
Siapa yang dimaksud negara? Made menjawab: Prabowo itu sendiri.
“Pokoknya terpusat, terkomando, dari negara. Enggak ada sedikit pun yang berbeda dari Orde Baru. Kalau dilihat dari strukturnya, politiknya, mirip,” jelasnya.
Pengajar di Fisipol UGM, Dewa Ayu Diah Angendari, menuturkan bahwa pengerahan elemen kekuatan negara apabila tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan yang jelas, hasilnya adalah membesarnya “ruang-ruang untuk abusing power yang sudah tersentralisasi.”
Bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu termanifestasi lewat meluasnya kehadiran militer di ranah sipil, termasuk di urusan siber. Dengan militer yang diberi porsi mengurus sipil, dia berpotensi membawa fungsi sebagai alat ‘pukul’ negara.
Kalau diterjemahkan di tataran praktis, militer bisa mengawasi gerak-gerik warga sipil dan kemudian membungkam mereka jika dianggap mengusik stabilitas negara, terang Ayu.
“Kalau dilihat dari trennya, prediksinya ke depan tentu akan semakin mengkhawatirkan. Enggak ada oversight, enggak ada kontrol, dan enggak ada transparansi. Saya cukup pesimis kalau melihat tren ini ke depannya,” ucap Ayu.
Di pemerintahan sekarang, Ayu meneruskan, “agak sulit membedakan mana yang eksekutif, yudikatif, atau legislatif.” Pasalnya, “semuanya koalisi,” sambungnya. “Jadi, demokrasi kita hari ini, sebenarnya, dipertanyakan fungsi-fungsinya,” ujar Ayu.
Di tengah distribusi kekuasaan serta kepentingan yang dijalankan rezim, tantangan terbesarnya kini ialah bagaimana memasang tembok pembatas agar masing-masing kekuatan tidak melangkahi kewenangannya, menurut dosen politik dan pembangunan Universitas Airlangga, Febby Risti Widjayanto.
Langkah awal, Febby bilang, dapat dimulai dengan memastikan terciptanya politik kelembagaan yang transparan serta akuntabel. Sejauh ini, “institusi politik tidak berjalan secara ideal,” imbuhnya. “Institusi politiknya itu tidak menjamin atau tidak menciptakan negara hukum,” tegas Febby.
Febby menyodorkan beberapa kasus, dimulai dengan fenomena rangkap jabatan tatkala menteri atau wakil menteri ikut memegang kursi komisaris di BUMN. Kemudian, Febby melanjutkan, melebarnya fungsi militer sampai konflik kepentingan di proyek-proyek besar seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) atau Danantara.
Publik, Febby mengatakan, merasa kecewa dengan satu dekade pemerintahan Joko Widodo, dan kini mereka menanti apakah Prabowo mampu melakukan yang lebih baik atau malah mengulang kesalahan serupa.
“Ketika institusi politiknya itu sudah tertata, berjalan baik, citra dan wajah Indonesia juga dapat dipercaya, katakanlah, kalau bicara soal ekonomi, sebagai tujuan investasi negara lain,” tambahnya.
- Dari naik pangkat sampai dimakamkan di taman makam pahlawan menjadi hak penerima tanda kehormatan – Mengapa sejumlah nama menuai polemik?
- Anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah tapi hampir setengahnya untuk MBG dikoreksi – ‘Guru seakan-akan dibantu’
- Potret kebijakan publik pemerintahan Prabowo-Gibran – Viral dulu, cabut kemudian
- Militer cari sosok di balik petisi tolak RUU TNI, tuduh gerakan sipil dibayar
- Di balik retorika ‘waspadai kekuatan asing’ ala Presiden Prabowo Subianto – ‘Prabowo adu domba warga dengan warga’
- Tentara jaga kejaksaan, upaya Prabowo lemahkan pengaruh Jokowi?
- Mengapa Prabowo merekrut sejumlah eks-tentara pada era tragedi 1998?
- Pemerintahan Prabowo berencana hidupkan lagi transmigrasi ke Papua – Mengapa orang asli Papua cemas?
- Revisi UU TNI: ‘Militer itu tidak pernah demokratis’ – Apa bahayanya jika TNI merambah dunia sipil?
- Sederet kontroversi menteri-menteri dan pembantu Prabowo – Mulai dari pelanggaran HAM berat, kop surat dan anggaran Rp20 T
- ‘Food estate tidak berhasil’ – 12 langkah yang harus dilakukan Prabowo agar swasembada pangan tercapai
- Warisan utang pemerintahan Jokowi untuk pemerintahan Prabowo, ekonom peringatkan ‘Kita sudah gali lubang tutup lubang’
- Sejumlah pendukung Prabowo-Gibran dapat jabatan komisaris BUMN – Praktik ‘bagi-bagi jabatan’ berlandaskan ‘politik balas budi’?
- Peneliti dan pegiat HAM pertanyakan kenaikan pangkat istimewa Prabowo Subianto – ‘Ini tidak pantas’
- Siapa Prabowo Subianto, politisi ‘darah biru’ dengan masa lalu kelam yang bakal memimpin Indonesia?
- ‘Siapa tahan jadi oposisi saat Prabowo menjadi presiden?’
- Mengapa Prabowo-Gibran ‘menang‘ di tengah banyaknya tuduhan isu antidemokrasi?
- Mengapa Prabowo Subianto populer di kalangan Gen Z?
- Koperasi Merah Putih diresmikan Prabowo – Potensi korupsi dan kebocoran anggarannya diperkirakan triliunan rupiah, bisakah dicegah?
- Siapa Sumitro Djojohadikusumo, ayah Presiden Prabowo Subianto?
- Apakah Koperasi Merah Putih yang dibutuhkan para petani? – ‘Kami trauma dengan model-model seperti ini’
- TNI AD merekrut puluhan ribu prajurit baru, apa dampaknya terhadap anggaran hingga politik?
- Bakar mobil polisi, segel pabrik, hingga sebut Sutiyoso ‘bau tanah’ – Siapa Hercules, GRIB Jaya, dan apa hubungan dengan Prabowo Subianto?
- Revisi UU TNI berpotensi mengembalikan Dwifungsi ABRI – Mengapa ada trauma militerisme era Orde Baru?