Setahun setelah menjabat, Presiden Prabowo Subianto dihadapkan pada desakan publik untuk segera melakukan serangkaian pembenahan krusial dalam pemerintahannya. Sorotan utama tertuju pada pergantian personel hingga reformasi birokrasi yang mendalam guna meningkatkan efektivitas kinerja.
Menurut Christiantoko, Executive Director lembaga riset NEXT Indonesia Center, suara masyarakat terkait personel pemerintahan yang dinilai kurang kompeten tidak dapat diabaikan oleh Presiden Prabowo. Dalam acara Katadata Policy Dialogue: Satu Tahun Prabowo-Gibran di Jakarta pada Selasa (21/10), Christiantoko menegaskan bahwa penilaian publik atas ketidakmampuan beberapa individu di posisi strategis merupakan masukan yang wajib diperhatikan.
Lebih lanjut, Christiantoko menyoroti urgensi pembenahan birokrasi dan regulasi sebagai pekerjaan rumah yang tak kalah penting bagi Presiden Prabowo. Ia menjelaskan bahwa pemerintah seringkali terjebak dalam pola menciptakan aturan baru setiap kali menghadapi masalah di lapangan, mengakibatkan tumpukan regulasi yang justru memperumit keadaan. Selain itu, pola pikir Aparatur Sipil Negara (ASN) juga masih menjadi kendala serius, di mana banyak ASN yang dinilai kurang peka terhadap realitas dan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, penyelesaian masalah birokrasi, termasuk penempatan talent yang tepat, mutlak dilakukan.
Dari perspektif lain, Arya Fernandes, Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS), menyoroti struktur pemerintahan yang dinilai terlalu ‘gemuk’. Arya menyarankan agar Presiden Prabowo mengkaji kembali apakah banyaknya personel pemerintahan saat ini memang esensial dan mampu menopang program-program strategis seperti Asta Cita, demi mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Sementara itu, Pangi Syarwi Chaniago, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, secara terpisah mendesak evaluasi serius terhadap kinerja tujuh menteri dan kepala lembaga dalam Kabinet Merah Putih. Pangi merinci beberapa kementerian dan lembaga yang menurutnya memerlukan sorotan ketat: Menteri Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Perumahan dan Permukiman, Menteri Pariwisata, Menteri Dalam Negeri, Menteri Desa & PDT, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, serta Kepala Badan Gizi Nasional. Pernyataan ini disampaikannya dalam keterangan tertulis pada Selasa (21/10).
Pangi menegaskan bahwa Presiden Prabowo harus berani menggunakan hak prerogatifnya secara tegas dan tepat untuk melakukan reshuffle kabinet, mencopot menteri yang selama satu tahun tidak mampu menunjukkan kinerja dan hasil nyata. Menurutnya, negara tidak membutuhkan pejabat yang hanya sibuk dengan pencitraan, sekadar tampil di muka publik, atau hanya memberikan janji manis tanpa diiringi kerja nyata yang terukur.
Pangi juga mengingatkan kembali janji-janji Prabowo kepada rakyat, termasuk program Makan Bergizi Gratis (MBG), koperasi Merah Putih, sekolah rakyat, layanan kesehatan gratis, subsidi upah, swasembada pangan, dan perbaikan pelayanan haji, yang menurutnya perlu dipertanggungjawabkan. Satu tahun masa jabatan dinilai sudah cukup sebagai tolok ukur untuk membedakan siapa yang benar-benar bekerja dan siapa yang tidak. Oleh karena itu, reshuffle bukan sekadar ajang balas budi politik, melainkan langkah strategis untuk menyelamatkan kinerja pemerintahan dan menjaga kepercayaan rakyat.