Masyarakat adat yang telah hidup turun-temurun di kawasan hutan kini dapat bernapas lega. Kekhawatiran akan sanksi dan denda administrasi atas pengelolaan lahan untuk kebutuhan hidup mereka, yang selama ini membayangi, akhirnya sirna berkat sebuah putusan penting Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebelumnya, keberadaan mereka terancam oleh tafsiran hukum yang mewajibkan setiap pengelola hutan, termasuk perorangan, untuk memiliki izin berusaha. Tafsiran ini seringkali menyasar masyarakat adat yang secara tradisional tinggal dan bergantung pada hutan, menjadikan mereka target Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH). Akibatnya, mereka terancam denda administratif serta penguasaan lahan oleh negara, sebuah kondisi yang memicu keresahan mendalam.
Namun, angin segar berembus pada Kamis (16/10) ketika Mahkamah Konstitusi secara resmi membatalkan klausul krusial dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi pangkal masalah tersebut. “Mereka [masyarakat adat] dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik-baik saja,” ujar Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo. Sawit Watch, bersama Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), merupakan salah satu pemohon uji materi UU Cipta Kerja terkait isu ini, yang perjuangannya kini membuahkan hasil.
Berikut lima poin utama yang perlu diketahui mengenai putusan MK bersejarah ini:
Apa isi putusan MK?
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 110B ayat (1) Undang-Undang Pencegahan dan Pengrusakan Hutan dalam Undang-Undang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, putusan ini bersifat bersyarat, memberikan pengecualian yang sangat berarti bagi masyarakat adat.
Ketua MK Suhartoyo menegaskan, “Dikecualikan untuk masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial.” Ini berarti, sanksi-sanksi yang sebelumnya diatur dalam undang-undang tersebut kini tidak lagi berlaku bagi masyarakat yang telah lama bermukim di hutan dan mengelola lahan semata-mata untuk tujuan non-komersial.
Syarat lebih lanjut yang dirinci adalah ketentuan ini berlaku bagi pengolahan lahan perorangan yang luasnya kurang dari lima hektare dan telah dikelola paling singkat lima tahun sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan. Achmad Surambo dari Sawit Watch menambahkan, “Ini kan persoalannya adalah, ada pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja itu menggunakan kata harus terdaftar dalam penataan kawasan hutan. Padahal kan tidak semua masyarakat itu paham dan mengerti apa maksud penataan kawasan hutan.” Dengan putusan ini, mereka kini terbebas dari keharusan administratif yang seringkali tidak relevan dengan kehidupan tradisional mereka.
Bagaimana reaksi masyarakat adat?
Kabar gembira ini disambut antusias oleh masyarakat adat di berbagai pelosok negeri. “Bangga, bahagia. Artinya kita terharu. Suara kita, rakyat kecil ini masih didengar di MK,” ungkap Kepala Desa Ujung Gading Julu, Parubahan Hasibuan. Pernyataan ini mencerminkan kelegaan yang dirasakan banyak pihak setelah melewati masa-masa penuh ketidakpastian.
Parubahan menyatakan bahwa warganya kini “sudah lega” dan tidak lagi khawatir akan dikenai sanksi pemerintah karena mengolah lahan di dalam hutan, yang merupakan tempat tinggal nenek moyangnya secara turun-temurun. Desa Ujung Gading Julu, yang terletak di Kabupaten Padang Lawas Utara, Sumatra Utara, memiliki populasi sekitar 1.094 keluarga dengan luas wilayah desa mencapai 36.000 hektare.
Menurut Parubahan, masyarakat Desa Ujung Gading Julu mengolah sekitar 3.000 hektare lahan. Sebagian besar lahan tersebut dimanfaatkan untuk kebun sawit sejak tiga dekade lalu secara turun-temurun, dengan klaim bahwa pengolahan lahan ini secara perorangan “paling banyak lima hektare”. Kondisi ini sebelumnya bertolak belakang dengan klaim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang menyatakan sebagian wilayah mereka sebagai bagian dari kawasan hutan negara.
“Sebelum ada putusan MK, masyarakat di sini masih was-was terkait dengan lahan yang masuk dalam kawasan [hutan], karena merasa masyarakat di sini nggak dilindungi haknya oleh undang-undang, oleh negara,” lanjut Parubahan. Bahkan, ia mengaku pernah mengajukan permohonan sertifikat lahan pada tahun 2010 ke Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun ditolak karena status lahannya sudah ditetapkan sebagai hutan.
Baca juga:
- Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’
- Kisah ‘keberhasilan’ masyarakat adat Knasaimos di Papua, apa konsekuensinya dan bisakah ditiru masyarakat adat lain?
- Masyarakat adat O’Hongana Manyawa kian terjepit tambang nikel
Mengapa putusan MK ini penting?
Putusan MK ini sangat penting karena muncul di tengah gencar-gencarnya upaya pemerintah dalam melakukan penertiban kawasan hutan. Pada Januari lalu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No.5/2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan, sebuah aturan yang memiliki cantolan pada UU Cipta Kerja dan kemudian melahirkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Satgas PKH, yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, memiliki tugas besar untuk melakukan pendataan, verifikasi, penguasaan kembali kawasan hutan bermasalah, penagihan denda administratif, dan pemulihan aset negara. Sejak dibentuk awal tahun, Satgas PKH mengeklaim telah berhasil menguasai kembali 3,4 juta hektare lahan dari apa yang mereka sebut sebagai usaha “ilegal”.
Dari jumlah tersebut, Satgas PKH “menyerahkan dan menitipkan” kebun sawit di kawasan hutan seluas 1.507.591,9 Ha kepada perusahaan plat merah, PT Agrinas Palma Nusantara (Persero), sementara sisanya masih dalam proses verifikasi. Berdasarkan Kajian Indikasi Nilai Direktorat Penilaian Direktorat Jenderal Kekayaan Negara di Kementerian Keuangan, nilai penguasaan tanah dan kebun sawit seluas 3,22 juta hektare mencapai Rp150 triliun, atau sekitar Rp46,55 juta per hektare.
Tidak hanya sektor perkebunan sawit, Satgas PKH juga melakukan penertiban di sektor pertambangan dalam kawasan hutan. Kalkulasi mereka mengidentifikasi lahan tambang seluas 5.342,58 Ha yang beroperasi tanpa Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH), tersebar di Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara.
Namun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai bahwa Satgas PKH dapat berperan seperti “pisau bermata dua” dalam penertiban kawasan hutan. Di satu sisi, penertiban dilakukan terhadap perusahaan yang membuka usaha ilegal. Namun di sisi lain, operasi penertiban ini “bisa saja menyasar kelompok tani, masyarakat adat, dan masyarakat pedesaan yang selama ini mengalami konflik akibat ‘klaim’ kawasan hutan negara.” Kekhawatiran ini beralasan, mengingat data BPS tahun 2019 menunjukkan terdapat 42.471 desa di dalam dan di sekitar klaim kawasan hutan.
‘Skala luas’
Laporan Sawit Watch pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa terdapat 1.126 komunitas masyarakat yang sedang menghadapi konflik atas aktivitas perkebunan sawit di Indonesia, melibatkan 385 perusahaan sawit. “Itu 51% adalah konflik agraria. Kalau konflik agraria, ya kalau di wilayah yang remote [terpencil], kami pasti tahu ini pasti masyarakat adat,” jelas Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo.
Pria yang akrab disapa Rambo ini berharap putusan MK terbaru dapat menjadi salah satu solusi bagi konflik agraria yang masif, di tengah gencarnya penertiban kawasan hutan terhadap penggunaan lahan ilegal oleh perusahaan. Ia menyoroti bagaimana selama ini masyarakat adat yang tinggal di hutan seringkali tidak memahami aturan teknis mengenai kawasan hutan. “Tahu-tahu ada kena pasal ini, dengan Satgas PKH dan macam-macam begitu. Itu yang akhirnya membuat mereka menjadi problem hidupnya,” katanya.
“Proses-proses ini harus dihentikan, kriminalisasi-kriminalisasi, pemanggilan, dan membuat mereka ketakutan, segala macam itu kan harus dihentikan.” Oleh karena itu, pascaputusan MK, ia mendesak pemerintah untuk segera menyesuaikan kebijakan turunan dari putusan MK ini agar sejalan dengan semangat perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat. BBC News Indonesia telah menghubungi pejabat di Kementerian Kehutanan, dan hingga Selasa malam (21/10) dijanjikan akan diberikan jawaban tertulis.
Apa yang perlu dirinci dalam putusan MK?
Meskipun putusan MK membawa angin segar, masih ada beberapa aspek yang perlu dirinci lebih lanjut agar implementasinya berjalan optimal dan adil bagi masyarakat adat. Pertama, perlu ada definisi yang lebih jelas mengenai arti kata pemanfaatan lahan hutan untuk “komersial” dan “non-komersial”. “Artinya kalau di bawah lima hektare dianggap untuk tidak komersial. Kalau di atas lima hektare dianggap komersial, itu juga menurut saya menarik untuk didiskusiin ke depan,” kata Rambo, menggarisbawahi pentingnya batasan yang terang.
Kedua, syarat lima tahun memanfaatkan lahan sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan juga memerlukan kejelasan. Rambo menekankan bahwa ketentuan ini perlu diperjelas agar tidak ada masyarakat adat yang justru terusir dari lahannya sendiri jika syarat ini tidak terpenuhi. Dialog terbuka diperlukan untuk mencapai kesepakatan yang berpihak pada keberlangsungan hidup masyarakat.
Ketiga, ada potensi risiko perusahaan tertentu memanfaatkan celah ini untuk menggunakan lahan di hutan dengan mengatasnamakan masyarakat adat. Untuk mencegah hal ini, peran penegakan hukum menjadi sangat krusial. “Follow the money [melacak aliran uang] itu menjadi penting. Dugaan duitnya mengalir ke siapa saja. Itu kan ketahuan lah,” jelas Rambo, menekankan perlunya transparansi dan pengawasan ketat untuk menjaga integritas putusan ini.
- Cara anak muda Mentawai menjaga tradisi – ‘Kami bukan orang-orang terbelakang’
- Perusahaan milik Keuskupan Maumere gusur ratusan rumah warga adat – ‘Kami tidak menyangka gereja bisa melakukan ini’
- Sorbatua Siallagan, kakek yang dituduh ‘menduduki’ hutan konsesi Toba Pulp Lestari divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar
- Kisah Suku Punan Batu, pemburu-peramu terakhir Kalimantan: ‘Sampai meneteskan darah, kami menunggu pemerintah lindungi hutan kami’
- ‘Kami diadu perusahaan’ – Penyerangan terhadap masyarakat adat penentang PSN Merauke
- Perusahaan terbatas pertama milik masyarakat adat didirikan di Papua – ‘Kami harus mandiri dengan aset dan potensi kami’