Mobil Nasional Prabowo: Belajar dari Kegagalan Timor & Esemka!

Posted on

Tepat setahun setelah kepemimpinannya, Presiden Prabowo Subianto melontarkan ambisi besar: Indonesia akan segera memiliki mobil buatan dalam negeri. Dalam sidang kabinet paripurna pada Senin (20/10) yang dihadiri jajaran Kabinet Merah Putih, Prabowo menegaskan bahwa “jip” produksi Indonesia ini akan siap dalam tiga tahun mendatang. Untuk merealisasikan visi tersebut, ia menyatakan telah mengalokasikan dana dan menyiapkan lahan khusus bagi pabrik otomotif nasional ini, seraya menambahkan bahwa “tim sedang bekerja” keras di lapangan.

Gayung bersambut, ambisi Prabowo ini segera disikapi oleh jajaran pemerintahannya. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, misalnya, mengusulkan mobil nasional sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), sebuah langkah strategis untuk mempercepat realisasinya. Dukungan juga datang dari sektor industri; Ketua Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menyambut positif rencana tersebut, sembari menantikan terbitnya regulasi dan persyaratan yang jelas sebagai fondasi program ini.

Namun, mewujudkan impian mobil buatan Indonesia bukanlah perkara mudah. Sejarah mencatat serangkaian kegagalan proyek mobil nasional di masa lalu, seperti Morina, Maleo, Timor, dan Bimantara, yang semuanya kandas akibat beragam faktor kompleks. Tiga pengamat otomotif terkemuka — Yannes Martinus Pasaribu, Ridwan Hanif, dan Bebin Djuana — mengingatkan pentingnya memenuhi sejumlah prasyarat agar Presiden Prabowo tidak mengulang jejak kelam tersebut. Menurut mereka, Indonesia dapat memetik pelajaran berharga dari keberhasilan negara-negara lain, seperti Vietnam dengan VinFast serta Korea Selatan dengan Hyundai dan KIA, dalam mengembangkan industri otomotif lokal mereka.

Visi mobil nasional ini bukan hal baru bagi Prabowo Subianto. Sejak masa kampanyenya sebagai calon presiden pada tahun 2023, ia telah mengutarakan janji untuk menghadirkan mobil dan motor produksi Indonesia jika diberi mandat. Bahkan, setelah dilantik menjadi presiden, Prabowo langsung menumpangi SUV Maung Garuda berwarna putih dengan plat ‘Indonesia 1’ menuju Istana Negara, seolah menegaskan komitmennya. Dalam Sidang Kabinet Satu Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran, ia lebih lanjut mengungkapkan bahwa Indonesia sebenarnya sudah memiliki jip buatan dalam negeri, Maung, yang diproduksi oleh Pindad dan telah digunakan oleh para pejabat serta perwira. Dengan nada bercanda namun tegas, Prabowo berseloroh, “Dan sebentar lagi, saudara-saudara semua harus pakai Maung. Saya enggak mau tahu. Mobil-mobil bagus pakai kalau libur saja. Saat saya tidak panggil kau, boleh lah kau pakai mobil lain,” menunjukkan keinginan kuatnya untuk memprioritaskan produk lokal ini.

Sejarah mobil nasional Indonesia sejatinya penuh liku dan kegagalan. Upaya pertama muncul pada dekade 1970-an melalui kebijakan larangan impor kendaraan utuh, yang kemudian melahirkan Mobil Rakyat Indonesia atau Morina. Dengan klaim kandungan lokal hingga 60%, Morina hanya bertahan lima tahun sebelum akhirnya tak lagi beredar.

Era 1990-an menyaksikan kebangkitan kembali ambisi ini dengan proyek Maleo pada tahun 1996, yang bahkan melibatkan Menteri Riset dan Teknologi kala itu, B.J. Habibie. Beliau mengawal dari desain hingga perancangan, menargetkan 80% komponen lokal. Namun, produksi massal Maleo dibatalkan, dan dananya dialihkan ke proyek lain: Timor, akronim dari Teknologi Industri Mobil Rakyat.

Proyek Timor, yang ditunjuk langsung oleh Presiden Soeharto kepada putranya, Hutomo ‘Tommy’ Mandala Putra melalui PT Timor Putra Nasional (TPN), juga digadang-gadang memiliki 60% kandungan lokal. Namun, proyek ini diwarnai dengan berbagai kemudahan seperti kucuran pinjaman jutaan dolar serta bebas bea masuk dan PPnBM untuk mengimpor unit utuh dari Korea Selatan, yang tak lain adalah Kia Sephia. Harga jualnya kala itu berkisar antara Rp30 juta hingga Rp70 juta.

Tidak hanya itu, putra Soeharto lainnya, Bambang Trihatmodjo, turut meramaikan persaingan dengan meluncurkan Bimantara Nenggala dan Bimantara Cakra, hasil kerja sama dengan Hyundai, yang sejatinya merupakan rebadged dari Hyundai Elantra dan Accent. Sayangnya, impian besar mobil nasional ini runtuh seiring dengan jatuhnya rezim Orde Baru dan krisis moneter pada tahun 1998.

Pasca-Orde Baru, pengembangan mobil nasional cenderung dilakukan secara mandiri tanpa intervensi langsung pemerintah. Namun, cerita serupa kembali terulang. Pada tahun 2012, perhatian publik sempat tersita oleh Kiat Esemka, yang kala itu digunakan sebagai mobil dinas oleh Joko Widodo saat menjabat Walikota Solo. Diklaim sebagai hasil kolaborasi siswa-siswi 33 SMK se-Indonesia dengan kandungan lokal 80%, Esemka membangkitkan harapan baru, tetapi lagi-lagi semangat itu meredup.

Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu menyoroti penyebab kegagalan proyek Timor yang utama: pelanggaran prinsip non-discrimination WTO melalui insentif eksklusif, minimnya kandungan lokal (rantai pasok 90% impor), dan peran pemerintah sebagai pemilik proyek yang menciptakan ketergantungan besar. “Yang berbeda dengan sekarang,” jelas Yannes, “rencana pemerintah kini lebih berperan sebagai fasilitator, bukan pemilik proyek dan menginisiasi konsorsium yang transparan.”

Maka, pertanyaan krusial pun muncul: Seberapa realistiskah ambisi Prabowo Subianto untuk melahirkan mobil nasional dalam kurun waktu tiga tahun? Yannes Martinus Pasaribu, pengamat otomotif dan desainer produk industri dari ITB, mengakui bahwa rencana ini memang ambisius dan berisiko tinggi. Namun, ia optimis bahwa kondisi Indonesia saat ini menawarkan peluang yang lebih besar untuk mewujudkannya.

Yannes menyoroti beberapa keunggulan krusial. Pertama, Indonesia memiliki ekosistem baterai yang bernilai US$5,9 miliar, menjadikannya modal berharga jika fokus pada pengembangan mobil listrik nasional. Kedua, kesiapan kolaborasi dengan industri global tier 4, 3, dan 2 yang semakin matang untuk membangun pabrik di Indonesia akan secara bertahap meningkatkan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Terakhir, pelibatan pengusaha domestik dan kampus teknologi ternama yang sudah mapan di bidang otomotif juga menjadi faktor pendukung. “Intinya,” simpul Yannes, “regulasi TKDN bertahap, kemitraan strategis untuk transfer teknologi inti dan keahlian, serta penguatan kesiapan rantai pasok kritis seperti baterai dan motor listrik yang sedang disiapkan, adalah kunci bagi Prabowo untuk menghindari kegagalan masa lalu.”

Di sisi lain, pengamat otomotif Bebin Djuana menekankan pentingnya konsistensi dan dukungan menyeluruh dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat hingga pengusaha. Menurutnya, industri otomotif adalah sektor padat modal yang membutuhkan komitmen jangka panjang. “Apakah cukup waktu membangun industri otomotif dalam lima tahun? Presiden ganti, kebijakan ganti. Ini akan gagal lagi. Butuh konsistensi, walaupun presiden berganti, penerus harus meneruskan impian itu,” tegas Bebin. Ia juga menyarankan pendekatan strategis dengan melibatkan pemain yang sudah ada, ketimbang memulai dari nol, misalnya dengan mempertimbangkan menjadikan model yang sudah mapan seperti Kijang sebagai mobil nasional.

Kunci keberhasilan lainnya, menurut pengamat otomotif Ridwan Hanif, adalah perlunya definisi yang jelas mengenai apa sebenarnya yang disebut mobil nasional. Ia mempertanyakan apakah ini merujuk pada mobil yang diproduksi oleh perusahaan swasta milik Indonesia, ataukah oleh entitas pemerintah. Ridwan mencontohkan, jika kriteria utama adalah diproduksi di Indonesia dengan kandungan lokal tinggi, sejatinya sudah ada produsen Jepang yang mencapai 90% komponen lokal. “Tapi kan mobil itu enggak masuk mobil nasional. Apakah karena mereknya masih merek Jepang, apakah masih merek China, makanya enggak dibilang mobil nasional? Lalu apa kategori mobil nasional?” ujarnya.

Definisi yang presisi ini, kata Ridwan, esensial karena akan berimplikasi langsung pada perumusan regulasi. Dengan regulasi yang detail dan transparan, proyek mobil nasional dapat memiliki keberlanjutan yang kuat, bahkan saat terjadi pergantian kepemimpinan. Regulasi yang jelas juga akan membuka peluang luas bagi keterlibatan sektor swasta, memungkinkan mereka untuk berperan aktif dalam menyukseskan visi ini. “Yang dilakukan pemerintah adalah menciptakan lingkungan yang membuat swasta bisa hidup, seperti di Vietnam, tanpa perlu harus membangun dari nol,” tambah Ridwan, merujuk pada peran fasilitator pemerintah.

Meskipun tantangan teknis pembuatan mobil nasional kini dianggap tidak sesulit dahulu, dengan melimpahnya akses data teknologi, tenaga kerja terampil, dan kesiapan swasta, Ridwan Hanif mengajukan pertanyaan fundamental: Akankah mobil ini laku dan diminati masyarakat? Ia menegaskan bahwa pada akhirnya, industri otomotif adalah bisnis yang harus menguntungkan, bukan sekadar proyek kebanggaan yang membebani negara.

Pasar otomotif Indonesia memang masif, namun Ridwan menggambarkan persaingannya “berdarah-darah.” Bahkan pemain lama pun kini menghadapi tekanan berat, terutama dengan serbuan mobil-mobil China yang menawarkan harga kompetitif. “Lalu di mana posisi pasar mobil nasional ini?” tanyanya retoris. Oleh karena itu, Ridwan mengusulkan agar pemerintah menciptakan regulasi yang secara aktif membuka pasar bagi mobil nasional, misalnya melalui “pengurangan atau bahkan pembebasan pajak, seperti PPN, PPnBM, dan biaya lainnya,” karena akan sulit bersaing jika perlakuannya sama di pasar “red ocean” yang sudah jenuh.

Melengkapi pandangan tersebut, Yannes Martinus Pasaribu mengidentifikasi captive market yang potensial untuk mobil nasional: sektor pemerintahan. Dengan menjadikannya kendaraan dinas bagi pemerintah pusat dan daerah, termasuk departemen, TNI, Kepolisian, serta seluruh provinsi, kabupaten, dan kota, pasar awal yang stabil ini dapat “menggenjot skala keekonomiannya” dan menjadi fondasi yang kokoh bagi pertumbuhan industri.

Untuk menghindari terulangnya kegagalan masa lalu, Indonesia wajib mencontoh strategi negara-negara yang sukses mengembangkan mobil nasional, seperti Vietnam dengan VinFast serta Korea Selatan dengan Hyundai dan KIA.

Yannes Martinus menjelaskan bahwa Korea Selatan meraih keberhasilan melalui kebijakan inklusif, investasi masif pada riset dan pengembangan (R&D) jangka panjang, serta alih teknologi yang fokus pada penguatan kapasitas ekosistem lokal. Strategi ini memungkinkan mereka untuk bersaing di pasar regional dan global setelah mencapai kematangan industri.

Sementara itu, VinFast di Vietnam menunjukkan pendekatan yang berbeda namun efektif. Dalam kurun 3-4 tahun, mereka membangun fondasi industri otomotif melalui kolaborasi strategis dengan mitra global seperti Bosch dan Siemens untuk transfer teknologi. Fokus utamanya adalah memperkuat rantai pasok lokal, membangun fasilitas produksi, dan menguji produk di pasar domestik sebelum akhirnya gencar melakukan ekspor ke pasar kendaraan listrik (EV) global, sebuah proses yang terus berlangsung hingga kini.

Ridwan Hanif menambahkan bahwa pemerintah Vietnam berperan vital dengan menciptakan regulasi dan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan VinFast. “Itu mobil nasional Vietnam punya swasta, bukan pemerintah. Tapi pemerintahnya sangat mendukung dengan kebijakan sehingga harganya bisa terjangkau, pembuatan pabriknya gampang. Benar-benar dikawal investasinya,” pungkasnya, menekankan pentingnya dukungan pemerintah tanpa harus menjadi pemilik proyek.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *