
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menguak fakta penting terkait temuan mikroplastik dalam air hujan di Jakarta. Berdasarkan penjelasan BMKG, partikel mikroplastik ini tidak selalu berasal dari wilayah ibu kota itu sendiri, melainkan dapat menempuh perjalanan jauh melalui atmosfer.
Partikel-partikel halus yang tak kasat mata ini memiliki kemampuan untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain mengikuti aliran udara, sebelum akhirnya jatuh ke permukaan bumi. Fenomena ini menjadi perhatian serius mengingat dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan.
“Kami ingin menjelaskan bagaimana mikroplastik dapat dikategorikan sebagai bagian dari aerosol dalam sistem atmosfer. Secara definisi, aerosol adalah partikel padat atau cair yang tersuspensi di udara,” ungkap Dwi Atmoko, Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, dalam sebuah media briefing di Balai Kota, Gambir, Jakarta Pusat, pada Jumat (24/10).
Dwi menambahkan bahwa sumber aerosol sangat beragam, berasal dari proses alami maupun aktivitas manusia. Sumber alami mencakup debu vulkanik, percikan ombak laut, serta hasil degradasi batuan atau bahan organik. Sementara itu, sumber buatan manusia yang memicu terbentuknya aerosol meliputi pembakaran bahan bakar fosil, asap kendaraan bermotor, pembakaran sampah secara terbuka, dan penggunaan produk bertekanan seperti parfum atau semprotan lainnya. Semua aktivitas ini melepaskan partikel-partikel mikroskopis ke atmosfer.
Karena ukurannya yang sangat kecil, partikel aerosol, termasuk mikroplastik, dengan mudah dapat berpindah mengikuti arah dan pola angin. Pergerakannya dapat terjadi secara vertikal maupun horizontal, bergantung pada kondisi atmosfer yang berlaku. Hal inilah yang memungkinkan penyebaran mikroplastik ke area yang jauh dari sumber asalnya.
Dwi menjelaskan bahwa terdapat dua mekanisme utama bagi partikel-partikel tersebut untuk kembali ke bumi, yaitu melalui deposisi kering dan deposisi basah.
“Deposisi kering (dry deposition) adalah proses di mana partikel jatuh ke permukaan bumi karena pengaruh gravitasi, terutama saat angin melemah atau udara dalam kondisi tenang. Partikel-partikel ini kemudian akan menempel pada permukaan daun, bangunan, air, atau tanah,” papar Dwi.

“Sedangkan deposisi basah (wet deposition) terjadi ketika partikel di atmosfer berfungsi sebagai inti kondensasi yang memicu pembentukan awan, lalu ikut turun ke bumi melalui air hujan. Dengan demikian, air hujan secara efektif dapat membawa partikel aerosol, termasuk mikroplastik, turun ke permukaan,” tambahnya.
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh satelit CALIPSO (Cloud-Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observation) menunjukkan bahwa aerosol berpotensi mencapai ketinggian hingga 15 kilometer di atmosfer. Namun, tidak semua partikel ini akan ikut turun bersama hujan; sebagian besar akan kembali jatuh ke bumi saat kondisi atmosfer dalam keadaan tenang.
Setelah mencapai permukaan bumi, partikel-partikel mikroplastik dapat memasuki badan air seperti sungai dan laut. Ini menjadikannya sumber baru pencemaran yang signifikan di lingkungan perairan, menimbulkan ancaman serius bagi ekosistem akuatik.
“Perlu kita pahami bahwa mikroplastik yang ditemukan di suatu daerah tidak selalu berasal dari daerah itu sendiri. Fenomena ini dikenal sebagai transportasi polutan (pollutant transport), di mana partikel-partikel polutan terbawa angin dari satu wilayah ke wilayah lain,” jelas Dwi.
“Artinya, mikroplastik yang kini terdeteksi di Jakarta bisa saja berasal dari wilayah lain, atau sebaliknya, partikel-partikel dari Jakarta justru terbawa angin menuju daerah lain,” sambungnya, menggarisbawahi kompleksitas penyebaran polutan ini.
Menurut Dwi, letak geografis Indonesia yang berada di garis ekuator menyebabkan wilayahnya menerima radiasi matahari yang sangat tinggi. Saat musim kemarau, suhu panas sering kali memicu masyarakat untuk melakukan pembakaran sampah terbuka, praktik yang berkontribusi besar pada polusi udara.
“Dari proses pembakaran itulah, asap dan partikel mikroplastik hasil pembakaran naik ke atmosfer, kemudian terbawa oleh hembusan angin ke wilayah lain,” ujarnya. Selain itu, kondisi iklim tropis dengan tingkat penguapan dan pembentukan awan yang tinggi juga mempercepat siklus deposisi partikel-partikel tersebut.
“Partikel-partikel mikroplastik kemudian terdeposit kembali ke permukaan bumi melalui hujan,” tegasnya. Dalam situasi saat ini, dengan pola angin yang bertiup dari arah timur hingga tenggara, polutan dari wilayah-wilayah tersebut dapat terbawa ke Jakarta, dan skenario sebaliknya pun dimungkinkan.
“Kesimpulannya, mikroplastik dapat dianggap sebagai bagian integral dari aerosol, yaitu partikel-partikel kecil di atmosfer yang terus bergerak, berpindah, dan pada akhirnya turun ke bumi melalui curah hujan atau deposisi kering. Proses sirkulasi inilah yang menjelaskan mengapa mikroplastik bisa ditemukan di berbagai tempat, bahkan jauh dari sumber aslinya,” tutup Dwi.
Sebelumnya, hasil penelitian dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah mengungkap bahwa air hujan di Jakarta memang mengandung partikel mikroplastik berbahaya, yang sebagian besar berasal dari aktivitas manusia di perkotaan. Temuan ini menjadi peringatan keras bahwa polusi plastik kini tidak hanya mencemari tanah dan laut, tetapi telah mencapai dan mencemari atmosfer kita.



