
Presiden Prabowo Subianto Dituding Tutupi Dugaan Korupsi Kereta Cepat Whoosh? KPK Didesak Bertindak
Presiden Prabowo Subianto menuai sorotan tajam setelah menyatakan proyek Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) “Whoosh” tidak bermasalah. Pernyataan ini memicu kecurigaan bahwa pemerintah berupaya membungkam dugaan korupsi dalam proyek yang digagas oleh pendahulunya, Joko Widodo. Mampukah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menindaklanjuti desakan publik untuk mengusut tuntas dugaan korupsi proyek ambisius senilai Rp118 triliun ini?
KPK sendiri mengklaim penyelidikan dugaan korupsi proyek Whoosh akan terus bergulir. Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa penyelidikan adalah prosedur penting untuk memastikan ada atau tidaknya unsur pidana korupsi dalam proyek tersebut.
“Penyelidikan, penyidikan, tidak ada larangan kan. Tidak ada satu larangan untuk melakukan penyelidikan. Kan alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan sehingga ada kepastian hukum,” ujar Tanak beberapa waktu lalu. KPK juga telah memanggil sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan.
Namun, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menilai aroma dugaan korupsi Whoosh sudah tercium sejak awal, terutama ketika mantan Presiden Jokowi tiba-tiba beralih menggandeng China untuk proyek ini. Padahal, tawaran dari Jepang saat itu menawarkan suku bunga yang jauh lebih menarik. Lantas, bagaimana kemampuan APBN menanggung beban utang kereta cepat ini, dan apa dampaknya bagi perekonomian nasional?
KPK Selidiki Dugaan Korupsi, Utang Whoosh Jadi Sorotan
Polemik utang Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) memasuki babak baru setelah mantan Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap dugaan tindak pidana dalam proyek Whoosh melalui kanal YouTube pribadinya. Mahfud menyoroti biaya pembangunan per kilometer kereta cepat di Indonesia yang terlampau mahal, mengindikasikan adanya potensi penggelembungan harga (mark up).
Desakan publik agar KPK mengusut tuntas dugaan mark up proyek Whoosh semakin menguat. KPK pun merespons dengan memanggil sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan. Meskipun identitas mereka dirahasiakan, juru bicara KPK, Budi Prasetyo, memastikan bahwa pihak-pihak yang dipanggil adalah mereka yang diduga mengetahui seluk-beluk proyek tersebut. Informasi yang mereka berikan diharapkan dapat membantu KPK mengungkap dugaan korupsi.
“Terkait dengan materi atau pihak-pihak yang diundang untuk dimintai keterangan, saat ini kami belum bisa menyampaikan detailnya secara lengkap seperti apa. Karena ini memang masih di tahap penyelidikan,” jelas Budi. KPK juga mengimbau semua pihak yang dipanggil untuk bersikap kooperatif dan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Di tengah proses penyelidikan yang sedang berjalan, pernyataan Presiden Prabowo Subianto justru menimbulkan tanda tanya. Ia menyatakan bahwa proyek kereta cepat yang diinisiasi Joko Widodo itu tidak bermasalah, dan pemerintah akan membayar cicilan utang sebesar Rp1,2 triliun setiap tahunnya.
“Pokoknya enggak ada masalah, karena itu kita bayar mungkin Rp1,2 triliun per tahun,” kata Prabowo. Ia menambahkan bahwa dana untuk membayar utang tersebut berasal dari hasil rampasan korupsi yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Prabowo juga meminta agar manfaat proyek Whoosh dilihat dari sisi lain, seperti pengurangan kemacetan dan polusi.
“Duitnya ada. Duit yang tadinya dikorupsi [setelah diambil negara] saya hemat. Enggak saya kasih kesempatan. Jadi, Saudara, saya minta bantu saya semua. Jangan kasih kesempatan koruptor-koruptor itu merajalela. Uang nanti banyak untuk kita, untuk rakyat semua,” tegas Prabowo.
Benarkah Prabowo Berupaya Menutupi Dugaan Korupsi Whoosh?
Pernyataan Presiden Prabowo ini memicu reaksi keras dari sejumlah pengamat ekonomi. Mereka menilai Prabowo seolah-olah berusaha menutupi atau bahkan membungkam dugaan korupsi proyek Whoosh yang menelan biaya fantastis.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, menegaskan bahwa dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung sangat jelas. Ia menyoroti keputusan mantan Presiden Joko Widodo yang lebih memilih China daripada Jepang sebagai pemenang proyek, padahal tawaran suku bunga dari China lebih mahal.
Jepang menawarkan investasi sebesar US$6,2 miliar dengan bunga 0,1% per tahun dan tenor 40 tahun. Sementara China mengajukan investasi US$5,5 miliar yang kemudian berubah menjadi US$6,071 miliar dengan bunga 2% per tahun dan tenor 40 tahun. Selain itu, terjadi pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar dengan bunga utang 3,4%.
“Yang satu [Jepang] bunganya hanya 0,1%, sedangkan yang satunya [China] bunga utangnya 2% atau 20 kali lipat lebih besar. Ini tanpa bicarakan cost overrun ya. Tanpa itu, proyek dari Jepang ini seharusnya lebih meringankan. Kenapa proyek dari China bisa dimenangkan? Ini yang seharusnya diusut,” jelas Anthony Budiawan.
Senada dengan Anthony, pengamat ekonomi politik Ichsanuddin Noorsy menyebut aroma korupsi proyek Whoosh sangat menyengat. Ia menyoroti kejanggalan pertama, yaitu pemilihan China dengan dalih tidak meminta jaminan APBN, tetapi memasang suku bunga lebih tinggi.
“Nah, kajian keuangan ini siapa yang memutuskan sehingga berani mengambil keputusan politik memilih China? Ini yang saya bilang, timnya harus dibongkar,” ucap Ichsanuddin Noorsy. Kejanggalan kedua adalah pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar US$1,2 miliar akibat perubahan konstruksi dan ketidakstabilan tanah.
“Pertanyaan besarnya seberapa jauh tim yang memutuskan memilih China, melakukan kajian secara mendalam sehingga argumentasi pembengkakan biaya itu bisa diterima?” ungkapnya. Kejanggalan ketiga adalah dugaan adanya pihak luar yang sengaja mengambil keuntungan dari perubahan keputusan pemerintah.
Ichsanuddin Noorsy menduga adanya asimetric information (ketidakseimbangan informasi) dalam proses pergeseran proyek dari Jepang ke China. Ia meminta KPK menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit dan mengungkap potensi kerugian negara.
Berapa Utang yang Harus Dibayar Indonesia?
Atas dasar berbagai kejanggalan tersebut, Ichsanuddin dan Anthony menyarankan Presiden Prabowo untuk tidak terburu-buru menyangkal dugaan korupsi Whoosh. Sikap tersebut dinilai tidak konsisten dengan janji pemberantasan korupsi dan dapat menciptakan citra negatif bagi pemerintahan Prabowo.
“Saya rasa ini akan membuat masyarakat banyak kecewa. Karena kasus hukumnya jadi tidak jelas, seolah-olah pemerintah yang sekarang mau menutup-nutupi dugaan korupsi rezim sebelumnya,” papar Anthony. “Tak hanya itu, pasti akan ada efek politiknya berupa elektabilitas. Sebab rakyat akan melihatnya.”
Anthony menjelaskan bahwa Indonesia dibebani oleh utang pokok pinjaman dan bunga utang. Pembayaran utang pokok baru akan dimulai pada tahun 2033, sementara bunga utang langsung dibayarkan setelah kereta cepat beroperasi.
Beban bunga utang yang ditanggung oleh konsorsium perusahaan Indonesia, PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), mencapai Rp1,2 triliun. Jika ditambah dengan utang pokok pinjaman, total utang yang harus dibayar mencapai Rp3,8 triliun hingga Rp5 triliun.
Mampukah APBN Membiayai Utang Whoosh?
Ekonom Anthony Budiawan berpendapat bahwa urusan utang kereta cepat seharusnya ditangani oleh Danantara selaku pengelola investasi BUMN, mengingat proyek ini menggunakan skema business to business (B2B). Namun, Danantara diduga keberatan menanggung utang tersebut karena dapat mengganggu tujuan mereka untuk mengoptimalkan investasi strategis negara.
Sementara itu, Ichsanuddin Noorsy menilai bahwa jika beban utang ditanggung oleh APBN, ruang fiskal akan semakin sempit. Tanpa beban utang Whoosh pun, utang luar negeri yang harus dibayar pemerintah pada 2025 mencapai Rp1.353 triliun, atau 37,36% dari total anggaran negara.
Anthony Budiawan menyarankan agar pemerintah menegosiasikan restrukturisasi utang dengan China untuk menurunkan suku bunga menjadi 0,1%. Dengan demikian, PT KAI hanya perlu membayar Rp75 miliar.
Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan, mengklaim bahwa Indonesia dan China telah sepakat merestrukturisasi pembiayaan proyek kereta cepat, termasuk perpanjangan waktu pembayaran utang hingga 60 tahun. Namun, CEO BPI Danantara, Rosan Roeslani, membantah klaim tersebut dan menyatakan bahwa negosiasi masih berjalan.
Rosan juga mengkritik keputusan sepihak Presiden Prabowo untuk memperpanjang rute kereta cepat hingga Banyuwangi tanpa diskusi dan kajian yang matang. “Ini menunjukkan image pemerintah yang seenaknya,” kata Anthony. “Kalau kereta cepat mau sampai Banyuwangi, harus ada evaluasi, tender lagi. Tidak harus dipegang China.”
Apa Tanggapan DPR?
Sejumlah pengamat ekonomi berpendapat bahwa penggunaan uang hasil rampasan korupsi untuk membayar cicilan utang Whoosh harus mendapat persetujuan DPR. Ketua DPR Puan Maharani menyatakan bahwa permasalahan utang Whoosh akan dibahas oleh komisi terkait di DPR dan pemerintah.
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Said Abdullah, menyatakan bahwa pihaknya tidak mempermasalahkan jika utang kereta cepat memang harus dibebankan ke APBN, asalkan ada transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek. Ia juga mendorong KPK untuk segera melakukan penyelidikan atas dugaan korupsi kereta cepat.
“KPK segera melakukan penyelidikan penyidikan. Itu akan lebih baik, tetapi juga jangan sampai menghentikan program yang dalam tanda kutip sangat baik,” imbuhnya.
* Prabowo janji akan bayar utang Whoosh Rp1,2 triliun per tahun – Apakah ini solusi terbaik selesaikan beban utang proyek ini?
* Bunga utang kereta cepat Jakarta-Bandung 3,4%, jebakan utang China?
* Pertemuan Jokowi dan Presiden China, pengamat desak Indonesia tinjau ulang utang dari China
* Apakah China memancing negara-negara lain untuk berutang?
* Harga tiket mahal di tengah wacana penonaktifan demi kereta cepat Jakarta-Bandung – Nasib kereta Argo Parahyangan dan penumpangnya
* Kecelakaan di proyek kereta cepat picu kekhawatiran warganet soal keselamatan, pemerintah diminta terbuka soal penyebabnya
* Kereta api dan jejak penjajahan Belanda di Priangan: dari tanam paksa hingga plesiran
* Pemerintah didesak audit proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sebelum gelontorkan dana APBN
* Rute kereta terindah di Sri Lanka – melintasi jembatan tua, hutan tropis, hingga kebun teh di balik sejarah kolonial Inggris



