Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini mengeluarkan putusan revolusioner yang menegaskan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang ingin menduduki jabatan sipil di luar institusi harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian. Keputusan ini secara fundamental mengubah pemahaman dan praktik penugasan personel Polri di sektor sipil yang telah berlangsung lama.
Gugatan penting ini diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang mahasiswa doktoral sekaligus advokat, bersama Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum, yang keduanya mengaku belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Mereka mempersoalkan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri). Frasa ini, menurut pemohon, telah membuka celah bagi para perwira tinggi polisi untuk menempati posisi sipil strategis tanpa harus melepaskan status keanggotaan Polri.
Praktik ini sebelumnya memungkinkan sejumlah perwira tinggi polisi menduduki jabatan sipil krusial tanpa pensiun, sebut saja Ketua KPK (Setyo Budiyanto), Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (Rudy Heriyanto Adi Nugroho), Kepala BNN (Suyudi Ario Seto), Wakil Kepala BSSN (Albertus Rachmad Wibowo), hingga Kepala BNPT (Eddy Hartono). Dengan putusan MK, era praktik tersebut kini berakhir.
MK Putus Polisi Aktif Tak Bisa Isi Jabatan Sipil
Dalam amar putusannya, MK menyatakan mengabulkan seluruh permohonan pemohon, secara spesifik mencabut frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU Polri. Putusan ini bertujuan untuk memastikan konsistensi hukum, menegaskan bahwa anggota Polri hanya dapat menempati jabatan sipil setelah secara resmi mengundurkan diri atau pensiun. Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menekankan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 sejatinya sejalan, yaitu mengharuskan pengunduran diri atau pensiun sebelum menduduki jabatan di luar kepolisian.
Frasa yang kini telah dihapus dianggap mengaburkan substansi ketentuan yang tegas dan menimbulkan ketidakpastian hukum. MK juga menegaskan bahwa penempatan anggota Polri pada jabatan sipil harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), baik untuk posisi manajerial maupun non-manajerial. Hakim Konstitusi Suhartoyo menegaskan, “Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” dan menyatakan frasa tersebut “bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”
Alasan MK Buat Putusan: Alasan Hukum Rancu
Ridwan Mansyur lebih lanjut menjelaskan bahwa frasa yang dicabut itu tidak memperjelas norma pasal 28 ayat (3) UU Polri, melainkan justru menimbulkan kerancuan dan memperluas norma yang seharusnya lugas, yakni keharusan mengundurkan diri atau pensiun. Ketidakjelasan ini, menurut MK, telah menciptakan ketidakpastian hukum bagi anggota Polri yang berkeinginan menduduki jabatan sipil. Putusan ini, dengan demikian, menjamin kepastian hukum dan meminimalkan multitafsir yang keliru.
“Dalil pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ dalam penjelasan pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah nyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin dalam pasal 28 D ayat (1) UUD NRI tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” ujar Ridwan, menggarisbawahi urgensi putusan ini.
Yusril: Putusan MK Harus Ditindaklanjuti
Menyikapi putusan ini, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyatakan bahwa keputusan MK menjadi masukan vital bagi Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian. Yusril menegaskan putusan ini berlaku serta-merta sejak dibacakan di sidang terbuka, menandakan perubahan yang segera berlaku. Pengaturan dan fase transisi bagi anggota Polri yang saat ini telah menjabat di kementerian atau lembaga akan segera menjadi fokus pembahasan. Yusril menekankan bahwa praktik lama terjadi karena aturan yang tidak tegas, dan kini putusan MK wajib ditindaklanjuti dengan penyesuaian regulasi.
“Tapi setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi, tentu harus di-follow-up (ditindaklanjuti) dengan pengubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada. Dan kemudian juga tentu ada transisi, bagaimana mereka yang sudah telanjur memegang jabatan di kementerian atau di badan lembaga, itu akan seperti apa. Nanti akan kita bahas soal itu,” kata Yusril, menguraikan langkah berikutnya.
Polri Respons Putusan MK: Hormati Keputusan
Dari pihak Polri, Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, menyatakan akan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pihaknya masih menunggu salinan resmi putusan untuk dipelajari lebih lanjut sebelum melaporkan kepada Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo, guna memastikan implementasi sesuai ketentuan hukum. Polri berkomitmen untuk menyesuaikan proses internal dan regulasi demi mengatur transisi bagi anggotanya yang kini menduduki jabatan sipil, menunjukkan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku.
“Kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua putusan yang sudah dikeluarkan. Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” jelas Sandi Nugroho, menegaskan posisi institusinya.
Respons DPR dan Istana
Reaksi serupa datang dari legislatif dan eksekutif. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan DPR akan mempelajari putusan MK secara saksama, mengingat tugas kepolisian telah diatur dalam UUD 1945. Pembahasan lebih lanjut dengan pemerintah akan dilakukan untuk mengkaji kemungkinan revisi UU Polri. Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan bahwa putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga Istana akan memastikan aturan ini dijalankan sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Keputusan ini menandai babak baru dalam tata kelola penempatan personel Polri di ranah sipil, menjamin kepastian hukum dan transparansi.



