Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad, baru saja menyelesaikan pemeriksaan maraton di Polda Metro Jaya. Ia menjalani pemeriksaan sebagai saksi terlapor terkait kasus tudingan ijazah palsu Presiden ke-7 Joko Widodo. Proses intens ini berlangsung hampir sepuluh jam, dimulai pukul 10.00 WIB dan berakhir pada pukul 20.00 WIB, pada Rabu (13/8).
Kuasa hukum Abraham Samad, Daniel Winarta, menginformasikan bahwa kliennya menghadapi sekitar 56 pertanyaan yang diajukan oleh penyidik Unit 2 Subdit Kamneg Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Durasi pemeriksaan yang panjang dan banyaknya pertanyaan yang dilontarkan menunjukkan kedalaman penyelidikan dalam kasus yang menarik perhatian publik ini.
Abraham Samad sendiri, dalam keterangannya, menyampaikan bahwa mayoritas pertanyaan penyidik diarahkan pada isi podcast miliknya. Podcast tersebut mencakup wawancara dengan sejumlah individu, termasuk Roy Suryo, Rismon Sianipar, Dr. Tifa, Kurnia Tri Royani, dan Rizal Fadila. Ia menekankan bahwa fokus utama pemeriksaan adalah eksplorasi mendalam terhadap konten yang disajikannya di platform tersebut.
Namun demikian, Abraham Samad melontarkan kritik keras terhadap jalannya pemeriksaan. Ia menilai proses tersebut tidak selaras dengan locus dan tempus delicti yang tertulis dalam surat panggilan, yang seharusnya berpusat pada tanggal 22 Januari. Menurutnya, inkonsistensi ini merupakan pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Selain tidak sesuai dengan KUHAP, dia juga melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia. Tapi walaupun demikian, kita tetap menandatangani BAP tadi yang terdiri dari 24 rangkap,” jelas Abraham Samad. Ia juga menyuarakan kekhawatiran bahwa jika kasus ini terus dipaksakan dan dikapitalisasi oleh penyidik, hal tersebut dapat diartikan sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Senada dengan Abraham Samad, Gufroni, seorang pengacara dari LBH Muhammadiyah yang turut mendampingi, mengonfirmasi bahwa banyak pertanyaan penyidik berada di luar konteks surat pemanggilan. Gufroni mencontohkan, di awal pemeriksaan, pertanyaan cenderung sangat teknis, menyoroti aspek podcast ‘Abraham Speak Up’ seperti sumber dana, pengelolaan, hingga status badan hukumnya.
Mengingat ketidaksesuaian fokus pertanyaan, Abraham Samad mengambil sikap tegas. Ia memutuskan untuk hanya menjawab pertanyaan yang secara jelas dan spesifik berkaitan dengan peristiwa pada tanggal 22 Januari 2025. Meskipun demikian, Abraham tetap menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP) yang berjumlah 24 rangkap, sebuah tindakan yang ia anggap penting di tengah potensi upaya pembungkaman ini.
Menutup pernyataannya, Abraham Samad menyampaikan kekhawatiran mendalamnya terhadap masa depan kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia. Ia berpendapat, jika kasus semacam ini dibiarkan tanpa perlawanan, hal itu dapat menciptakan iklim ketakutan yang menghalangi masyarakat untuk berani memberitakan atau “meluruskan sebuah perkara” demi kepentingan umum.