Kabupaten Aceh Tamiang menjadi salah satu wilayah yang paling menderita akibat banjir bandang dan longsor yang menerjang pada Rabu, 26 November lalu. Bencana ini telah memutus akses dan meninggalkan dampak yang menghancurkan bagi ribuan warga.
Setelah sembilan hari berlalu, bantuan tak kunjung tiba, memperburuk kondisi para korban. Air bersih, listrik, dan jaringan komunikasi terputus total, menyulitkan koordinasi dan penyampaian informasi.
Arif, seorang warga Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, menggambarkan situasi wilayahnya seperti “kota zombie” akibat kerusakan parah dan bau busuk yang menyengat. Keadaan ini mencerminkan betapa dahsyatnya dampak banjir dan longsor yang melanda Aceh Tamiang.
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, akhirnya berhasil mencapai wilayah terdampak pada Kamis (4/12) dini hari untuk menyalurkan bantuan. Ia membawa 30 ton sembako, termasuk air minum, beras, mi instan, biskuit, telur, dan obat-obatan. Bantuan ini menjadi secercah harapan bagi warga yang telah lama menunggu uluran tangan.
Pemerintah pusat berjanji mempercepat penanganan bencana di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat melalui koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Upaya ini diharapkan dapat meringankan beban para korban dan mempercepat proses pemulihan.
Detik-detik Banjir Menenggelamkan Kota
“Sejak hari Minggu di Aceh Tamiang hujan deras terus-menerus sampai hari Senin dan Selasa,” ungkap Arif, mengenang saat-saat sebelum banjir besar melanda. Intensitas hujan yang tinggi menjadi pemicu utama terjadinya banjir bandang.
“Hari Rabu, saya mengantar istri ke kantor, ternyata kantor sudah banjir selutut,” lanjutnya, menggambarkan betapa cepatnya air naik. Ketinggian air yang terus meningkat membuat warga panik dan berusaha menyelamatkan diri.
Arif, yang tinggal bersama istri dan dua anaknya di Kampung Dalam, Kecamatan Karang Baru, awalnya merasa aman karena daerahnya berada di dataran tinggi. Namun, banjir kali ini melampaui perkiraan.
Pada tanggal 25 November siang, beberapa kolega dan teman istrinya yang tinggal di pusat kota meminta izin untuk mengungsi sementara di rumahnya hingga banjir surut. Dengan senang hati, Arif membuka pintu rumahnya bagi mereka yang membutuhkan perlindungan.
Namun, pada dini hari berikutnya, tetangga tiba-tiba menggedor pintu rumah Arif. “‘Bang, bangun… air sudah sampai halaman!’ Saya kaget, tidak menyangka air sampai ke rumah kami,” kisahnya. Situasi yang mendesak memaksa mereka untuk segera bertindak.
Tanpa pikir panjang, 15 orang termasuk keluarga Arif melarikan diri ke masjid dua lantai di Kampung Dalam. Masjid menjadi tempat perlindungan sementara bagi ratusan warga yang kehilangan tempat tinggal.
Hanya dalam waktu tiga jam, banjir setinggi pinggang orang dewasa menggenangi seluruh kota. “Arusnya deras,” cetusnya, menggambarkan kekuatan air yang menghanyutkan segalanya.
Di dalam masjid, Arif memperkirakan ada sekitar 500 orang, termasuk anak-anak, orang dewasa, lansia, dan seorang wanita hamil yang akhirnya melahirkan di sana. Masjid menjadi saksi bisu perjuangan warga Aceh Tamiang dalam menghadapi bencana.
Awalnya, Arif berharap akan ada bantuan yang datang ke masjid. Namun, setelah tiga hari mengungsi, harapan itu pupus. Banjir bahkan mulai merangsek masuk ke lantai bawah masjid.
“Mungkin sekitar satu meter lagi, banjir sudah masuk ke lantai 2. Bisa dibayangkan, kalau di jalanan berarti banjir setinggi tiga meter,” ucapnya dengan nada putus asa. Kondisi ini semakin memperburuk keadaan para pengungsi. “Apalagi di kampung bawah, di pesisir, sampai enam meter,” tambahnya.
Dari balkon masjid, Arif menyaksikan dengan mata kepala sendiri banjir menenggelamkan kota. Rumah-rumah kayu dan seng hanyut terbawa arus. Pemandangan yang memilukan ini menggambarkan betapa dahsyatnya kekuatan alam.
Sementara itu, anak-anak Arif mulai merengek kelaparan. “Anak-anak saya sudah kehausan, kelaparan, karena di masjid tidak ada sumber air bersih. Jadi kami berebut air minum dan makan,” ujarnya. Keterbatasan sumber daya membuat situasi semakin sulit.
Nekat Menerobos Banjir Demi Air Minum
Pada Sabtu (29/11) pagi, Arif memberanikan diri menerobos banjir setinggi 1,5 meter. Sambil berenang, ia dan beberapa temannya kembali ke rumahnya. Tindakan nekat ini didorong oleh rasa sayang kepada keluarga dan keinginan untuk memberikan yang terbaik.
“Saya ingat di rumah ada tong [toren] air yang bisa untuk minum anak-anak,” ungkapnya. Prioritas utama Arif adalah memastikan anak-anaknya mendapatkan air bersih.
“Jadi saya isi air ke botol, saya kembali ke masjid.” Usahanya membuahkan hasil. Ia berhasil membawa air bersih untuk keluarganya dan para pengungsi lainnya.
Siangnya, banjir mulai surut hingga sepinggang orang dewasa. Arif dan teman-temannya memberanikan diri untuk pulang ke rumah. Kondisi yang mulai membaik memberikan sedikit harapan bagi mereka.
“Karena saya tahu ada stok air di rumah. Saya ajak teman-teman yang lain, 15 orang itu dari masjid untuk ke rumah saja, tidur di atas rumah.” Solidaritas dan kebersamaan menjadi kunci untuk bertahan hidup di tengah bencana.
“Dua malam kami tidur di loteng, karena mau evakuasi kemana pun, enggak bisa. Rumah sakit banjir, chaos semua,” katanya. Keterbatasan akses dan fasilitas membuat evakuasi menjadi sangat sulit.
Untuk makan, Arif mencari sisa-sisa makanan yang masih bisa diselamatkan di rumahnya. Ada beras yang terendam banjir, mereka bersihkan sebisanya. Ada mi instan, dimasak secukupnya. Kreativitas dan kemampuan beradaptasi sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup.
Untungnya, kompor di rumahnya masih berfungsi. “Itulah kita bertahan hidup pakai itu semua selama dua hari, Sabtu-Minggu,” ucapnya lemas.
Di Antara Keputusasaan
Arif bersama istri dan dua anaknya telah melewati dua babak paling sulit dalam hidup mereka. Namun, babak ketiga membawa mereka ke jurang keputusasaan.
“Anak-anak saya mulai menunjukkan fisik yang lemah, batuk, badan gatal-gatal,” ujarnya. Anak sulungnya baru berusia 6 tahun dan si bungsu 2 tahun. Kesehatan anak-anak menjadi perhatian utama Arif.
Pria paruh baya ini merasa mereka tidak akan bisa bertahan lebih lama di sana karena situasi semakin tidak menentu. Ketidakpastian dan keterbatasan sumber daya membuat mereka putus asa.
Sejak banjir melanda, tidak ada satu pun petugas pemerintah daerah yang datang untuk menyelamatkan warga. Baik polisi, petugas pemadam kebakaran, tim SAR, maupun BPBD. Ketiadaan bantuan dari pihak berwenang membuat warga merasa diabaikan.
Hingga pada Minggu (30/11), Arif menyaksikan penjarahan di sejumlah toko swalayan dan grosir oleh warga yang putus asa mencari makanan. Aksi ini mencerminkan betapa sulitnya kondisi yang mereka hadapi.
“Penjarahan di mana-mana,” ujarnya. Keputusasaan mendorong warga untuk melakukan tindakan yang sebelumnya tidak terpikirkan.
“Padahal sehari sebelumnya, kami masih berusaha membeli makanan, kami bawa duit untuk beli sembako yang dipaketkan harganya Rp80.000.” Harga yang mahal membuat sebagian warga kesulitan untuk membeli kebutuhan pokok.
“Tapi besoknya, orang sudah tidak mau beli lagi, mereka pada ngambil saja karena mungkin terlalu mahal bagi masyarakat. Beras saja yang 10 kilogram harganya Rp250.000,” kata Arif. Inflasi yang tinggi semakin memperburuk keadaan.
Kota itu nyaris seperti kota mati. Tidak ada listrik, air bersih, apalagi jaringan telekomunikasi. Mereka merasa terperangkap. Isolasi membuat warga semakin sulit untuk mendapatkan informasi dan bantuan.
Seluruh jalan rusak dan dipenuhi lumpur setebal 50 sentimeter. Infrastruktur yang hancur menghambat mobilitas dan distribusi bantuan.
Di beberapa sudut jalan, sisa-sisa banjir masih menggenang. Sejumlah kendaraan roda empat teronggok dengan kondisi terbalik atau tercebur ke parit. Pemandangan ini menjadi bukti betapa dahsyatnya banjir yang melanda Aceh Tamiang.
Rumah-rumah warga banyak yang tidak lagi utuh. Ada yang ambruk, atapnya bolong, temboknya miring, pagar rumah jebol, jendela hingga pintu copot. Kerusakan fisik yang parah menambah penderitaan warga.
Di sisi jalan, ranting-ranting pohon berserakan bersama barang-barang milik warga yang hancur diterjang banjir. Puing-puing kehancuran menjadi pemandangan sehari-hari.
Yang tak kalah mengerikan, aroma bangkai tercium di sepanjang jalan. Bau busuk ini menambah kesengsaraan warga.
Arif menyaksikan sendiri beberapa hewan ternak milik warga seperti sapi dan kambing mati dan dibiarkan terkapar. Kematian hewan ternak menjadi kerugian besar bagi warga yang bergantung pada pertanian dan peternakan.
“Bau bangkai tercium sekali, mungkin juga di balik reruntuhan ada mayat [manusia] cuma tak nampak, tapi baunya ada,” ujarnya. Trauma dan ketakutan menghantui warga.
“Orang-orang pun sudah tidak peduli lagi sama mayat, karena orang-orang pada berburu makanan dan air semua. Saya lihat wajah-wajah orang penuh lumpur, pada bingung semua kita di jalanan.” Kondisi yang ekstrem memaksa warga untuk fokus pada kelangsungan hidup.
“Seperti kota mati, kalau orang bilang kayak kota zombie,” ucapnya. Gambaran yang mengerikan ini mencerminkan betapa dahsyatnya dampak banjir dan longsor terhadap kehidupan warga Aceh Tamiang.
Jika malam tiba, kota menjadi gelap gulita. Tidak ada yang berani berkeliaran di jalan. Namun, saat matahari muncul, warga berhamburan di jalan.
“Tetapi enggak tahu mau ngapain, berharap aja ada makanan,” kata Arif. Ketidakpastian dan harapan yang tipis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka.
Ada Secercah Harapan
Entah bagaimana, suami seorang teman Arif berhasil mencapai Aceh Tamiang pada Minggu (30/11) sore dengan tujuan menjemput istrinya. Kedatangan orang ini menjadi secercah harapan bagi Arif dan warga lainnya.
“Pertanyaan saya, kok bisa bapak ini datang ke Aceh Tamiang padahal jalan terputus,” katanya dalam hati. Keberhasilan pria tersebut menembus blokade menjadi inspirasi bagi yang lain.
“Jadi bapak ini bercerita kalau dia jalan kaki dari perbatasan Aceh-Sumut selama tiga hari. Kemudian naik [perahu] ke Kuala Simpang, lalu jalan kaki ke rumah saya.” Perjuangan yang luar biasa ini menunjukkan betapa besar keinginan untuk membantu sesama.
Kisah pria tersebut memberikan harapan bagi Arif untuk keluar dari keputusasaan. Ia berniat membawa anak-anaknya ke Medan, tempat tinggal mertua istrinya, dengan cara apapun. Keinginan untuk menyelamatkan keluarga menjadi motivasi utama.
Maka, keesokan harinya, ia bersama 15 orang rekannya memutuskan mencari informasi ke pasar Kuala Simpang yang saat itu sedang kacau balau. Mereka mencari cara untuk keluar dari wilayah bencana.
Mereka berjalan kaki sejauh dua kilometer. Perjalanan yang melelahkan ini menjadi simbol perjuangan mereka untuk bertahan hidup.
Sesampainya di kota Kuala Simpang, ia mendapat informasi tentang jalur laut menggunakan kapal nelayan ke Kecamatan Pangkalan Susu, Kabupaten Langkat, Sumatra Utara. Informasi ini menjadi titik terang bagi mereka.
Mereka lantas bertanya tentang biaya dan segala macam persyaratan. Usaha mencari informasi membuahkan hasil.
“Ternyata satu orang dikenakan biaya Rp150.000, padahal kami sama sekali enggak ada uang, mau tarik [uang] di ATM, tidak bisa. Jadi kami memberanikan diri meminjam ke salah satu warga,” ceritanya. Keterbatasan finansial menjadi kendala utama.
“Kebetulan saya kenal beliau punya usaha apotek, kami pinjam duit sebesar Rp3 juta untuk kami berangkat 15 orang ke Medan.” Pertolongan dari warga lokal memberikan kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri dari bencana.
Dari kota Kuala Simpang, mereka naik truk melewati perkebunan sawit sampai ke Salahaji di Kabupaten Langkat sejauh 18 kilometer. Perjalanan yang panjang dan berat menguji ketahanan fisik dan mental mereka.
Setibanya di sana, yang sudah dekat dengan tepi laut, mereka naik kapal nelayan ke Pelabuhan Pangkalan Susu selama dua jam. Akhirnya, mereka berhasil mencapai tempat yang lebih aman.
“Dari situlah sudah ada jaringan [internet], kami mengisi baterai handphone, kami kabari keluarga,” katanya sedikit lega. Komunikasi dengan keluarga menjadi prioritas utama mereka setelah terisolasi selama berhari-hari.
“Ada satu teman kami yang kakinya tiba-tiba lumpuh sesaat, kayak syok. Jadi kami gendong, dan ternyata dilihat sama babinsa dan polisi. Kami bilang, kami korban banjir.” Kondisi fisik yang lemah dan trauma menghantui para pengungsi.
“Langsung kami disambut, diberi makan, minum, didatangkan perawat. Baru setelah itu kami diarahkan ke kantor koramil dan dijemput keluarga di sana [ke Medan],” ucapnya penuh haru. Sambutan hangat dan bantuan dari pihak berwenang memberikan rasa aman dan lega.
Melintasi Jalur Darat yang Serba Tak Pasti
Jika Arif dan teman-temannya memilih jalur laut, Dedy Tanjung berkendara dari Medan menyusuri jalan darat ke Aceh Tamiang demi menjemput keponakannya yang berusia tujuh tahun. Perbedaan pilihan mencerminkan beragamnya cara warga mencari keselamatan.
Ia bersama seorang kerabatnya mengendarai sepeda motor sejauh 129 kilometer. Perjalanan yang panjang dan berbahaya ditempuh demi menyelamatkan orang yang dicintai.
“Sebetulnya kami juga waswas, tapi kami jemput ke sana, karena kondisinya sudah porak-poranda,” kata Dedy kepada BBC News Indonesia, Kamis (4/12). Kekhawatiran tidak menghentikan niat baik mereka.
Dari ujung telepon, ia menceritakan perjalanannya yang serba tidak pasti. Ketidakpastian menjadi bagian dari perjalanan mereka.
“Saya berangkat hari Selasa jam sembilan malam,” kata Dedy. Perjalanan malam hari menambah tingkat kesulitan dan bahaya.
“Kami berdua pakai motor, boncengan sambil bawa senter, karena enggak ada penerangan,” ucapnya. Keterbatasan fasilitas dan infrastruktur memaksa mereka untuk mengandalkan diri sendiri.
Untuk sampai ke Aceh Tamiang, mereka harus melewati Binjai, Stabat, Tanjung Pura, Pangkalan Brandan, Balaban, Sungailiput, baru ke Kabupaten Aceh Tamiang. Rute yang panjang dan penuh tantangan harus mereka tempuh.
Sepanjang perjalanan, ia melihat beberapa daerah masih dikepung banjir. Pemandangan ini menjadi pengingat betapa dahsyatnya bencana yang melanda.
Jika itu terjadi, dia terpaksa turun dari motor dan mendorongnya, ketimbang memaksa menerabas. Kehati-hatian menjadi kunci keselamatan dalam perjalanan.
Untungnya, beberapa ruas jalan Medan-Aceh Tamiang yang sebelumnya tertutup material longsor sudah bisa dilintasi, meskipun hanya satu jalur. Pembukaan akses jalan memberikan harapan bagi perbaikan kondisi.
“Di Tanjung Pura banyak rumah tenggelam. Sepanjang jalan kami lihat rumah-rumah hanyut,” ujar Dedy. Pemandangan yang memilukan ini menjadi saksi bisu betapa dahsyatnya kekuatan banjir.
Mendekati Aceh Tamiang, kondisinya gelap gulita. Ia pun berkendara pelan dan berhati-hati karena jalan dipenuhi lumpur dan air sisa-sisa banjir. Kondisi jalan yang buruk meningkatkan risiko kecelakaan.
Total, mereka menghabiskan empat jam di jalan. Padahal normalnya, kata dia, paling hanya tiga jam. Perjalanan yang lebih lama dari biasanya menunjukkan betapa sulitnya akses ke Aceh Tamiang.
Tiba di sana, sudah pukul 01.00 WIB dini hari. Kelelahan fisik tidak menghalangi niat baik mereka.
“Terus ada orang yang mengejar kami, ternyata wakil bupati Aceh Tamiang. Dia heran, kok ada orang bawa senter, sementara sudah lima hari enggak ada daya listrik,” ceritanya. Kehadiran mereka menjadi perhatian karena kondisi Aceh Tamiang yang terisolasi.
“Kami ceritakan mau ke Desa Babo, di Kecamatan Bandar Pusaka. Dijawab wakil bupati, ‘Loh air [banjir] dari sanalah asalnya, bahaya kali sudah tengah malam.'” Peringatan dari wakil bupati menunjukkan betapa berbahayanya kondisi di wilayah tersebut.
“Akhirnya kami disuruh istirahat di posko polres, besok pagi baru lanjut cari keponakan tadi,” ujar Dedy. Keamanan menjadi prioritas utama dalam situasi yang tidak menentu.
Desa tempat keponakannya tinggal berada di hulu, dekat dengan sungai. Kontur wilayahnya berbukit-bukit. Kondisi geografis memperparah dampak banjir di desa tersebut.
Saat banjir menerjang desa itu, katanya, banyak rumah-rumah warga yang terbuat dari kayu terseret derasnya air. Rumah-rumah yang tidak kokoh tidak mampu menahan terjangan banjir.
“Malah ada mobil tangki sampai naik ke atas mobil tangki juga. Berarti kan [banjir] cukup besar,” ujarnya. Kekuatan banjir yang luar biasa menghanyutkan segala sesuatu yang menghalangi jalannya.
“Dan, waktu kami melintas itu memang bau… bau bangkai. Menyengat betul.” Bau busuk ini menjadi pengingat akan penderitaan dan kematian yang disebabkan oleh banjir.
“Mencekam sekali di sana, seperti dihantam tsunami. Kota dipenuhi lumpur, sampah, kayu. Masyarakat juga enggak banyak kelihatan di jalan, enggak tahu kemana mereka,” klaimnya. Gambaran yang mengerikan ini mencerminkan betapa dahsyatnya dampak banjir terhadap kehidupan warga.
Beruntungnya, keponakannya itu sudah mengungsi ke posko pengungsian. Di sanalah mereka bertemu dalam kondisi memilukan. Pertemuan kembali dengan keluarga menjadi momen yang mengharukan di tengah penderitaan.
Si bocah bercerita bagaimana dia dan penduduk desa bertahan hidup dari makan dan minum seadanya. Keterbatasan sumber daya memaksa mereka untuk bertahan hidup dengan segala cara.
“Kami bawa pulang lah, bonceng bertiga di motor.” Keinginan untuk menyelamatkan keponakan mengalahkan segala rintangan.
“Makanya begitu jumpa rasanya macam ada mukjizat dari Allah. Dia bisa selamat gitu. Karena masyarakat di kampung itu juga banyak yang hilang.” Keberhasilan menyelamatkan keponakan dianggap sebagai anugerah yang luar biasa.
Distribusi Bantuan ke Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tamiang terletak di bagian timur Provinsi Aceh dan berfungsi sebagai gerbang utama menuju provinsi tersebut dari Sumatra Utara. Lokasi strategis ini menjadi penting dalam upaya penyaluran bantuan.
Pasca-banjir, kabupaten ini terisolasi karena jembatan yang menghubungkannya dengan Provinsi Aceh putus. Kerusakan infrastruktur menjadi kendala utama dalam penyaluran bantuan.
Sehingga, satu-satunya akses transportasi menuju ke sana adalah melalui Medan, Sumatra Utara. Itupun, beberapa ruas tertimbun material longsor. Akses yang terbatas menyulitkan upaya penanggulangan bencana.
Pada Kamis (4/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa jalur darat untuk bantuan logistik ke Aceh Tamiang sudah dapat ditembus dari Langkat, Sumut. Pembukaan akses jalan memberikan harapan bagi perbaikan kondisi.
Adapun jalur darat lainnya yang mulai pulih antara lain akses dari Pidie Jaya ke Aceh Barat dan Aceh Tengah. Kemudian, akses dari Banda Aceh, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Luwes juga sudah bisa dilalui. Pemulihan akses jalan akan mempercepat proses distribusi bantuan.
Dengan terbukanya jalur darat ini, BNPB mengatakan bahwa truk-truk BBM Pertamina mulai masuk ke Aceh Tamiang. Pasokan bahan bakar yang memadai sangat penting untuk mendukung operasional berbagai fasilitas dan kegiatan.
Sementara itu, perbaikan jembatan terus dilakukan. Perbaikan infrastruktur yang rusak menjadi prioritas utama dalam upaya pemulihan.
Untuk penerangan, PLN diklaim sudah memasok genset ke Aceh Tamiang. BNPB menyebutkan bahwa listrik mulai menyala meskipun terbatas. Pasokan listrik yang terbatas memberikan sedikit harapan bagi warga.
“Genset juga akan dioptimalkan agar operasional RSUD yang hari ini sudah mulai dibersihkan bisa dapat beroperasi,” kata Abdul Muhari, Juru Bicara BNPB. Pemulihan operasional rumah sakit menjadi sangat penting untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada para korban.
Terpisah, Gubernur Aceh Muzakir Manaf tiba di Aceh Tamiang pada Kamis (4/12) dini hari. Ia datang bersama rombongan dalam kondisi gelap gulita dan listrik yang belum pulih. Kedatangan gubernur memberikan semangat dan harapan bagi warga.
Di sana, ia menyalurkan 30 ton sembako yang disumbangkan oleh warga Medan, Sumatra Utara. Paket bantuan itu berisi air minum, beras, mi instan, biskuit, telur, dan sejumlah obat-obatan. Bantuan ini sangat dibutuhkan oleh warga yang terdampak banjir.
Ia menjanjikan bahwa distribusi bantuan akan terus berdatangan pada hari-hari berikutnya. Janji ini memberikan harapan bagi warga bahwa mereka tidak akan ditinggalkan.
Muzakir Manaf menyampaikan rasa duka dan empati kepada para korban. Simpati dan dukungan dari pemerintah daerah sangat penting bagi pemulihan mental para korban.
“Kita sedih dan pilu melihat kondisi ini. Kita harap rakyat Aceh tabah menghadapi cobaan banjir dan longsor,” kata Mualem. Kata-kata penyemangat memberikan kekuatan bagi warga untuk bangkit kembali.
“Besok juga ada truk berikutnya. Kami juga buka posko di Medan untuk teman-teman yang ingin menyumbang ke Aceh.” Upaya penggalangan dan penyaluran bantuan terus dilakukan untuk membantu warga Aceh Tamiang.
Berapa Korban di Aceh Tamiang?
Data BNPB mencatat korban meninggal di Aceh Tamiang sebanyak 42 orang per Kamis (4/11). Meskipun, warga setempat meyakini angkanya lebih tinggi karena banyak yang dinyatakan hilang. Perbedaan data menunjukkan sulitnya mendapatkan informasi yang akurat di tengah bencana.
Adapun, data BPBD Aceh Tamiang menyatakan bahwa total korban bencana banjir bandang mencapai 225.847 jiwa. Bencana ini berdampak besar terhadap kehidupan ratusan ribu warga.
Dari 56.384 kepala keluarga yang mengungsi, 215.652 jiwa mengungsi. Selebihnya, bertahan di rumah masing-masing atau mengungsi ke rumah keluarga. Jumlah pengungsi yang besar menunjukkan betapa parahnya dampak banjir.
Kendati demikian, secara keseluruhan korban meninggal di Provinsi Aceh mencapai 471 jiwa, orang hilang 354, dan terluka 1.900 orang. Bencana ini telah menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka serta kehilangan harta benda.
* Setidaknya 776 orang meninggal dunia, pemerintah berkukuh tak tetapkan bencana nasional di Sumatra
* Kisah hidup dan mati dari desa di Pidie Jaya, Aceh, yang terkubur lumpur
* Warga meninggal saat rebutan beras bantuan banjir di gudang Bulog Tapanuli Tengah – ‘Pembelajaran cadangan pangan itu penting’
* Gelombang penyakit ancam anak-anak korban banjir Sumatra di tengah capaian imunisasi dasar yang sangat rendah
* Foto-foto sebelum dan sesudah banjir melanda Aceh, Sumbar, dan Sumut
* Korban banjir Sumatra krisis air bersih, apakah air hujan dan sungai bisa dikonsumsi?
* Lima pernyataan dan tindakan para pejabat yang dinilai ‘tidak empati’ kepada korban banjir Sumatra – ‘Perlu empati yang lebih baik’
* Kesaksian masyarakat di daerah terisolir di Aceh Tengah – ‘Stok sembako hanya dua sampai tiga hari lagi’
* Penampakan kayu gelondongan yang hanyut bersama banjir di Sumatra
* Pengakuan warga Kabupaten Agam, Aceh Tengah dan Tapanuli Tengah yang terisolasi – ‘Demi makan, kami harus menembus kubangan lumpur”
* Prabowo didesak tetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional – ‘Masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup’
* ‘Mama saya meninggal dalam keadaan salat’ – Akhir perjuangan anak mencari sang ibu yang hilang di tengah banjir bandang Sumbar
* Ribuan orang mengungsi akibat banjir dan longsor di Sumatra Utara, akibat perusakan hutan atau cuaca ekstrem?
* Perjuangan seorang ibu dan tiga anaknya lolos dari maut saat banjir melanda Palembayan, Sumbar



