Aceh Tengah Krisis Sembako: Warga Terisolir Terancam Kelaparan!

Posted on

Enam Hari Terisolir: Banjir Aceh Tengah Picu Penjarahan dan Krisis Pangan

Enam hari berlalu sejak banjir bandang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada 26 November 2025, namun dampaknya masih terasa pahit. Kabupaten Aceh Tengah, yang terletak di jantung provinsi Aceh, kini terisolir dari dunia luar. Akses jalan yang terputus menyebabkan stok bahan pokok kian menipis, memicu kepanikan dan bahkan tindakan kriminal.

Di tengah keterbatasan yang mendera, aksi penjarahan dilaporkan terjadi di Aceh Tengah. Keributan antar warga yang berebut beras di pasar Kota Takengon juga menjadi bukti betapa gentingnya situasi.

Iwan Bahagia, wartawan BBC News Indonesia yang berada di lokasi, melaporkan bahwa empat gelombang bantuan telah tiba melalui Bandara Rembele di Bener Meriah, kabupaten tetangga. Salah satunya adalah bantuan 13 ton beras yang disalurkan oleh Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, pada Senin (1 Desember).

Namun, Iwan, yang juga merupakan warga Aceh Tengah, mengungkapkan kekhawatiran mendalam. “Jika dalam 2-3 hari tidak ada kepastian dari pemerintah soal ketersediaan pangan, situasi akan memburuk,” ujarnya. “Stok sembako terbatas, hanya cukup untuk 2-3 hari lagi.” Berikut adalah gambaran kondisi Aceh Tengah, enam hari pasca bencana, dari mata mereka yang mengalaminya.

Terisolir: Jalan dan Internet Putus

Sejak banjir melanda pada 26 November, Aceh Tengah dan Bener Meriah bagaikan pulau yang terpencil. Iwan Bahagia melaporkan bahwa kedua kabupaten baru terhubung kembali pada Selasa (2 Desember), itupun dengan akses yang belum sepenuhnya pulih.

Satu-satunya jalur masuk saat ini adalah melalui Bandara Rembele. Data menunjukkan bahwa hingga Selasa (2 Desember), lima jalan nasional di Aceh Tengah lumpuh total akibat banjir dan longsor. Selain itu, enam ruas jalan provinsi dan 59 ruas jalan kabupaten juga mengalami kerusakan parah.

Bencana ini telah merenggut 22 nyawa, dan 23 orang lainnya masih dinyatakan hilang. Lebih dari 2.218 rumah hancur, memaksa 37.129 warga mengungsi.

Kondisi ini diperparah dengan terputusnya jaringan komunikasi. Iwan, warga Aceh Tengah, menyebutkan bahwa transportasi lumpuh total, sementara jaringan seluler dan internet tidak stabil.

Yudha Arifa, warga Banda Aceh yang memiliki keluarga di Aceh Tengah dan Bener Meriah, mengungkapkan kesulitan menghubungi mereka. Orang tua dan kedua saudaranya tinggal di kaki Gunung Burni Telong, sementara nenek dan saudara ibunya berada di dekat Danau Takengon, area yang terdampak longsor parah. Ia juga memiliki saudara di Lampahan, Bener Meriah.

Terakhir kali Yudha berkomunikasi dengan keluarganya adalah pada 30 November 2025, melalui saudaranya di Lampahan. Ia menerima kabar bahwa orang tua dan saudara-saudaranya selamat, tetapi nasib nenek dan saudara ibunya di Takengon masih belum jelas. “Belum tahu [kondisi nenek]. Gelisah juga, karena di sana rumah habis,” kata Yudha dengan suara bergetar. Ketidakpastian dan informasi simpang siur di media sosial menambah kepanikan. “Beras enggak ada, sembako [sembilan bahan pokok] kosong. Saya khawatir keluarga di sana,” ujarnya.

Berita Terkait:

Triadi Rizky Rifananda, warga Banda Aceh yang tengah bertugas di Aceh Tengah saat bencana, mengamini kesulitan akses tersebut. Ia dan rekan-rekannya sempat terjebak oleh setidaknya 20 titik longsor saat mencoba meninggalkan Aceh Tengah pasca banjir. Salah satu titik terparah berada di Buntul, di mana ia menyaksikan sendiri “desa di atas gunung turun ke bawah. Udah hilang banyak.”

Di Buntul, Triadi juga diperingatkan oleh warga untuk berhati-hati. Jika menemukan jenazah, ia diminta untuk membiarkannya. “Melakukan itu [evakuasi], nanti kami yang tanggung jawab,” ujarnya, mengulang pesan warga.

Perjalanan kembali ke Banda Aceh penuh perjuangan. Triadi dan rombongan harus berjalan kaki menembus lumpur dan banjir, serta menyewa ojek saat jalanan memungkinkan. “Harus turun ke sungai, memanjat kebun kopi, dan lumpur selutut,” kenangnya. Total, ia menghabiskan enam jam berjalan kaki, diselingi dengan ojek dan kendaraan lain.

BBM Langka, Harga Melonjak

Kondisi semakin diperburuk dengan kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di Aceh Tengah. Iwan Bahagia melaporkan antrean panjang mengular hingga berkilometer. Saka, seorang anggota polisi yang bertugas di Takengon, membenarkan hal ini. Dari tiga SPBU di Kota Takengon, hanya satu yang masih memiliki stok, itupun dengan antrean mencapai lima kilometer. “Tadi juga sempat ada yang mengamuk karena antrean,” ujarnya.

Harga BBM eceran di pinggir jalan meroket tajam. “Kedai-kedai kecil bisa Rp45.000-Rp50.000. Kalau di SPBU Pertamina harga normal,” kata Saka.

Stok Bahan Makanan Menipis

Terputusnya jalur darat dan kelangkaan BBM menghambat distribusi bahan pangan, menyebabkan stok bahan makanan semakin menipis. Iwan Bahagia melaporkan keributan di sebuah warung bahan pokok pada Selasa (2 Desember) siang, akibat perebutan beras. Akibatnya, setiap orang hanya diperbolehkan membeli dua gelas beras.

Warga Aceh Tengah bernama Iwan menambahkan bahwa stok bahan makanan memang semakin menipis. Ia hanya memiliki sisa beras lima kilogram untuk istri dan ketiga anaknya. “Sembako sudah sulit di pasaran, [mengandalkan] stok masing-masing di rumah saja,” ujarnya.

Baca juga:

Iwan mendesak pemerintah untuk segera mengatasi masalah kelangkaan ini. “Yang dikhawatirkan, jika 2-3 hari tidak ada kepastian dari pemerintah soal ketersediaan pangan, keadaan semakin parah,” tegasnya. “Warga sudah dihantui bencana kelaparan.”

Keluarganya kini mulai menghemat konsumsi, dari tiga kali sehari menjadi dua kali sehari. “Biasa [porsi] agak banyak, sekarang mulai dibatasi [porsi],” katanya, berharap stok yang ada bisa bertahan lebih lama.

Kondisi ini memicu kemarahan warga. Sekelompok warga mendatangi kantor Bupati Aceh Tengah pada Selasa (2 Desember) siang, menuntut solusi segera.

Penjarahan Minimarket

Di tengah keterbatasan ini, penjarahan minimarket terjadi. Pada 1 November 2025, sebuah minimarket di Kampung Kutenireje, Kecamatan Lut Tawar, menjadi sasaran. Upaya penjarahan juga terjadi di minimarket dekat RSUD Datu Beru, Takengon.

Menipisnya stok membuat harga bahan pangan melambung tinggi. Saka, polisi yang bertugas di Aceh Tengah, menyebut harga sekarung beras 10kg bisa mencapai Rp500.000. Meskipun tidak membenarkan penjarahan, Saka memahami keresahan masyarakat. “BBM, beras, mi instan, dan bahan pokok sudah semakin sulit,” katanya.

Ia sendiri mengaku dilema. Rumahnya terendam banjir, jaringan komunikasi putus, namun ia tetap harus bertugas. “Posisi dipaksa dinas, [tapi] keluarga di rumah tak ter-backup,” ujarnya. Perbincangan dengan BBC News Indonesia terpaksa terhenti karena ia harus mengamankan kantor bupati yang didemo warga. “Sudah dulu, ada peristiwa,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *