Bank Indonesia (BI) secara tegas menyatakan bahwa implementasi teknologi kecerdasan buatan (AI) memegang peranan krusial dalam memperkukuh sistem deteksi kecurangan (fraud detection system) di ranah keuangan digital. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap dinamika kejahatan siber yang kian kompleks dan masif.
Deputi Gubernur BI, Juda Agung, menyoroti peningkatan pesat kejahatan digital, termasuk merebaknya praktik judi online (judol), yang menuntut adanya mekanisme deteksi dini yang canggih. Menurutnya, urgensi peran AI dalam mendeteksi berbagai bentuk fraud di dunia digital, termasuk judol, kini menjadi sangat vital. Hal ini disampaikannya dalam forum FEKDI & IFSE 2025 di Jakarta, pada Sabtu (1/11/2025).
Kemampuan AI dalam mengidentifikasi pola transaksi mencurigakan dan menganalisis perilaku pengguna secara real time menawarkan keunggulan signifikan. Teknologi ini memungkinkan deteksi indikasi penipuan digital yang jauh lebih cepat dan akurat, melampaui efektivitas sistem konvensional yang ada sebelumnya.
Untuk mengatasi tantangan ini, Juda Agung juga menggarisbawahi kolaborasi kuat antara BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam menanggulangi kasus fraud di sektor keuangan digital. Kewaspadaan juga ditingkatkan terhadap dinamika regional; pelarangan judi online oleh pemerintah Filipina berpotensi memicu pergeseran aktivitas ilegal tersebut ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia, sehingga menuntut kehati-hatian ekstra.
Senada dengan pandangan tersebut, Kepala Departemen Pengembangan dan Inovasi Digital BI, Endang Trianti, menjelaskan bahwa modus penipuan kerap beroperasi melalui jaringan. Para penipu (fraudster) memanfaatkan kecepatan jaringan secara optimal. Oleh karena itu, strategi penanggulangannya juga harus berlandaskan pada penguatan dan pemanfaatan jaringan sistem keuangan digital itu sendiri, demi menangkis serangan secara efektif.
Inklusi Keuangan
Di luar peranannya dalam mitigasi fraud, Juda Agung juga memandang AI memiliki potensi luar biasa dalam memperluas akses keuangan bagi masyarakat. Ia menekankan bahwa AI sebaiknya dipahami bukan sebagai pengganti peran manusia, melainkan sebagai asisten cerdas yang sangat responsif dan memahami kebutuhan penggunanya secara mendalam.
Juda merinci lebih lanjut, bahwa teknologi AI mampu mengolah jejak digital transaksi keuangan yang dihasilkan dari pemanfaatan sistem pembayaran digital seperti QRIS. Data yang diolah oleh AI ini kemudian menjadi fondasi bagi alternative credit scoring atau penilaian kredit alternatif. Sebagai contoh, para pelaku UMKM yang aktif menggunakan QRIS secara otomatis menciptakan rekam jejak digital mengenai pemasukan, pengeluaran, tabungan, hingga jumlah pelanggan mereka. Jejak digital inilah yang, dengan bantuan AI, dapat ditransformasi menjadi gerbang akses keuangan, membuka peluang bagi mereka untuk memperoleh pinjaman dari bank atau fintech lending.
Pendekatan inovatif ini, menurut Juda, selaras dengan visi BI dalam mendorong transformasi digital sistem pembayaran dan memperluas inklusi keuangan secara lebih merata. Ia menegaskan, digitalisasi yang inklusif bukan hanya perihal kecanggihan teknologi atau algoritma paling mutakhir. Yang lebih esensial adalah memastikan bahwa teknologi digitalisasi keuangan benar-benar dapat menyentuh dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang paling membutuhkan. “Kita memerlukan pergeseran paradigma; bukan hanya high-tech, tetapi juga right-tech, atau teknologi tepat guna yang relevan dan memberikan dampak nyata,” pungkasnya, mengakhiri pemaparannya.



