Alaska Dibeli Murah: Kesepakatan Abad Ini Atau Blunder Rusia?

Posted on

Amerika Serikat dan Rusia dijadwalkan mengadakan pertemuan puncak di Alaska pada Jumat (15/08) untuk membahas penghentian perang di Ukraina. Peristiwa diplomatik krusial ini menandai salah satu perkembangan paling signifikan dalam beberapa tahun terakhir, namun lokasi yang dipilih, Anchorage, kota terbesar di Alaska, juga menyimpan makna historis yang mendalam.

Andai saja pertemuan penting antara Presiden Donald Trump dan Vladimir Putin ini terjadi sekitar 150 tahun yang lalu di tempat yang sama, mereka akan berada di wilayah kedaulatan Rusia. Faktanya, Alaska—yang kini menjadi negara bagian terbesar di AS dan mencakup seperlima dari total luas daratan negara tersebut—dulunya memang merupakan milik Kekaisaran Rusia.

Terletak di ujung barat laut Amerika Utara, Alaska hanya dipisahkan dari Rusia oleh Selat Bering yang pada titik tersempitnya hanya selebar 80 kilometer. Ketika Presiden Trump mengumumkan bahwa Alaska akan menjadi tuan rumah pertemuan puncak ini, asisten presiden Rusia, Yuri Ushakov, menyatakan bahwa pilihan tersebut “cukup logis”. Ia bahkan menyebut bahwa delegasi Rusia “cukup terbang melintasi Selat Bering agar pertemuan puncak para pemimpin kedua negara yang begitu penting dan dinantikan ini dapat diadakan di Alaska.”

Keterikatan historis antara Rusia dan Alaska telah terjalin sejak awal tahun 1700-an, saat penduduk asli Siberia pertama kali melaporkan keberadaan daratan luas di sebelah timur. Sebuah ekspedisi awal yang dipimpin oleh navigator Denmark, Vitus Bering, berhasil menemukan bahwa daratan baru itu tidak terhubung dengan daratan utama Rusia, meskipun ekspedisi tersebut harus terhenti karena kabut tebal.

Pada tahun 1741, Bering kembali memimpin ekspedisi kedua yang sukses mengirim beberapa orang ke daratan Alaska. Ini membuka jalan bagi serangkaian ekspedisi komersial berikutnya. Penemuan bulu berang-berang laut yang berharga di Alaska kemudian memicu perdagangan bulu yang sangat menguntungkan antara Eropa, Asia, dan pesisir Pasifik Amerika Utara.

Namun, dominasi Rusia dalam perdagangan bulu mulai terancam pada abad ke-19 oleh persaingan sengit dari pedagang Inggris dan Amerika. Konflik kepentingan ini akhirnya terselesaikan pada tahun 1824, ketika Rusia menandatangani perjanjian terpisah dengan Amerika Serikat dan Inggris. Beberapa dekade kemudian, dengan menipisnya populasi berang-berang laut dan konsekuensi politik dari Perang Krimea (1853–56) yang merugikan, Rusia akhirnya bersedia menjual Alaska kepada Amerika Serikat.

Pembelian yang Sempat Dianggap ‘Bodoh’

William Seward, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri AS, memimpin negosiasi dan berhasil mengamankan perjanjian akuisisi dari pihak Rusia. Meskipun menghadapi banyak pertentangan, Kongres AS akhirnya menyetujui tawaran resmi Seward sebesar US$7,2 juta. Angka ini, jika disesuaikan dengan inflasi, setara dengan lebih dari US$100 juta atau sekitar Rp1,6 triliun saat ini—sebuah harga yang terbilang sangat murah untuk negara bagian terbesar di Amerika Serikat.

Pada tanggal 18 Oktober 1867, bendera Amerika secara resmi dikibarkan di Sitka, yang kala itu merupakan ibu kota Alaska. Awalnya, pembelian Alaska dicemooh sebagai “kebodohan Seward” oleh para kritikus yang meragukan nilai dari tanah beku tersebut. Namun, pandangan ini berubah drastis ketika pada akhir abad ke-19 ditemukan cadangan emas, minyak, dan gas alam yang melimpah di Alaska, menghasilkan keuntungan luar biasa bagi AS. Keputusan Seward terbukti menjadi langkah strategis yang sangat menguntungkan, dan pada tahun 1959, Alaska secara resmi menjadi negara bagian ke-49 AS.

Saat ini, Alaska membanggakan lebih dari 12.000 sungai dan danau yang tak terhitung jumlahnya. Ibu kotanya, Juneau, adalah satu-satunya ibu kota negara bagian di AS yang hanya dapat dijangkau melalui jalur perahu atau pesawat. Selain itu, Danau Hood di Anchorage dikenal sebagai salah satu pangkalan pesawat amfibi tersibuk di dunia, melayani sekitar 200 penerbangan setiap harinya.

Pertemuan puncak antara Presiden Trump dan Putin rencananya akan berlangsung di Pangkalan Gabungan Elmendorf-Richardson, instalasi militer terbesar di negara bagian tersebut. Pangkalan seluas 64.000 hektare ini memiliki peran vital bagi AS dalam kesiapan militer di wilayah Arktik. Ini bukanlah kali pertama Alaska menjadi panggung utama acara diplomatik Amerika. Pada Maret 2021, tim diplomatik dan keamanan nasional pemerintahan Presiden Joe Biden yang baru dilantik juga pernah bertemu dengan perwakilan China di Anchorage.

Hingga kini, detail resmi mengenai pertemuan Trump dan Putin tersebut belum sepenuhnya terungkap. Namun, Gedung Putih menyatakan bahwa pembicaraan di Alaska ini akan menjadi “latihan mendengarkan” bagi Trump dan akan memberikan presiden AS “petunjuk terbaik tentang cara mengakhiri perang ini”. Saat mengumumkan pertemuan puncak ini pekan lalu, Trump terdengar positif bahwa pertemuan tersebut dapat menghasilkan langkah-langkah konkret menuju perdamaian. Sementara itu, Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sebelumnya telah menegaskan bahwa setiap kesepakatan tanpa keterlibatan Kyiv akan menjadi “keputusan yang sia-sia”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *