Eks Direktur Utama PT Taspen (Persero), Antonius Nicholas Stephanus (ANS) Kosasih, divonis pidana 10 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Keputusan ini diambil setelah Kosasih terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi investasi fiktif secara bersama-sama, yang mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 1 triliun. “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun,” ujar Ketua Majelis Hakim, Purwanto S. Abdullah, saat membacakan amar putusannya dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (6/10) lalu.
Selain hukuman pidana badan, Kosasih juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 500 juta. Apabila denda tersebut tidak mampu dibayar, maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Tidak berhenti di situ, Kosasih juga dihukum pidana tambahan berupa uang pengganti yang sangat besar, yakni Rp 29,152 miliar, USD 127.057, SGD 283.002, 10 ribu euro, 1.470 baht Thailand, 30 poundsterling, 128 ribu yen Jepang, 500 dolar Hong Kong, serta 1,26 juta won Korea, ditambah Rp 2,87 juta.
Majelis Hakim menetapkan bahwa jika uang pengganti tersebut tidak dibayar dalam waktu paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, seluruh harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Apabila Kosasih tidak memiliki harta benda yang mencukupi untuk membayar kewajiban ini, ia akan diganti dengan pidana penjara tambahan selama 3 tahun. Berdasarkan fakta persidangan, Kosasih terbukti melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama.
Sebelum menjatuhkan vonis, Majelis Hakim secara cermat mempertimbangkan berbagai hal yang memberatkan dan meringankan hukuman bagi Kosasih. Hal-hal yang memberatkan antara lain adalah perannya sebagai Direktur Investasi PT Taspen yang seharusnya menjadi teladan dalam prinsip kehati-hatian dan tata kelola perusahaan yang baik, namun justru menyalahgunakan kewenangan demi kepentingan pribadi. Modus operandinya yang kompleks dan terstruktur, melibatkan berbagai pihak dan skema transaksi berlapis untuk menyembunyikan jejak, juga menjadi sorotan.
Lebih lanjut, perbuatan Kosasih telah secara signifikan menurunkan kepercayaan publik terhadap pengelolaan dana pensiun ASN dan tata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada umumnya. Ia juga tidak menunjukkan itikad baik untuk mengembalikan kerugian negara secara sukarela. Tindakannya jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Paling krusial, kejahatan ini secara luas menyangkut masa depan pensiunan ASN yang menggantungkan harapan pada dana THT untuk kehidupan di hari tua.
Di sisi lain, ada beberapa hal yang meringankan vonis bagi Kosasih, yaitu ia belum pernah dihukum sebelumnya, memiliki tanggungan keluarga, dan bersikap sopan selama persidangan. Menariknya, vonis yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim ini memiliki bobot yang sama dengan tuntutan jaksa, yakni pidana penjara 10 tahun, denda Rp 500 juta subsider pidana kurungan 6 bulan, serta uang pengganti dengan besaran yang setara.
Dalam persidangan yang sama, Majelis Hakim juga membacakan vonis untuk terdakwa lainnya, yakni Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM), Ekiwan Heri Primaryanto. Ia divonis pidana 9 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, Ekiwan juga dihukum membayar uang pengganti sebesar USD 253.660 subsider 2 tahun kurungan. Vonis terhadap Ekiwan ini sedikit lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntutnya dengan pidana 9 tahun 4 bulan penjara, meskipun pidana denda dan uang pengganti sama seperti yang dituntut.
Perbuatan Kosasih dalam kasus ini terpusat pada dugaan korupsi investasi fiktif yang telah merugikan keuangan negara hingga Rp 1 triliun. Ia didakwa melakukan tindakan ini bersama-sama dengan Ekiwan Heri Primaryanto, Direktur Utama PT Insight Investment Management (IIM). Jaksa mendakwakan bahwa Kosasih diduga menempatkan investasi pada reksadana I-Next G2. Langkah ini dilakukan untuk mengeluarkan sukuk ijarah TPS Food II (SIA-ISA 02) dari portofolio PT Taspen, padahal tanpa didukung oleh rekomendasi hasil analisis investasi yang semestinya.
Selain itu, Kosasih juga diduga merevisi dan menyetujui peraturan tentang kebijakan investasi. Aturan baru ini dibuat secara strategis untuk mendukung rencananya dalam melepas sukuk SIA-ISA 02 dan menginvestasikannya pada reksadana I-Next G2. “Bersama-sama dengan Ekiwan Heri Primaryanto yang melakukan pengelolaan investasi reksadana I-Next G2 secara tidak profesional,” terang jaksa saat dakwaan.
Perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Kosasih dan Ekiwan ini disebut telah memperkaya sejumlah pihak, dengan rincian sebagai berikut:
- Memperkaya Kosasih sebesar Rp 28.455.791.623 dan valas sebesar USD 127.037, SGD 283.000, Eur 10 ribu, THB 1.470, Pounds 20, JPY 128.000, HKD 500, KRW 1.262.000;
- Memperkaya Ekiwan Heri Primaryanto sebesar USD 242.390;
- Memperkaya Patar Sitanggang sebesar Rp 200 juta;
- Memperkaya PT IIM sebesar Rp 44.207.902.471;
- Memperkaya PT KB Valbury Sekuritas Indonesia sebesar Rp 2.465.488.054;
- Memperkaya PT Pacific Sekuritas Indonesia sebesar Rp 108 juta;
- Memperkaya PT Sinar Mas Sekuritas sebesar Rp 40 juta;
- Memperkaya PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk sebesar Rp 150 miliar.