
JAKARTA – PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), emiten anggota Holding BUMN Pertambangan MIND ID, mencatat kinerja operasional dan keuangan yang cemerlang hingga kuartal III-2025. Keberhasilan ini terutama ditopang oleh lonjakan harga komoditas mineral, khususnya emas, yang memberikan dampak positif signifikan bagi perusahaan.
Hingga kuartal ketiga tahun ini, ANTM berhasil membukukan pertumbuhan pendapatan dari penjualan komoditas emas, nikel, dan bauksit sebesar 67% secara tahunan (yoy). Angka ini melesat menjadi Rp 72,03 triliun, jauh di atas perolehan periode yang sama tahun sebelumnya yang sebesar Rp 43,20 triliun.
Segmen emas menjadi tulang punggung kinerja ANTM, dengan kontribusi sekitar 81% terhadap total penjualan hingga kuartal III-2025. Penjualan emas tetap solid berkat permintaan domestik yang kuat, meskipun tingkat harga dipengaruhi oleh dinamika geoekonomi dan geopolitik global. Pendapatan dari penjualan emas meningkat 64% yoy, mencapai Rp 58,67 triliun dibandingkan Rp 35,70 triliun pada kuartal III-2024. Peningkatan volume penjualan emas ANTM juga patut diacungi jempol, melonjak 20% yoy menjadi 34.164 kilogram atau setara 1.098.398 ons troi, berkat efektivitas strategi pemasaran, inovasi produk, dan penguatan pangsa pasar di dalam negeri.
Tidak hanya emas, segmen nikel (feronikel dan bijih nikel) ANTM turut menunjukkan performa impresif. Penjualan segmen nikel tumbuh 83% yoy, dari Rp 6,10 triliun pada kuartal III-2024 menjadi Rp 11,15 triliun pada kuartal III-2025. Sementara itu, penjualan di segmen bauksit dan Alumina juga melesat 68% yoy, mencapai Rp 1,95 triliun dibandingkan Rp 1,16 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Sebagai hasilnya, laba bersih ANTM hingga akhir kuartal III-2025 meroket sebesar 197% yoy, mencapai Rp 6,61 triliun dari sebelumnya Rp 2,23 triliun. Sejalan dengan itu, Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) juga tumbuh signifikan sebesar 137% yoy menjadi Rp 9,33 triliun, dari sebelumnya Rp 3,93 triliun.
Direktur Utama Aneka Tambang, Achmad Ardianto, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Senin (27/10) malam, menyatakan bahwa pencapaian ini adalah cerminan kekuatan fundamental ANTM dan semangat seluruh insan perusahaan dalam bertransformasi menuju bisnis yang berkelanjutan. “Capaian ini juga merefleksikan efektivitas strategi pengelolaan biaya dan optimalisasi nilai tambah produk yang dijalankan perusahaan,” jelas Ardianto.
Ardianto lebih lanjut menegaskan bahwa ANTM tidak hanya berfokus pada peningkatan kinerja keuangan, melainkan juga pada penciptaan nilai jangka panjang melalui praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan. “Antam terus berinovasi pada setiap aspek operasional, bisnis, dan keberlanjutan guna menciptakan nilai tambah dan manfaat berkelanjutan bagi pemegang saham serta pemangku kepentingan,” tambahnya.
Namun, potensi pertumbuhan kinerja ANTM baik dari sisi pendapatan maupun laba bersih diperkirakan akan lebih terbatas pada kuartal IV-2025. Analis Korea Investment & Sekuritas Indonesia (KISI), Muhammad Wafi, pada Selasa (28/10), memproyeksikan hal tersebut mengingat harga komoditas utama ANTM cenderung bergerak bervariasi. Meskipun harga emas masih berada di level tinggi, harga nikel rawan tertekan akibat efek kelebihan pasokan atau oversupply. “Jadi, kuartal IV-2025 kemungkinan masih positif bagi ANTM, tapi pertumbuhannya tidak setinggi kuartal ketiga,” ujarnya.
Melihat kondisi tersebut, Wafi menyarankan agar ANTM memperkuat strategi efisiensi biaya produksi emas di tengah tingginya permintaan terhadap logam mulia di Indonesia. Upaya ini dapat dilakukan melalui diversifikasi sumber bahan baku emas, seperti kerja sama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk jual beli emas sebanyak 30 ton per tahun guna memperkuat rantai pasok emas. Selain itu, ANTM juga perlu cermat dalam mengontrol beban operasional sekaligus mengoptimalkan proyek hilirisasi, termasuk smelter nikel dan bauksitnya. Dengan pertimbangan tersebut, Wafi merekomendasikan untuk membeli saham ANTM dengan target harga di level Rp 3.800 per saham.


