APBN untuk Al Khoziny, Pimpinan MPR: Jangan Pilih Kasih!

Posted on

Wacana pembangunan ulang Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pasca-musibah ambruknya musala yang menewaskan sejumlah santri, telah memicu perdebatan sengit. Usulan penggunaan dana APBN untuk proyek ini menuai tanggapan serius dari berbagai pihak, termasuk pimpinan MPR RI yang menyoroti pentingnya akuntabilitas dan transparansi.

Sebagai pemicu diskursus, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Dody Hanggodo, sebelumnya telah mengusulkan agar pembangunan ulang Ponpes Al Khoziny dibiayai oleh APBN. “Insyaallah dari APBN, ya. Tapi tidak menutup kemungkinan nanti ada bantuan dari swasta. Sementara waktu dari APBN,” ujar Dody pada Selasa (7/10), menyusul ambruknya musala di ponpes tersebut pada awal Oktober. Pemerintah saat ini masih mengkaji penyebab insiden dan opsi pembiayaan melalui APBN.

Menanggapi usulan tersebut, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, menekankan perlunya audit menyeluruh sebelum negara mengucurkan anggaran APBN untuk pembangunan pondok pesantren tersebut. Berbicara di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (13/10), Eddy menegaskan, “Karena APBN itu perlu dipertanggungjawabkan untuk apa pun kegiatannya. Saya kira perlu dilaksanakan audit terlebih dahulu terhadap pembangunan ponpes yang menggunakan anggaran APBN.”

Audit ini, menurut Eddy, sangat krusial demi menjamin akuntabilitas publik yang transparan. Tujuannya adalah agar setiap penggunaan dana negara dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka, terutama jika anggaran pembangunan kembali dialokasikan. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat terhadap pengelolaan APBN dapat terjaga dengan baik.

Eddy juga menegaskan bahwa prinsip akuntabilitas ini bukan hanya berlaku untuk Ponpes Al Khoziny yang baru saja mengalami musibah, melainkan untuk seluruh pondok pesantren di Indonesia. “Saya kira ini berlaku tidak hanya untuk ponpes yang kemarin mengalami musibah, tetapi juga semua ponpes yang ada. Aspek akuntabilitasnya harus jadi fokus dan perhatian utama,” katanya, menyerukan standar yang sama bagi semua institusi pendidikan keagamaan.

Meskipun belum menyatakan secara tegas persetujuan atau penolakannya terhadap alokasi APBN untuk Ponpes Al Khoziny, dengan alasan bahwa hal tersebut merupakan ranah eksekutif, Eddy tetap memberikan panduan. “APBN itu ranah eksekutif untuk penggunaannya. Tapi kalau usulan dari kami, agar ada akuntabilitas publik, sebaiknya dilakukan audit dulu, baik audit keuangan, pembangunan, maupun konstruksi,” jelasnya, menyoroti pentingnya kajian mendalam.

Di sisi lain, Eddy menyatakan persetujuannya apabila ke depannya seluruh ponpes di Indonesia dapat memperoleh dukungan dana dari APBN, khususnya dalam konteks pendidikan. “Bahwa adanya politik anggaran untuk dialokasikan dalam rangka pendidikan, termasuk untuk ponpes, kami setuju sekali,” ucapnya. Namun, ia mengingatkan bahwa peristiwa ambruknya musala di Ponpes Al Khoziny harus dijadikan pelajaran berharga. “Karena ada musibah itu, perlu pengkajian agar kejadian serupa tidak terulang. Ke depannya, anggaran pembangunan ponpes di mana pun di Indonesia harus bisa dipertanggungjawabkan dengan tingkat akuntabilitas yang tinggi,” pungkas Eddy, menekankan pentingnya evaluasi demi keselamatan dan keberlanjutan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *