caristyle.co.id – JAKARTA. Prospek pasar saham Indonesia hingga akhir tahun 2025 diperkirakan masih kurang menarik bagi investor asing. Volatilitas yang membayangi pasar saham Indonesia memicu potensi pergeseran minat investor asing dari saham-saham tradisional ke emiten konglomerasi tertentu.
Meskipun demikian, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menunjukkan performa yang cukup impresif. Pada penutupan perdagangan Jumat (10/10/2025), IHSG berada di level 8.257,85, mencatat kenaikan 5,14% dalam sebulan terakhir. Sejak awal tahun, IHSG bahkan sudah menguat 16,64% secara year to date (YTD), menandakan dinamika pasar yang menarik.
Secara harian, pada perdagangan Jumat lalu, dana asing sebenarnya sempat menunjukkan sinyal positif dengan masuknya dana sebesar Rp 1,18 triliun di pasar reguler dan total Rp 728,64 miliar di seluruh pasar. Namun, angka ini tidak cukup menahan tren net sell asing yang lebih besar dalam periode yang lebih panjang.
Data menunjukkan, dalam sebulan terakhir, dana asing tercatat keluar sebesar Rp 4,98 triliun di pasar reguler. Lebih jauh lagi, akumulasi net sell asing sejak awal tahun telah mencapai angka signifikan, yakni Rp 51,71 triliun YTD di pasar reguler, menunjukkan keengganan yang mendalam dari para pemodal global.
Di tengah tren net sell yang dominan, beberapa emiten konglomerasi justru menjadi incaran investor asing pada Jumat lalu. PT Chandra Daya Investasi Tbk (CDIA) memimpin dengan net buy asing sebesar Rp 314 miliar dalam sehari. Diikuti oleh PT Barito Pacific Tbk (BRPT) yang dibeli asing Rp 173,8 miliar, serta PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) dengan net buy Rp 132,7 miliar.
Dalam rentang sebulan terakhir, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS) menjadi emiten paling banyak diburu asing dengan total pembelian Rp 2,9 triliun. BRPT kembali masuk daftar dengan serokan asing Rp 680,7 miliar, dan PT Astra International Tbk (ASII) juga mencatat net buy asing sebesar Rp 562,8 miliar.
Kontras dengan saham konglomerasi, emiten bank buku empat justru ramai-ramai dilepas oleh investor asing pada perdagangan Jumat. PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) mengalami net sell asing Rp 144,7 miliar. Kemudian, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dilepas Rp 136,2 miliar, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dijual Rp 71,4 miliar, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dilego Rp 61,3 miliar.
Tren pelepasan saham perbankan ini berlanjut dalam sebulan terakhir. BBCA menjadi yang paling banyak dilepas asing dengan total dana keluar mencapai Rp 4,4 triliun. Selanjutnya, BMRI dilepas asing Rp 1,6 triliun, BBRI Rp 1,4 triliun, dan BBNI Rp 780,7 miliar, mengindikasikan sentimen negatif terhadap sektor perbankan.
Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, mengamati bahwa kenaikan IHSG belakangan ini lebih banyak didorong oleh investor domestik, terutama ritel, dibandingkan kontribusi investor asing. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran kekuatan pendorong di pasar saham.
Menurut Rully, rotasi investor asing ke emiten konglomerasi merupakan tren baru yang dipengaruhi oleh optimisme terhadap sektor energi terbarukan dan digital, sejalan dengan karakteristik sektor asal emiten-emiten tersebut. “Sedangkan untuk sektor perbankan, investor masih belum optimis akan adanya perbaikan kinerja,” imbuhnya.
Pandangan lain datang dari Teguh Hidayat, Pengamat Pasar Modal & Direktur Avere Investama, yang mencermati bahwa kenaikan IHSG saat ini tidak sepenuhnya mencerminkan pergerakan pasar yang sehat. Ia menyoroti indeks LQ45, yang berisi saham dengan likuiditas tinggi dan kapitalisasi pasar besar, yang justru terkoreksi 5,21% YTD. “Di antara saham konglomerasi yang naik tinggi YTD, hanya BRPT yang ada dalam LQ45,” jelas Teguh.
Kondisi ini, menurut Teguh, wajar jika membuat investor asing kebingungan dan memilih menarik dana mereka dari pasar saham Indonesia untuk kemudian dialihkan ke bursa lain seperti China, Jepang, atau Singapura. Di negara-negara tersebut, kinerja indeks lebih sejalan dengan pertumbuhan saham-saham berkapitalisasi pasar besar, memberikan keyakinan lebih kepada investor.
Salah satu akar anomali kinerja IHSG ini, lanjut Teguh, adalah ketidakpercayaan investor asing terhadap kebijakan pemerintah dalam menanggapi volatilitas pasar. “Selama kebijakan pemerintah dianggap tidak bisa memperbaiki fundamental pasar, asing belum akan masuk ke pasar saham,” tegasnya.
Net Sell Berlanjut
Rully Arya Wisnubroto menilai, dalam situasi ketidakpastian yang tinggi seperti saat ini, sangat sulit memprediksi kapan tren net buy asing akan kembali terjadi. Ia memperkirakan, tren net sell asing masih akan berlanjut hingga akhir tahun 2025, mengingat tingginya risiko pasar. Oleh karena itu, Rully menyarankan investor untuk lebih jeli dalam memantau arus kapital, serta mencermati fundamental industri dan perusahaan yang diincar.
Senada dengan Rully, Teguh Hidayat juga meragukan kembalinya investor asing ke pasar saham Indonesia dalam waktu dekat. Ia mengusulkan solusi radikal agar investor asing tertarik kembali, yakni dengan membiarkan IHSG terkoreksi hingga mencapai valuasi asli saham-saham berbobot besar, khususnya emiten perbankan buku empat. “Tidak apa-apa (IHSG) turun dulu, asalkan kembali naik bersama dengan saham-saham berfundamental bagus,” ujarnya.
Teguh menambahkan, banyak investor ritel saat ini mulai frustasi dengan portofolio saham perbankan mereka dan beralih menaruh dana di saham emiten konglomerasi. Namun, ia mengingatkan bahwa saham konglomerasi memiliki volatilitas tinggi, yang berpotensi menyebabkan kerugian besar bagi investor ritel jika terjadi normalisasi pasar. “Tapi sayangnya, ini satu-satunya cara agar asing mau masuk lagi ke pasar saham Indonesia,” ungkapnya.
Sebagai alternatif, Teguh menyarankan investor ritel untuk mengoleksi saham emiten komoditas di tengah kondisi pasar saat ini, terutama di sektor sawit, emas, dan nikel, yang tengah menguat seiring dengan kenaikan harga komoditasnya. Namun, ia juga mengingatkan bahwa mayoritas emiten komoditas memiliki kapitalisasi pasar kecil, sehingga kurang diminati investor asing.
“Asing biasanya baru akan masuk di emiten yang punya kapitalisasi pasar minimal USD 1 miliar atau sekitar Rp 16 triliun. LSIP saja hanya sekitar Rp 8 triliun atau AALI misalnya hanya sekitar Rp 15 triliun,” terangnya. Untuk itu, Teguh merekomendasikan beli untuk saham AALI, NCKL, dan HRTA. Ia menetapkan target harga Rp 1.500 per saham untuk NCKL dan HRTA. Sementara itu, untuk AALI, jika kapitalisasi pasarnya berhasil menyentuh Rp 16 triliun dan menarik investor asing, target harganya bisa mencapai Rp 15.000 per saham.