Kecerdasan Buatan Memberi Harapan Baru bagi Bahasa Ainu yang Hampir Punah
Desisan pita kaset usang berganti menjadi suara-suara leluhur. Itulah pengalaman Maya Sekine, seorang perempuan keturunan Ainu yang mendengarkan dongeng-dongeng nenek moyangnya dalam bahasa Ainu, bahasa yang nyaris hilang ditelan zaman. Kisah-kisah itu, yang diputar dari kaset-kaset peninggalan ayahnya, begitu berharga dan penuh warna, menunjukkan kekayaan budaya yang hampir lenyap.
Orang Ainu, penduduk asli kepulauan Jepang, telah menghuni wilayah yang kini dikenal sebagai Jepang sejak abad ke-12. Jauh sebelum kedatangan penjajah Jepang, mereka telah membangun peradaban dan budaya yang kaya. Salah satu harta karun budaya mereka adalah bahasa Ainu, yang kini menghadapi ancaman kepunahan.
Masa kecil Maya di Nibutani, Hokkaido—daerah dengan populasi keturunan Ainu yang signifikan—tidak sepenuhnya terendam dalam bahasa Ainu. Meskipun ibunya dan kakek-neneknya memahami beberapa frasa, bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Jepang. Teman-teman sekolahnya juga tak mengerti bahasa Ainu, membuat Maya menyadari betapa terancamnya bahasa dan budaya keluarganya.
Kini, hanya segelintir penutur asli bahasa Ainu yang tersisa. Bahasa ini terdaftar dalam daftar UNESCO sebagai bahasa yang “sangat terancam punah”. Pada tahun 1870, setahun setelah Hokkaido dinyatakan sebagai bagian dari Jepang, sekitar 15.000 orang masih menggunakan berbagai dialek bahasa Ainu. Namun, kebijakan pemerintah Jepang, termasuk pelarangan penggunaan bahasa Ainu di sekolah, hampir memusnahkan bahasa dan budaya tersebut. Pada tahun 1917, jumlah penutur menyusut drastis menjadi hanya 350 orang.
Namun, angin perubahan mulai berhembus. Pada tahun 2019, pemerintah Jepang secara resmi mengakui orang Ainu sebagai penduduk asli negara tersebut dan meluncurkan berbagai inisiatif untuk mendorong inklusi dan visibilitas mereka. Salah satu upaya pelestarian yang paling menjanjikan adalah pemanfaatan kecerdasan buatan (AI).
Maya Sekine, yang kini menjadi pembuat video YouTube, merupakan contoh generasi muda yang berusaha menghidupkan kembali budaya Ainu. Didukung oleh ayahnya, Kenji Sekine—seorang guru bahasa Ainu—Maya menyadari betapa berharganya warisan budayanya. Kenji Sekine sendiri mengatakan bahwa bahasa Ainu mencerminkan hubungan harmonis masyarakat Ainu dengan alam dan penghormatan mereka terhadap makhluk hidup lainnya, dengan istilah “kamuy” (dewa atau roh spiritual) yang digunakan untuk menyebut berbagai makhluk, termasuk beruang (“kimunkamuy”) dan serigala (“horkewkamuy”).
Meskipun diakui, bahasa Ainu masih belum diajarkan di sekolah-sekolah Hokkaido. Hirofumi Kato, seorang arkeolog dari Universitas Hokkaido, menegaskan bahwa sistem pendidikan Jepang yang monokultural telah menghambat pemahaman dan apresiasi terhadap budaya Ainu. Hal ini membuat banyak orang Ainu kesulitan untuk terhubung dengan akar budaya mereka.
Maya sendiri pernah menyembunyikan identitas Ainu-nya. Namun, setelah kuliah, dia mulai bangga dengan asal-usulnya dan aktif mempromosikan budaya Ainu. Baginya, bahasa merupakan elemen terpenting dalam pelestarian budaya Ainu, disusul oleh nilai-nilai kekeluargaan yang kuat.
Beruntung, banyak kisah lisan Ainu yang terdokumentasikan dalam arsip audio. Para peneliti, di bawah pimpinan Tatsuya Kawahara dari Universitas Kyoto, memanfaatkan arsip-arsip ini dan memanfaatkan kecerdasan buatan untuk merevitalisasi bahasa Ainu. Mereka menggunakan model “end-to-end” yang memungkinkan sistem mempelajari cara memproses suara menjadi teks tanpa perlu data tata bahasa yang besar, yang sangat krusial mengingat minimnya data bahasa Ainu.
Tim Kawahara telah berhasil mengembangkan sistem sintesis suara berbasis AI yang mampu meniru suara penutur Ainu. Sistem ini bahkan telah menghasilkan versi audio-visual dari beberapa cerita rakyat Ainu. Walaupun hasilnya mengesankan, dengan akurasi pengenalan kata mencapai 85% dan akurasi pengenalan fonem hingga 95%, Maya tetap ragu akan keakuratan dan keautentikan sistem AI ini, khawatir teknologi ini malah menyebarkan pengucapan yang salah. Kekhawatiran ini dibagikan oleh beberapa keturunan Ainu lainnya.
Meskipun demikian, proyek ini mendapat dukungan dari beberapa anggota komunitas Ainu, termasuk Kenji Sekine yang membantu menyediakan arsip rekaman. Ia juga aktif dalam mengajarkan bahasa Ainu kepada anak-anak di Nibutani menggunakan metode Te Ataarangi dari Selandia Baru, yang menekankan aspek berbicara dan visualisasi. Kenji melihat proyek AI sebagai upaya positif dalam pelestarian bahasa Ainu.
Namun, isu etika dan aksesibilitas data juga menjadi pertimbangan penting. David Ifeoluwa Adelani dari Universitas McGill menekankan pentingnya transparansi dan persetujuan komunitas Ainu dalam penggunaan data mereka. Pengalaman historis eksploitasi budaya Ainu menuntut kehati-hatian dalam proyek ini. Kekhawatiran akan komersialisasi dan apropriasi budaya masih membayangi upaya pelestarian ini.
Situasi sosial ekonomi orang Ainu juga menjadi sorotan. Sebuah survei tahun 2023 menunjukkan bahwa 29% orang Ainu mengalami diskriminasi, dan mereka cenderung memiliki pendapatan lebih rendah dan pekerjaan yang kurang stabil daripada rata-rata penduduk Jepang. Adelani menyarankan agar anggota komunitas Ainu sendiri dilatih untuk menggunakan AI, bukan hanya menjadi objek penelitian.
Kritik juga tertuju pada Museum Nasional Ainu Upopoy, yang oleh beberapa aktivis dianggap sebagai kelanjutan dari kebijakan asimilasi Jepang. Museum ini menyimpan tulang-belulang manusia Ainu yang ingin diambil kembali oleh komunitas Ainu. Kawahara menjelaskan bahwa museum memegang hak cipta atas data yang digunakan dalam proyek AI, dengan persetujuan keluarga para penutur.
Meskipun tantangan dan kekhawatiran tetap ada, para pakar seperti Sara Hooker dan Francis Tyers menekankan perkembangan pesat teknologi AI dalam penerjemahan dan sintesis suara. Mereka juga menekankan pentingnya keterlibatan komunitas dalam pengembangan teknologi bahasa, seperti yang terlihat dalam proyek bahasa Sámi. Keterlibatan komunitas sangat krusial untuk memastikan bahwa teknologi ini digunakan secara etis dan bermanfaat bagi pelestarian bahasa Ainu.
Maya dan Kenji Sekine tetap optimis. Mereka berharap AI dapat membantu pelestarian bahasa Ainu, meskipun menyadari bahwa bahasa itu akan terus berevolusi, dengan penambahan kata-kata baru seperti “imeru kampi” (surel) yang mencerminkan dinamika bahasa yang hidup. Mereka berharap masyarakat Jepang dapat lebih memahami dan menghargai warisan unik budaya Ainu.
Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris di BBC Future.