Wacana mengenai pengajaran bahasa Portugis di sekolah-sekolah Indonesia yang diinstruksikan oleh Presiden Prabowo Subianto sontak memicu perdebatan sengit. Para pakar pendidikan dan orang tua murid menyuarakan kekhawatiran mendalam, mempertanyakan kesiapan infrastruktur, ketersediaan tenaga pengajar, serta potensi anak-anak menjadi korban kebijakan yang dianggap spontan dan minim kajian mendalam.
Meskipun bahasa Portugis diakui oleh Ethnologue sebagai salah satu dari 10 besar bahasa dengan penutur terbanyak di dunia, mencapai 266,6 juta jiwa, realitas di Indonesia justru kontras. Jumlah penutur, apalagi yang mumpuni mengajar bahasa Portugis, sangatlah minim. Gladhys Elliona, seorang pengajar dan penerjemah bahasa Portugis Brasil, mengungkapkan bahwa pengajar aktif di Indonesia tidak lebih dari lima orang, termasuk dirinya, dan bahkan lebih sedikit lagi yang spesialis bahasa Portugis Brasil.
Kondisi ini jelas menjadi kendala serius jika bahasa Portugis dipaksakan menjadi mata pelajaran wajib di kurikulum pendidikan. Pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia, Itje Chodidjah, menyoroti urgensi kebijakan ini. Menurutnya, pengajaran bahasa asing bukan sekadar soal kelulusan dari jurusan tertentu, melainkan harus berfokus pada pengembangan keterampilan dan sikap komunikasi yang aktif. Hal senada juga digarisbawahi oleh pengamat pendidikan Ina Liem, yang menekankan pentingnya kemampuan literasi sebagai hasil pembelajaran bahasa, termasuk bahasa asing.
Data terbaru memperburuk gambaran kondisi pendidikan di Indonesia. Berdasarkan hasil PISA 2022, skor literasi dan numerasi Indonesia anjlok, menempatkan negara ini di peringkat ke-70 dari 80 negara. Tak hanya itu, dalam survei EF English Proficiency Index, kecakapan bahasa Inggris Indonesia yang merupakan lingua franca global, juga merosot ke peringkat 80 dari 116 negara. Studi nasional bahkan menunjukkan bahwa lebih dari 80% guru SD memiliki kemampuan bahasa Inggris di bawah level B1 CEFR. Ironisnya, data Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mencatat sekitar 90.000 sekolah belum memiliki guru bahasa Inggris, padahal bahasa Inggris akan resmi menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa kelas 3 SD mulai tahun ajaran 2026/2027. Di tengah tantangan besar ini, pertanyaan pun muncul: apa sebenarnya yang ingin dicapai Prabowo dengan pengajaran bahasa Portugis di sekolah?
Asal Mula Gagasan Bahasa Portugis di Sekolah
Wacana pengajaran bahasa Portugis di sekolah pertama kali mengemuka saat Presiden Prabowo menerima kunjungan kenegaraan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, pada Kamis (23/10). Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyatakan keputusannya untuk menjadikan bahasa Portugis sebagai materi ajar di sekolah, sebagai simbol kuatnya hubungan bilateral antara Brasil dan Indonesia. “Saya akan memberi petunjuk kepada menteri pendidikan tinggi dan menteri pendidikan dasar untuk mulai mengajar bahasa Portugis di sekolah-sekolah kami,” kata Prabowo di Istana Merdeka kala itu.
Namun, yang menarik, keputusan Prabowo tersebut tidak tercantum dalam delapan poin kesepakatan resmi yang ditandatangani oleh Indonesia dan Brasil. Menteri Luar Negeri Sugiono menjelaskan bahwa langkah Prabowo ini bertujuan untuk membentuk ‘new special relationship‘, dengan komunikasi sebagai elemen krusial dalam meningkatkan kerja sama. Oleh karena itu, beliau meminta bahasa Portugis dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan, meskipun detail implementasinya diserahkan kepada kementerian terkait. Hingga saat ini, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti serta Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Brian Yuliarto belum memberikan respons terkait pertanyaan dari BBC News Indonesia.
Secara historis, Indonesia memiliki paparan yang cukup panjang terhadap bahasa Portugis. Bangsa Portugis tiba di Maluku pada tahun 1512, awalnya untuk mencari rempah-rempah demi kepentingan monopoli perdagangan dan penyebaran agama Kristen. Okupasi ini meninggalkan jejak budaya dan bahasa, di mana sebagian masyarakat di Maluku, Flores, dan Timor masih memahami bahasa Portugis, dan beberapa bahasa daerah serta kosakata bahasa Indonesia pun menyerap pengaruh dari Portugis. Bahkan Timor Timur, yang kini menjadi Timor Leste, fasih berbahasa Portugis akibat penjajahan hingga sekitar tahun 1974. Lebih dari itu, sebuah tulisan berjudul “Engaging Portuguese-Speaking Countries as a Diplomatic Foundation for Upcoming ICT-Fueled Geopolitics in the Artificial Intelligence Age” menunjukkan bahwa bahasa Portugis kini menjadi instrumen diplomasi untuk memperkuat posisi negara-negara Lusophone di antara kutub global south dan global north.
Kekhawatiran Orang Tua: ‘Jangankan Bahasa Portugis, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris Saja Masih Kacau’
Orang tua murid, Laraswati Ariadne, yang anaknya kini duduk di bangku SD, sangat mempertanyakan penerapan rencana pengajaran bahasa Portugis ini. Baginya, jika menjadi muatan ekstrakurikuler atau penjurusan di SMA, hal itu tidak menjadi masalah. “Kalau terus dari tingkat dasar, ya enggak make sense. Bahasa Indonesia sama bahasa Inggris aja tuh masih kacau kan? Masih banyak orang Indonesia enggak menguasai Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Inggris. Terus ini ada lagi,” keluhnya. Laras juga menyinggung fakta 90.000 sekolah yang belum memiliki guru bahasa Inggris sebagai pertimbangan serius bagi pemerintah. “Guru yang ada pun belum tentu ngerti cara ngajarin bahasa yang baik dan benar. Contohnya, belajar dari bahasa lama sampai bertahun-tahun di sekolah, begitu lulus tetap banyak yang enggak menguasai,” tambahnya, mempertanyakan kompetensi guru yang akan mengajar bahasa Portugis.
Laras berbagi pengalaman anaknya di salah satu sekolah swasta dwi-bahasa. Pembelajaran bahasa di sana tidak kaku, melainkan diintegrasikan dalam kegiatan sehari-hari, seperti pelajaran sains yang disampaikan dalam bahasa Inggris. Guru lebih berfokus pada kepercayaan diri dan kenyamanan anak untuk berkomunikasi, bukan sekadar tata bahasa. Metode ini terbukti efektif, membuat anaknya lancar berbahasa Inggris bahkan tanpa menyadari bahwa ia sedang belajar. “Karena fun, buat dia main. Kalau ditanya belajar apa tadi? Jawaban dia tadi main-main aja. Pas dia cerita, baru aku ngeh dia lagi belajar sains atau berhitung misalnya,” ungkap Laras.
Senada, Laksmi Kinasih, seorang ibu dari dua putri, menanyakan urgensi kebijakan bahasa Portugis. “Seingat aku, presiden tidak pernah mengeluarkan pernyataan publik tentang pelajaran bahasa di sekolah, kenapa tiba-tiba ngurusin dan kenapa [bahasa] Portugis?” ucapnya. Laksmi menekankan bahwa mengajar bahasa itu tidak mudah. Ia mencontohkan pengalaman putrinya yang kesulitan belajar bahasa Indonesia di sekolah karena konsep pengajarannya yang terlalu tekstual dan kurang ekspresif. “Itu bahasa Indonesia ya. Saat itu, tekstual banget, sekadar membaca teks, menjawab pertanyaan dan enggak pernah diekspresikan selayaknya bahasa, enggak ada unsur sukacitanya. Jadi, enggak hidup,” kenangnya.
Laksmi meyakini bahwa pembelajaran bahasa yang efektif harus membuat bahasa itu “hidup dan aktif dipakai dengan berbagai cara”, seperti yang dialami putrinya saat bertemu guru bahasa Indonesia yang kreatif. Guru tersebut mengajak anak-anak berekspresi melalui menulis, wawancara, drama, hingga kritik, yang akhirnya memunculkan potensi dan kecintaan anak pada bahasa. Karena itu, Laksmi menyoroti tantangan besar dalam memastikan kompetensi guru, akses terhadap buku berkualitas, serta paparan anak-anak terhadap ekspresi bahasa yang berkualitas seperti pertunjukan teater, film, atau puisi.
Tantangan Nyata Memasukkan Bahasa Portugis ke Kurikulum Sekolah
Itje Chodidjah, pakar pengajaran bahasa Inggris, menegaskan bahwa pengajaran bahasa asing adalah proses yang kompleks. Ia harus dibawakan secara tepat agar menghasilkan keterampilan dan sikap komunikasi yang aktif. “Bayangkan mau belajar nyetir, tapi yang mengajar tidak mahir nyetir. Nah dalam konteks bahasa asing, untuk bisa berkomunikasi kan gurunya juga harus bisa berkomunikasi,” ujarnya. Itje menjelaskan bahwa kemampuan guru yang dibutuhkan bukan hanya sekadar lulusan jurusan bahasa, melainkan juga menguasai konsep pengajaran yang melibatkan budaya dan pemahaman konteks komunikasi. Untuk bahasa Portugis, tantangannya berlipat ganda: berapa perguruan tinggi yang memiliki jurusan bahasa ini? Berapa banyak individu yang benar-benar menguasainya?
Di tengah urgensi untuk meningkatkan kemampuan literasi, yang merupakan pekerjaan rumah besar bagi para pendidik, serta masalah kekurangan guru karena pensiun, Itje mempertanyakan, “Lantas, kenapa kita harus menghabiskan resources untuk sesuatu yang tidak urgent?” Ia menambahkan bahwa negara-negara berbahasa resmi Portugis pun saat ini masih fokus menguatkan kecakapan bahasa Inggris mereka. Jika di kota besar seperti Jakarta saja kecakapan berbahasa Inggris anak belum merata, apalagi di daerah lain. Oleh karena itu, kebijakan seperti ini membutuhkan pertimbangan matang yang berbasis kajian dan data yang kuat.
Gladhys Elliona, pengajar bahasa Portugis Brasil, menekankan pentingnya menentukan tujuan spesifik: bahasa Portugis jenis apa yang ingin diajarkan. “Kebanyakan pengajar bahasa Portugis di Indonesia adalah pengajar yang kurikulumnya Portugal dan/atau mencampur Portugal dan Brasil,” jelasnya. Gladhys menambahkan, jika instruksi Presiden terkait dengan kunjungan Lula, maka yang harus digalakkan adalah kurikulum Portugis Brasil, bukan Portugal. “Karena hubungan bahasa Portugis Portugal dan Portugis Brasil itu buat saya seperti bahasa Malaysia dan Indonesia,” imbuhnya, menyoroti perbedaan signifikan antara kedua varian bahasa tersebut.

Pengamat pendidikan Ina Liem berpandangan bahwa pemerintah seperti sedang “meraba arah tujuan dalam pendidikan“, di mana setiap perkembangan baru langsung ditanggapi dengan menjadikannya sebagai konten dalam kurikulum. “Sebelumnya ada AI, lalu AI masuk sebagai pelajaran. Ini sekarang bahasa Portugis. Padahal secara prinsip tidak begitu kalau paham tentang kurikulum nasional,” kata Ina. Ia membedakan ini dengan konsep project-based learning, di mana pembelajaran bahasa dan keterampilan digital dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran lain, misalnya melalui proyek mengatasi sungai kotor. Metode ini dianggap lebih efektif daripada “disumpel-sumpel lagi, ditambah pelajaran lagi”.
Ina Liem juga menegaskan bahwa dalam konteks masa depan, anak-anak semestinya memiliki kesempatan untuk memilih. Dalam hal bahasa asing, anak-anak dengan cita-cita yang berbeda akan memahami dan memilih bahasa yang relevan, misalnya mereka yang ingin bekerja di Jerman akan mempelajari bahasa Jerman, atau pengusaha melengkapi diri dengan bahasa Mandarin. Oleh karena itu, keberadaan bahasa Portugis akan lebih sesuai jika menjadi ekstrakurikuler pilihan, bukan mata pelajaran wajib. Mata pelajaran wajib, menurut Ina, cukup bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. “Tidak ada paksaan, tapi juga tidak dilarang. Karena tiap anak prinsipnya akan beda-beda dan nantinya ke depan mau bekerja di bagian mana akan beda-beda,” pungkasnya.
- Presiden Prabowo akan bagikan 330 ribu televisi pintar ke sekolah – Apakah program ini tepat sasaran?
- Anggaran pendidikan terbesar sepanjang sejarah tapi hampir setengahnya untuk MBG dikoreksi – ‘Guru seakan-akan dibantu’
- Ratusan guru Sekolah Rakyat mundur – Bagaimana nasib para murid?
- Kampung di Buton meminjam aksara Korea demi lestarikan bahasa Cia-Cia yang terancam punah – Berhasilkah mereka?
- Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA bakal diterapkan lagi – ‘Siswa jadi kelinci percobaan’
- Bahasa Indonesia masuk kurikulum wajib murid SD di Taiwan
- Kampung di Buton meminjam aksara Korea demi lestarikan bahasa Cia-Cia yang terancam punah – Berhasilkah mereka?
- Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA bakal diterapkan lagi – ‘Siswa jadi kelinci percobaan’
- Bahasa Indonesia masuk kurikulum wajib murid SD di Taiwan



