
Korban bencana banjir dan longsor di Aceh berteriak meminta pemerintah tidak lambat dalam menangani bencana. Kekecewaan pun mengudara, disimbolkan dengan kibaran bendera putih. Di balik itu, memori kolektif pascakonflik bersenjata membayangi; membuka kembali pertanyaan sejauh mana resolusi damai berpihak kepada masyarakat Aceh.
Samsiar mengingat banjir yang menerjang kampung halamannya di Pidie Jaya sebagai hari-hari mencekam.
Air menggulung dan mengepung tanah-tanah di sekitar rumahnya, membuat Samsiar tidak mempunyai pilihan selain bertahan.
Selama empat hari, Samsiar terjebak di rumah milik adiknya.
Dia mengungsi ke lantai dua. Bekal yang dibawa cuma seadanya. Sementara di luar, air serta lumpur mengubah bentuk permukaan bak sungai yang meluap penuh kecokelatan.
Barulah di hari kelima Samsiar dievakuasi. Salah satu anaknya berhasil menembus medan yang sebelumnya sulit.
Sang anak lantas menggendong Samsiar melewati kubangan lumpur yang tingginya selutut. Dari Pidie Jaya, Samsiar dibawa ke Banda Aceh untuk sementara waktu.
Sekira 20 tahun yang lalu, Samsiar menghadapi pengalaman yang kurang lebih mirip.
Bukan bencana yang membikin Samsiar terpaksa angkat kaki dari rumah, tapi operasi militer pemerintah Indonesia dalam penumpasan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Yang [tahun] 2000 itu lebih parah lagi [operasi militernya],” Samsiar memberi tahu BBC News Indonesia seraya menerangkan kalau operasi yang sama lebih dulu muncul pada 1989.
Karena operasi militer, Samsiar dan keluarganya terpaksa mengungsi ke masjid-masjid guna memperoleh perlindungan. Samsiar cemas sekali terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Mimpi buruk Samsiar perlahan berubah menjadi harapan tatkala perjanjian damai disetujui pada 2005. Dia tak henti berucap syukur dan bersiap menyambut kehidupan yang normal.
Berselang dua dekade setelahnya, rapalan syukur Samsiar perlahan terkikis kekecewaan selepas menyaksikan korban banjir di Aceh kesulitan memperoleh bantuan.
Dan kekecewaan semacam itu tidak Samsiar rasakan seorang diri.
Berawal dari janji-janji Jakarta
Pada mulanya adalah Daud Beureueh. Sewaktu masa kolonial Belanda, Beureueh tergolong ulama yang berani, disegani, serta progresif. Peran Beureueh menonjol selepas Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaan 1945.
Dalam bukunya berjudul The Rope of God (1969), James T. Siegel menulis Beureueh merupakan ulama yang menggabungkan elemen akidah dan pergerakan sosial sehingga jalan perjuangannya tidak sekadar berhenti pada satu dimensi—keagamaan—belaka.
Argumen Siegel didasarkan kepada pandangan sekaligus sikap Beureueh yang mewarisi kemarahan maupun kekecewaan para ulama dan masyarakat Aceh terhadap kehadiran kolonialisme.
Maka dari itu, Beureueh berdiri di garda terdepan dalam upaya melenyapkan kekuatan pemerintah kolonial Belanda, termasuk jejaring yang dibangun bersama para ulee balang (kelompok bangsawan).
Pada Oktober 1945, Beureueh, dengan payung Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), organisasi ulama yang berpengaruh kala itu, mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh yang mengajak seluruh rakyat Aceh berperang jihad membela Indonesia.
Di level implementasi, gagasan Beureueh terwujud dengan keterlibatan langsung menghalau militer Belanda yang kembali muncul melalui Agresi I dan II—keduanya pada rentang 1947 sampai 1948.
Aceh, bisa dibilang, menjelma poros penting bagi daya tahan republik dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung. Di Kutaraja, sekarang Banda Aceh, misalnya, pernah berdiri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) kala pemimpin Indonesia ditawan Belanda.
Saat Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta tak mampu melakukan siaran, RRI di Kutaraja mengambil alih supaya arus informasi tetap terjaga.
Di sisi lain, Aceh memegang titik strategis dalam pintu masuk perdagangan internasional lewat Semenanjung Malaya (Melayu). Sejumlah keuntungan dari transaksi ini disetor ke pusat demi mencegah kas negara limbung.
Berbagai langkah yang diambil Aceh—serta Beureueh—lantas dilihat Jakarta, atau rezim Sukarno, sebagai bentuk loyalitas. Beureueh pun diangkat menjadi Gubernur Militer, membawahi wilayah Aceh, Langkat, dan Tanah Karo.
Beureueh memandang posisi Aceh yang krusial tersebut menjadi pintu masuk agenda yang lebih besar, seperti dicatat Nazaruddin Sjamsuddin dalam The Republican Revolt: A Study of the Acehnese Rebellion (1985). Aceh mengusulkan penerapan Islam sebagai ideologi nasional, selain pemberlakuan hukum syariah untuk masyarakat Aceh sendiri.
Sukarno meresponsnya dengan sebuah komitmen bahwa “keistimewaan” itu kelak diberikan.
Janji Sukarno tidak pernah terwujud. Tatkala berpidato di Kalimantan pada 1953, mengutip Negara & Masyarakat dalam Konflik Aceh (2004) yang disusun Abdul Rachman Patji, Sukarno menolak Islam sebagai dasar negara.
Pernyataan Sukarno melukai Beureueh serta masyarakat Aceh; menganggap Jakarta telah berkhianat.
Belum kering luka itu, Jakarta mengeluarkan keputusan lain: Aceh dilebur ke Sumatra Utara. Masuknya Aceh ke Sumatra Utara dilandasi kebutuhan efisiensi dalam mengorganisir kemudi pemerintahan.
Dengan ‘hilangnya’ otonomi Aceh dalam konteks kewilayahan, konsekuensinya merembet pula ke urusan ekonomi.
Aceh tidak lagi memegang pintu perdagangan ke luar negeri via Semenanjung Malaya yang selama ini menopang hidup masyarakatnya. Kegiatan ekspor terhenti, kantor-kantor dagang di Lhokseumawe tutup, dan terciptalah pengangguran.
Situasi itu kiranya sudah cukup ‘membakar’ amarah Beureueh guna mengobarkan perlawanan ke Jakarta. Pada 1953, Aceh memberontak, dibungkus dengan Darul Islam.
Konsep pemberontakan Darul Islam di Aceh terhubung dengan apa yang terjadi di Jawa Barat sekitar empat tahun sebelumnya manakala Kartosuwiryo mendeklarasikan pendirian Negara Islam Indonesia (NII)—atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Perlawanan Kartosuwiryo di akar rumput, yang dipicu rasa tidak puas dengan Jakarta, melahirkan rentetan pemberontakan sejenis di bermacam daerah. Masa awal kemerdekaan Indonesia serupa kegoyahan tanpa henti akibat gejolak angkat senjata yang muncul di sana sini.
Pemerintah pusat beranggapan pemberontakan yang dikomandoi Beureueh tidak ada sangkut pautnya dengan penolakan pemberian otonomi kepada Aceh. Mereka menilai pemberontakan adalah hasil dari saling berebut kekuatan di internal yang mengerucut ke dua kelompok: ulama PUSA serta ulee balang.
Bendera perlawanan Beureueh, pada akhirnya, diturunkan nyaris satu dekade setelahnya, 1962, usai Jakarta menjanjikan Aceh status pemerintahan khusus.
Meski demikian, gelombang resistensinya tidak seketika surut.
Dari Columbia ke Serambi Mekkah
Ketika Dauh Beureueh mengobarkan pemberontakan kepada Jakarta, pemuda Aceh bernama Hasan Tiro tengah mengambil pendidikan doktoral di bidang hukum di University of Columbia. Jarak puluhan ribu kilometer yang memisahkan Aceh dan New York ternyata tidak mematikan bara kekecewaan Tiro.
Mengacu pada buku Hasan Tiro: dari Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis (2010) yang ditulis Ahmad Taufan Damanik, Tiro menyatakan diri sebagai perwakilan Darul Islam Indonesia di luar negeri. Dia mengamini keyakinan bahwa Aceh “dikhianati” Jakarta.
Kegelisahan Tiro tidak hilang walaupun pemberontakan Darul Islam tergulung pada awal 1960-an. Tiro tetap memegang prinsip yang sama dan mengusulkan kepada Jakarta tentang konsep pemerintahan konfederasi. Artinya, Aceh punya kedaulatan untuk mengurus wilayahnya sendiri.
Ide Tiro diabaikan pemerintah pusat tidak hanya karena bertentangan dengan prinsip “kesatuan” yang dipegang Sukarno, melainkan juga Aceh sudah diberi status “wilayah khusus.”
Pengabaian Jakarta tidak menyempitkan nyali Tiro. Pada Desember 1976, Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh dengan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Husaini Nurdin, melalui Hasan Tiro: The Unfinished Story of Aceh (2010), menjelaskan terdapat perbedaan signifikan antara GAM dengan Darul Islam.
Jika Darul Islam cenderung ‘lunak’ dalam menuntaskan misinya, tidak demikian GAM. Visi GAM adalah kemerdekaan mutlak untuk Aceh, dan mereka bersedia menempuh jalan apa saja guna merealisasikan itu.
Pendirian GAM disebut mendapat restu dari Beureueh. Catatan M. Nur El Ibrahimy yang dikumpulkan dalam Tengku Muhammad Daud Beureuh: Peranannya dalam Pergolakan Aceh (1982) mengatakan hal yang berlainan. Dua kali kunjungan Tiro ke Beureueh berujung respons yang dingin.
Alasannya, menurut El Ibrahimy, ialah ketidakmampuan Tiro meyakinkan Beureueh ihwal ideologi macam apa yang nantinya dipakai menjadi dasar negara baru itu. Beureueh berpegangan pada prinsip bahwa negara yang bukan berdasarkan Islam tidak dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
Beureueh menempatkan semangat “syahid” melawan Belanda oleh para pendahulunya sebagai ruang merebut kembali makna keislaman dalam tata pemerintahan. Islam merupakan kunci dari semua aspek, Beureueh percaya.
Sementara Tiro melihat perjuangan kemerdekaan Aceh mesti ditempatkan di ruang yang berkesinambungan serta selamanya tanpa merasa perlu—secara eksplisit—menyebutkan Islam untuk dasar bertindak.
Genealogi GAM yang dibikin Tiro dijelaskan lebih rinci oleh Tim Kell dalam buku bertajuk The Roots of Achenese Rebellion, 1989-1992 (1995). Kell mengutarakan ideologi GAM sedikit melompati seruan langsung mengenai sentimen etnis dan kejayaan masa lalu.
Tujuan jangka panjang Tiro, Kell meneruskan, yakni mendirikan negara-negara yang merdeka di Aceh dan Sumatra. Perlawanan Tiro maupun GAM berangkat dari anggapan masyarakat Aceh yang senantiasa tertindas di tangan hegemoni penguasa Jawa—pemerintah pusat.
Saat Orde Baru menancapkan kekuatannya, terjadi perubahan—sosial, ekonomi, dan politik—yang relatif cepat di Aceh. Eksplorasi sumber daya alam yang masif tidak menetes ke bawah, masyarakat, serta justru menciptakan ketidakadilan atau kesenjangan.
Sedangkan sentralisasi dan penetrasi birokrasi sipil serta militer dari Jakarta ke Aceh berandil dalam mengeliminasi kekuatan-kekuatan politik lokal, masih mengacu analisis Kell.
Alhasil, perasaan kecewa menumpuk dan “menyediakan peluang kepada Tiro atau GAM untuk tampil mengartikulasikan identitas politik Aceh,” sambung Kell.
Perlahan, dukungan mengalir ke Tiro. GAM menjelma menjadi entitas politik yang kokoh.
Jejak berdarah aparat keamanan Indonesia
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh menemukan sejarah gerakan perlawanan Aceh ditanggapi secara represif oleh pemerintahan di Jakarta.
Pada Oktober 1953 hingga Januari 1954, lebih dari 4.000 penduduk sipil ditangkap aparat, dituding bagian dari Darul Islam. Pembunuhan serta pembakaran harta benda—termasuk tempat tinggal—milik penduduk juga dilangsungkan, walaupun angkanya belum dapat dicatat dengan jelas.
Aksi kekerasan pemerintah memantik protes dari pemuda Aceh di berbagai daerah yang kemudian memaksa Jakarta mengambil upaya dialog dengan Daud Beureueh.
Pola yang mirip terulang kala Hasan Tiro mendirikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Masih mengutip temuan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, rezim Orde Baru Soeharto menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama hampir satu dekade, mulai dari 1989 sampai 1998, dengan bermacam operasi sandi—Jaring Merah, Lila Putih, Sadar, atau Siwah.
“Sejak Aceh berstatus DOM, tidak ada informasi yang jelas terkait situasi keamanan di Aceh. Baik sebelum maupun setelah ditetapkan sebagai wilayah DOM, tak banyak masyarakat di Aceh maupun di Indonesia yang tahu dampak yang ditimbulkan pemberlakuan status tersebut,” demikian tulis Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
“Hanya orang Aceh yang tinggal di daerah Pidie dan Aceh Utara yang merasakan langsung dampak dari penerapan status ini, termasuk tahu bagaimana brutalnya perlakuan aparat keamanan terhadap mereka.”
Jumlah korban, mengacu data organisasi sipil, mencapai puluhan ribu, didominasi warga sipil. Bentuk kekerasannya merentang dari penghilangan paksa, perkosaan, pembakaran, sampai penghilangan nyawa.
Laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan terdapat 781 kasus pembunuhan di luar proses hukum sepanjang Juli-Agustus 1998.
Jatuhnya Orde Baru sempat membikin pemberlakuan DOM dicabut. Akan tetapi, kondisi ini tidak awet. Kekerasan demi kekerasan datang silih berganti, melahirkan tidak sekadar kematian melainkan arus pengungsi.
Sekitar lebih dari 500.000 jiwa meninggalkan desa mereka, kata Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Dari angka itu, ribuan orang menuju Malaysia, berharap memperoleh perlindungan.
Perundingan antara dua pihak bukannya tidak diusahakan. Pada Mei 2000, ambil contoh, pemerintah Indonesia dan GAM sepakat menandatangani “jeda kemanusiaan” yang bertujuan menghentikan segala pertikaian.
Langkah ini disusul persetujuan yang lain dan berpuncak dengan munculnya Cessation of Hostilities Agreement (CoHA) di Jenewa, Swiss.
Namun, rangkaian “damai” tersebut pecah yang dipicu saling tuduh pengingkaran komitmen dari dua kelompok.
Pada Mei 2003, Presiden Megawati Sukarnoputri mengumumkan Darurat Militer di Aceh. Sebanyak 30.000 tentara dan 12.000 polisi dikirim ke Aceh guna meredam GAM, menjadikannya pengerahan militer terbesar sejak Operasi Seroja di Timor Timur (1975).
Dampak dari penerapan Darurat Militer, sekali lagi, tidaklah kecil. Lebih dari 500 warga sipil tewas, menurut rekapitulasi Dinas Penerangan Umum Markas Besar TNI. Jelang Pemilu 2004, Megawati menarik status Darurat Militer di Aceh.
Data Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mengungkap bahwa operasi militer yang diluncurkan pemerintah pusat ke Aceh—1976 hingga 2005—menghasilkan lebih dari 10.000 dugaan kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Ada enam kategori utama pelanggaran: penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, kekerasan seksual, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, serta perusakan properti.
Sebagian besar pelaku kekerasan ialah aparat keamanan Indonesia—TNI dan Polri—dengan persentase 96%. Keterlibatan aparat muncul di beberapa peristiwa yang memori buruknya masih menghantui penyintas sampai sekarang: Jambo Keupok serta Rumoh Geudong.
Lalu dari GAM, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh mencatat terdapat 392 orang yang diduga terlibat kekerasan serta pelanggaran HAM—sekitar 2%. Kebanyakan pelaku dari GAM disumbang “unit-unit gerilya bersenjata yang mendapat tugas membersihkan jaringan mata-mata pendukung pasukan keamanan Indonesia,” terang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh.
Kesadaran identitas yang menguat
Bencana hidrometeorologi yang meluluhlantakkan Aceh tidak bisa semata dibaca dari perspektif kebencanaan, menurut antropolog Universitas Malikussaleh, Teuku Kemal Fasya.
Respons pemerintah yang dikritik lamban membuka peluang menguatnya “politik identitas” Aceh sebagai daerah yang “ditindas” oleh pemerintah pusat.
“Walaupun itu bahasanya agak generalisasi. Kalau kita masuk ke dalam detail-detail, sebenarnya pemerintah lokal juga ikut menghancurkan Aceh lewat pemegang izin tambang, izin sawit, dan macam-macam,” paparnya kepada BBC News Indonesia.
Menurut Kemal, masyarakat Aceh mempunyai ingatan kolektif yang tidak sepenuhnya “baik” kepada Jakarta, terlebih kala pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) atau Darurat Militer dalam rangka menghentikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Efek dari operasi militer itu ialah masyarakat sipil dituding GAM, diburu, dan ditangkap atau dibunuh.
Apabila di masa lampau motor penggerak kekecewaan tersebut bertumpu pada tangan GAM, kali ini masyarakat Aceh sendiri—korban bencana—yang Kemal perkirakan bakal mengambil panggung.
“Dulu di era gerakan referendum muncul kesadaran bahwa kami, Aceh, sudah ditindas pusat. Kemudian Perjanjian Helsinki menutup ruang itu, menjadi basis perdamaian di Aceh dalam kerangka NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia],” tandas Kemal.
“Nah, tapi sekarang muncul lagi kesadaran seperti itu. Kalau bahasa lainnya adalah Aceh merdeka. Tapi tidak digerakkan oleh GAM, melainkan masyarakat di tapak.”
Masyarakat Aceh, Kemal berpandangan, menyadari betapa banjir dan longsor adalah resultante—hasil akhir—dari “kesedihan serta penderitaan akibat sudah cukup lama diabaikan pemerintah pusat.”
“Dan ini cocok dengan sikap [Presiden] Prabowo yang terus keras kepala yang tidak ingin membuka akses [bantuan] internasional terhadap bencana yang terjadi di Sumatra ini,” imbuh Kemal.
Bagi Kemal, pemerintah pusat tidak bisa menutup mata dan telinga terkait kenyataan masyarakat Aceh. Aspirasi warga Aceh wajib didengar supaya tidak menimbulkan benih-benih kekacauan sosial di masa mendatang.
“Artinya apa? Kemampuan mendengar kelompok yang lebih besar terhadap [kelompok] di bawah itu harus lebih dikedepankan,” tutup Kemal.
‘Sudah ada kepercayaan yang terbangun’
Masyarakat Aceh berupaya membangun kepercayaan dengan Jakarta selama dua dekade terakhir, ujar mantan anggota juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Munawar Liza Zainal.
Pada 2005, Perjanjian Helsinki diteken kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dan GAM. Perjanjian ini mengakhiri konflik yang berlangsung selama puluhan tahun.
Dalam nota kesepakatan tersebut, diterangkan para pihak bertekad menciptakan kondisi yang memungkinkan “pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil.”
“Para pihak yang terlibat dalam konflik bertekad untuk membangun rasa saling percaya,” demikian bunyi nota itu.
Munawar menilai Perjanjian Helsinki merupakan bentuk kompromi Aceh kepada Jakarta. Menurut Munawar, yang termaktub dalam perjanjian “sangat jauh kalau dibandingkan permintaan kami.”
“Tapi, karena kita sayang kepada orang Aceh, ketika pada 2004 itu terkena tsunami, akhirnya banyak kompromi dan mempercepat proses perundingan sampai sekian bulan. Kemudian terjadi pemotongan senjata dan lain sebagainya,” tutur Munawar saat dihubungi BBC News Indonesia.
Munawar mendeskripsikan “sudah mulai ada kepercayaan yang terbangun” antara masyarakat Aceh dan Jakarta dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Tapi, berbagai kejadian, tidak bisa dimungkiri, bakal memengaruhi relasi Aceh dengan Jakarta ke depannya.
Sebelum bencana akhir November lalu, masyarakat Aceh lebih dulu dihadapkan mati listrik total dari 29 September hingga 1 Oktober 2025. Ketiadaan listrik berhari-hari ini membuat aktivitas masyarakat terhambat, bahkan memunculkan kerugian materi yang jumlahnya tidak kecil.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengutarakan padamnya listrik di Aceh bukan sesuatu yang mereka hendaki.
Belum sepenuhnya lenyap rasa kecewa akibat mati listrik, masyarakat Aceh dipertemukan dengan bencana banjir serta longsor, disusul reaksi pemerintah pusat yang dinilai lambat berjalan.
“Ini peristiwanya lebih dahsyat daripada tsunami [2004],” tegas Munawar.
Di lapangan, masyarakat Aceh di daerah terdampak ramai-ramai menaikkan bendera putih. Munawar berpendapat bendera putih itu adalah semacam teguran keras kepada pemerintahan di Jakarta agar supaya menjaga betul resolusi konflik pasca-Helsinki.
“Jadi maksudnya sebagai orang yang sudah mengambil keputusan berdamai 20 tahun lalu, kami cepat-cepat mengetuk pintu pemerintah, Jakarta, untuk segera bantu orang Aceh sebagaimana orang Aceh dulu dibantu waktu tsunami,” kata Munawar.
Munawar tidak menutup kemungkinan bahwa jika eskalasi penanganan bencana masih tumpul dan tidak beranjak ke mana-mana, masyarakat Aceh akan “menjauhi” Jakarta. Kepercayaan yang tersusun selama dua dekade, dengan kata lain, tinggal menunggu waktu untuk memudar.
“Rusak apa pun kalau sampai 21 hari ini enggak benar. Ini hajat di hidup kita. Seperti orang enggak ada urat nadinya selama 21 hari,” sebut Munawar.
“Dan menyebabkan banyak orang menyadari bahwa kita diabaikan.”
Munawar menambahkan sebetulnya Aceh memiliki ruang untuk merespons bencana dengan ideal, terutama soal bantuan luar negeri. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dituturkan bahwa pemerintah Aceh dapat menerima bantuan dari luar negeri—Pasal 186.
Secara prinsip, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) menggambarkan bagaimana Aceh disediakan keleluasaan mengatur urusannya sendiri (self-government). Beleid ini menjadi “titik tengah” antara Jakarta dan GAM saat Perjanjian Helsinki disepakati.
“Kita dulu enggak terima dengan otonomi. Solusinya itu pembagian kewenangan sehingga kita sebut self-government, bahwa pemerintah pusat hanya memiliki sedikit kewenangan di Aceh. Sisanya dimiliki Aceh. Maka dari itu, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 lahir,” papar Munawar.
Kewenangan itu, dalam benak Munawar, seolah cuma hitam di atas putih. Pelaksanaannya masih jauh dari kata maksimal.
Di luar perkara dampak banjir, kewenangan khusus yang ditujukan kepada Aceh sebetulnya menawarkan berbagai peluang ekonomi yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya. Munawar mencontohkannya dengan peluang investasi hingga kerja sama sejenis.
Sayangnya, pemerintah pusat sering kali tidak menerima klausul itu, memandang segala yang ditempuh pemerintah Aceh mengangkangi Jakarta, imbuh Munawar.
Kembali ke konteks penanganan banjir. Presiden Prabowo Subianto—beserta jajarannya di kabinet—berkali-kali menegaskan pemerintahannya mampu mengatasi bencana sehingga tak memerlukan uluran tangan negara lain.
Munawar menyatakan sikap pemerintahan Prabowo merepresentasikan akar masalah Jakarta dengan Aceh.
“Jakarta tidak pernah mau tahu dengan apa yang dimiliki Aceh dan keistimewaannya. Dengan begini, masyarakat Aceh bisa bertambah lagi kekecewaannya,” pungkas Munawar.
Dua dekade perdamaian berdiri di benang yang tipis
Hubungan Aceh dan Jakarta sudah melewati dua periode konflik yang cukup panjang, ujar mantan juru runding Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Teuku Kamaruzzaman.
Usaha “mendamaikan” kedua pihak yang berseteru turut disertai luka maupun kekerasan yang jejaknya masih dapat disimak hingga sekarang.
Penanganan bencana di Aceh jika tidak dilakukan secara masif dan serius akan berimbas secara sosial serta politik, Kamaruzzaman mengingatkan.
“Terutama soal kesetiaan rakyat Aceh kepada republik [Indonesia]. Jadi memang saya bisa sampaikan seperti itu karena me-review kembali hubungan antara kedua pihak yang memang dalam selama 10 tahun ini selalu berliku dengan dinamika yang cukup panas,” terangnya.
Kamaruzzaman mendesak pemerintah pusat untuk menjalin komunikasi yang intens dengan pemangku kebijakan di daerah. Tujuannya agar “situasi di lapangan dapat ditangani secepat mungkin,” ucap Kamaruzzaman.
Pemerintah membantah tudingan bergerak lamban dalam penanganan bencana di Aceh—serta dua provinsi lainnya, Sumatra Utara serta Sumatra Barat. Sejak awal, pemerintah mengaku sudah hadir untuk menanggapi bencana di Sumatra.
“Sejak hari pertama, detik pertama, pemerintah beserta warga sudah sama-sama berjuang keras, mengevakuasi warga, dan bagaimana caranya ini segera pulih,” ucap Sekretaris Kabinet, Teddy Indra Wijaya.
“Angkat genset PLN, angkat logistik. Sama, tidak ada media di situ. Tidak ada kamera di situ.”
Klaim pemerintah adalah satu hal, suara masyarakat Aceh adalah hal yang lain.
“Khawatirnya kalau ini terjadi segala macam [pembiaran], akan ada ketidakpercayaan kepada pemerintah pusat yang lebih tinggi,” Kamaruzzaman menuturkan.
“Khawatirnya lagi, dalam yang paling ekstrem, kita bagian dari sebuah kesatuan ini akan terlepas.”
‘Aceh cuma jadi lahan eksploitasi sumber daya alam’
Reza Mustafa sedang menjalani pendidikan tingkat kuliah saat Perjanjian Helsinki ditandatangani. Reza menyatakan Perjanjian Helsinki merupakan momen masyarakat Aceh “merangkul lagi harapan” usai masa gelap yang dihasilkan operasi militer pemerintah Indonesia.
Kendati begitu, Reza tidak menampik masih memendam trauma.
“Aku dengar bagaimana kawan besok mau sekolah, lalu sudah diumumkan dia kena kontak tembak. Pengakuan aparat bilang itu peluru nyasar,” kenang Reza yang bekerja di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh.
Reza mengibaratkan trauma yang dia hadapi seperti sebuah residu—endapan—yang tidak dapat dihilangkan.
“Itu sudah berada di bawah alam sadar. Kalau aku sendiri itu jadi semacam residu yang ketika ada yang memicu itu pasti akan langsung terlihat,” jelas Reza.
Serpihan trauma tersebut menyeruak manakala Reza menilai pemerintah pusat cenderung menyepelekan penanganan banjir.
“Bayangin maksudnya orang sudah empat hari empat malam mengevakuasi diri di batang pohon pinang dan enggak makan apa-apa kemudian dibilang, keluar pernyataan, itu mencekam saja di media sosial,” paparnya.
Hampir sebulan pascabanjir, Reza mengamati langsung kondisi di wilayah terdampak belum sepenuhnya pulih. Reza menerima telepon dari saudara di luar Banda Aceh, mengabarkan kalau mereka “masih berjibaku mendapatkan logistik.”
“[Efek] tsunami 2004, sepertinya, tidak selama ini para korban berurusan dengan keterbatasan kebutuhan pokoknya,” tandasnya.
Situasi itu membikin Reza percaya bahwa Aceh—sebagaimana Papua atau daerah lainnya—diperlakukan pemerintah pusat hanya sebatas kuota “lahan eksploitasi sumber daya alam.”
“Wilayah-wilayah konsesi [pertambangan atau sawit] di Aceh cuma Jakarta yang bisa mengeluarkan HGU (Hak Guna Usaha). Ribuan hektare dan siapa pemiliknya? Cuma Jakarta. Aceh enggak punya wewenang,” tegas Reza.
Dari sini, Reza menyebut bahwa kekecewaan yang muncul di kalangan masyarakat Aceh begitu kentara dan sangat beralasan.
“Semua orang memang berharap sekali dengan keputusan, ketegasan pemerintah, soal bencana ini,” jelasnya.
“Bukan malah kami, masyarakat Aceh, justru diabaikan.”
- Warga Bener Meriah terancam kelaparan panjang akibat dua pekan terisolasi – ‘Kalau tidak mampu, minta bantuan ke negara lain’
- Peringatan 20 tahun tsunami Aceh: Cerita dua penyintas yang memilih tinggal di zona berbahaya – ‘Kita sudah enggak takut lagi tinggal di pantai’
- Tsunami Aceh, 15 tahun kemudian: ‘Saya yakin putra saya masih hidup’
- ‘Kami dijadikan tameng, setiap saat siap mati’ – Kesaksian tentara Indonesia yang pernah ditugaskan di seputar kompleks ExxonMobil, Aceh
- ‘Bukan hanya diperlemah tapi ditiadakan’ – Kesaksian penyintas pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong dan wacana pembubaran KKR Aceh
- Kesaksian korban peristiwa Jambo Keupok, Aceh: ‘Lolongan pilu saat tentara membakar hidup-hidup belasan orang’
- ‘Konflik berulang membuat masyarakat Aceh trauma’ – Mengapa Indonesia harus belajar dari penyelesaian damai konflik Aceh?
- ‘Saya mensyukuri perdamaian, tapi kemakmuran kurang’ – Cerita eks tentara GAM dan masalah kesejahteraan di Aceh
- Setelah 17 tahun perdamaian di Aceh: ‘Jangankan pulih, diingat pun tidak’
- Pemerintah tolak bantuan asing, pemulihan wilayah terdampak banjir-longsor di Sumatra diprediksi butuh 30 tahun
- Kisah warga di Aceh Tamiang yang selamat usai desanya ‘hilang’ disapu banjir
- Warga Aceh tuntut kompensasi pemadaman listrik berhari-hari – ‘Pemadaman listrik terburuk pasca-konflik dan tsunami’
- Pemerintah janji telusuri korporasi yang turut memicu bencana Sumatra – Bagaimana nasib perusahaan yang terafiliasi dengan Prabowo di Aceh?
- Kisah warga tolong warga di tengah pemerintah yang disebut ‘lamban’ dan ‘duduk-duduk saja’ atasi bencana di Sumatra
- Satu pekan yang mencekam di Aceh Tamiang, gelap gulita, penjarahan, dan bau bangkai menyengat – ‘Seperti kota zombie’
- Prabowo didesak tetapkan banjir dan longsor di Sumatra sebagai bencana nasional – ‘Masyarakat sampai menjarah demi bertahan hidup’
- Trauma korban banjir-longsor Aceh ‘lebih berat’ dari tsunami 2004, kata psikolog
- Pengungsi Aceh Tamiang kesulitan air bersih, buang air besar di tanah – ‘Saya pakai genangan banjir’
- Bendera putih di Aceh, ‘Kondisi Aceh begitu buruk, kami tidak baik-baik saja’ – Apa respons pemerintah pusat?
- ‘Tuhan akan mengatur dengan segala kesederhanaan’ – Bagaimana banjir dan longsor akan mengubah perayaan Natal sebuah kampung kecil di Sumatra?
- Ulama Aceh dan Dewan Profesor USK tuntut status ‘bencana nasional’ dan ‘bantuan asing’, Presiden Prabowo menolak



