Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Republik Indonesia, sebuah fenomena tak biasa menarik perhatian publik di berbagai kota. Sejumlah warga kedapatan mengibarkan bendera bajak laut Topi Jerami, ikonik dari anime populer One Piece. Bendera hitam bergambar tengkorak dengan topi jerami khasnya ini terlihat berkibar, bahkan ada yang dipasang di bawah Bendera Merah Putih, di mobil, hingga truk, menimbulkan tanda tanya besar mengenai makna di balik aksi tersebut.
Menanggapi kemunculan simbol yang sarat nilai budaya populer ini, M. Febriyanto Firman Wijaya, seorang akademisi dari Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), memberikan pandangan mendalam. Menurutnya, fenomena ini jauh melampaui sekadar hiburan atau ekspresi fandom semata. Ia melihatnya sebagai bentuk ekspresi simbolik yang mencerminkan kekecewaan generasi muda terhadap pemerintah.
“Bendera One Piece, khususnya simbol bajak laut, bukan hanya sekadar tren anime,” jelas Riyan, sapaan akrabnya, dalam keterangannya yang dikutip Basra pada Senin (4/8). Ia melanjutkan, “Ketika bendera itu dikibarkan menjelang 17 Agustus, ini menunjukkan adanya distorsi makna simbolik. Anak muda tampaknya sedang melakukan bentuk ‘protes diam‘ melalui simbol global yang mereka maknai lebih relevan dibandingkan simbol kenegaraan yang dianggap telah kehilangan makna esensial.” Pendapat ini menyoroti pergeseran nilai dalam benak kaum muda.
Riyan kemudian menjelaskan konsep ini berdasarkan teori simbolik dalam sosiologi. Ia menegaskan bahwa bendera dan lambang negara sesungguhnya adalah bentuk simbol kolektif yang berfungsi sebagai perekat, menyatukan masyarakat dalam satu identitas dan tujuan.
Namun, lanjut Riyan, “Ketika simbol-simbol tersebut tergantikan oleh simbol fiksi dari budaya populer, maka itu menjadi tanda adanya pergeseran makna kolektif, bahkan bisa menjadi gejala alienasi identitas nasional.” Peringatan ini menggarisbawahi potensi bahaya jika simbol-simbol kebangsaan mulai ditinggalkan.
Kegandrungan terhadap simbol asing seperti bendera bajak laut One Piece, menurutnya, tidak hanya dipicu oleh efek globalisasi atau masifnya pengaruh media Jepang. Lebih jauh, ia meyakini bahwa fenomena ini juga berakar dari perasaan kecewa dan ketidakpercayaan yang dirasakan sebagian besar anak muda terhadap kinerja pemerintah saat ini.
“Anak muda hari ini kritis, mereka melek informasi, tetapi sayangnya mereka tidak merasa didengar,” tegas Riyan. Ia menambahkan, “Dalam situasi seperti itu, mereka mencari simbol baru yang benar-benar mewakili semangat kebebasan, pemberontakan, dan solidaritas—nilai-nilai yang ironisnya justru mereka temukan dalam tokoh bajak laut fiktif seperti Luffy, bukan dalam simbol-simbol kenegaraan mereka sendiri.”
Melihat kondisi ini, Riyan berpendapat bahwa pemerintah seharusnya tidak hanya bereaksi dengan pelarangan atau kecaman terhadap simbol-simbol asing. Sebaliknya, pemerintah diminta untuk merenungi lebih dalam mengapa simbol nasional mulai kehilangan daya tariknya di kalangan generasi muda, serta mencari akar masalahnya.
“Yang perlu diperbaiki bukan sekadar siapa mengibarkan apa,” ujarnya dengan nada tegas, “tetapi bagaimana kita memperkuat kembali rasa kepemilikan anak muda terhadap bangsanya. Jika bendera nasional hanya menjadi formalitas tanpa makna yang mendalam, maka tidak heran jika anak muda akan memilih simbol yang lebih autentik secara emosional dan relevan bagi mereka.”
Pada akhirnya, fenomena ini, menurut Riyan, merupakan cermin pentingnya dialog terbuka dan berkelanjutan antara negara dan warganya, khususnya generasi muda. Tujuannya adalah agar simbol-simbol nasional dapat tetap hidup dan bermakna, tidak hanya menjadi rutinitas tahunan yang hampa tanpa daya gugah.