Namun, rencana ini mendapat tantangan dari Anggota Komisi I DPR RI, Sarifah Ainun Jariyah (PDI Perjuangan). Ia mendesak penundaan peluncuran Payment ID, mengatakan infrastruktur keamanan yang menopang sistem ini belum memadai dan rentan terhadap penyalahgunaan. “Kita harus belajar dari negara lain. Insentif, bukan paksaan. Perlindungan, bukan eksploitasi. Komisi I DPR akan terus mengawal isu ini untuk memastikan hak warga terlindungi,” tegas Sarifah, seperti dikutip dari Antara, Minggu (10/8/2025).
Selain penundaan, Sarifah juga meminta perbaikan sistem perpajakan dengan penerapan kompensasi otomatis dan model pelaporan berkala, bukan per transaksi. Ia menyoroti kerentanan infrastruktur digital Indonesia, mengungkapkan data Indonesia Data Protection Authority yang mencatat 3.814 kasus kebocoran data sepanjang 2023-2024. Menurutnya, meskipun beberapa negara menerapkan pelaporan transaksi keuangan, hal itu diimbangi dengan insentif, seperti tax refund 10-15% di Australia. “Sistem kita belum siap memberikan penghargaan serupa kepada wajib pajak,” ujarnya.
Anggota DPR dari daerah pemilihan Banten ini juga mempertanyakan kesiapan sistem perpajakan Indonesia yang hanya memiliki 16,5 juta wajib pajak aktif dari total 275 juta penduduk. Ia juga menyoroti kurangnya perlindungan hukum bagi korban kebocoran data, mencontohkan kasus BPJS Kesehatan 2023 yang melibatkan 279 juta orang tanpa kompensasi memadai. Lebih lanjut, Sarifah mengutip laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang mencatat 120.000 rekening nasabah diperjualbelikan secara online. Terakhir, ia menekankan bahwa integrasi data KTP dan NPWP di bank belum terselesaikan, yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam implementasi Payment ID.