BI Buka Repo Obligasi Korporasi: Pasar Modal Makin Likuid!

Posted on

Bank Indonesia (BI) mengambil langkah progresif dengan mendiversifikasi instrumen dasar dalam transaksi repurchase agreement (repo) pada operasi moneter. Kebijakan strategis ini tidak hanya bertujuan untuk mendorong korporasi agar lebih aktif menerbitkan obligasi, tetapi juga untuk membuka akses ke alternatif sumber pembiayaan yang lebih efisien. Fitra Jusdiman, Kepala Grup Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas (DPMA) BI, menegaskan bahwa pengembangan pasar repo akan secara signifikan memperkuat dan memperdalam pasar keuangan, khususnya dalam segmen obligasi korporasi sebagai tulang punggung pembiayaan ekonomi nasional. Selama ini, transaksi repo di BI secara eksklusif hanya mengizinkan Surat Berharga Negara (SBN) sebagai aset dasar atau jaminan, yang berarti bank-bank harus menyerahkan SBN untuk memperoleh likuiditas melalui fasilitas ini.

Fitra menjelaskan bahwa BI kini tengah memperluas cakupan aset dasar (underlying) yang dapat digunakan dalam transaksi repo oleh bank. Ia merinci, “Awalnya, fasilitas ini secara eksklusif hanya tersedia bagi Dealer Utama (DU), yang berarti hanya DU yang dapat melakukan repo, termasuk menggunakan obligasi korporasi sebagai jaminan.” Perluasan ini merupakan respons terhadap dinamika pasar keuangan yang membutuhkan fleksibilitas lebih, di mana BI akan menetapkan sejumlah kriteria ketat untuk obligasi korporasi yang dapat diterima.

Dalam praktiknya, Dealer Utama memang lazim menggunakan tidak hanya SBN tetapi juga obligasi korporasi sebagai aset dasar dalam transaksi repo. Sebagai langkah awal, BI akan mulai menerima obligasi yang diterbitkan oleh PT Sarana Multigriya Finansial (SMF) sebagai underlying repo. Fitra menegaskan, keputusan ini didasarkan pada kriteria yang cermat meliputi peringkat kredit obligasi, tingkat likuiditas di pasar, dan reputasi lembaga penerbit. Data menunjukkan, likuiditas di pasar sekunder obligasi dan sukuk SMF jauh lebih tinggi dibandingkan Efek Beragun Aset (EBA) SMF, dengan rata-rata transaksi harian (RRH) 2025 masing-masing mencapai Rp26,5 miliar dan Rp11,52 miliar, sementara EBA SMF hanya Rp210 juta. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa 42 persen obligasi dan sukuk SMF dimiliki oleh bank, menunjukkan kepercayaan dan stabilitas. “Harapannya, semakin banyak perusahaan yang menerbitkan obligasi, mereka akan memperoleh pilihan sumber pembiayaan yang lebih bervariasi dengan biaya dana yang lebih efisien,” tambah Fitra.

Pengembangan pasar repo ini dipercaya akan memiliki dampak signifikan dalam memperkuat dan memperdalam pasar keuangan domestik, khususnya di sektor obligasi korporasi sebagai mesin pembiayaan ekonomi. Perluasan instrumen aset dasar dalam transaksi repo BI akan memicu peningkatan transaksi surat berharga berkualitas tinggi, yang pada gilirannya akan meningkatkan likuiditas di pasar keuangan. Dampak langsungnya adalah penurunan biaya pinjaman bagi korporasi, menciptakan ekosistem pendanaan yang lebih sehat.

Namun, kondisi pasar obligasi korporasi Indonesia masih tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia. Berdasarkan data dari IMF dan Asian Bonds Online (2024), nilai outstanding obligasi korporasi Indonesia baru mencapai 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, atau sekitar 29 miliar dolar AS dari total PDB sebesar 1,396 triliun dolar AS. Fitra menyoroti, “Rasio ini jauh lebih rendah dibandingkan negara lain di kawasan, seperti Korea Selatan (60,7 persen dari PDB), Singapura (27,06 persen), dan Jepang (16,84 persen).” Sebagai perbandingan, total rasio utang terhadap PDB Indonesia tercatat sebesar 40,19 persen, dengan outstanding obligasi pemerintah dan bank sentral mencapai 387 miliar dolar AS atau 27,72 persen dari PDB.

Optimalisasi pemanfaatan obligasi korporasi melalui transaksi repo diyakini secara substansial dapat memperdalam pasar keuangan domestik dan memperluas cakrawala sumber pembiayaan jangka panjang bagi dunia usaha. Dengan demikian, perluasan instrumen aset dasar repo oleh BI ini menjadi salah satu strategi krusial untuk memperkuat struktur pendanaan nasional sekaligus mengakselerasi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Selain keuntungan bagi bank berupa alternatif sumber dana yang lebih beragam, kebijakan ini juga diharapkan mampu meningkatkan likuiditas pada pasar obligasi korporasi. Peningkatan likuiditas ini akan menarik minat investor untuk menempatkan dananya pada instrumen tersebut, menciptakan siklus positif yang mendukung pengembangan pasar modal di Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *