Jumat lalu, Grace Jin Drexel, yang menetap di Amerika Serikat, menerima pesan singkat yang mencemaskan dari ayahnya, Jin Mingri. Seorang pendeta terkemuka di China, Jin Mingri meminta Grace untuk mendoakan pendeta lain yang menghilang di Shenzhen, diduga kuat karena penahanan. Ironisnya, tak lama setelah pesan itu, Grace mendapat telepon panik dari ibunya yang mengabarkan bahwa Jin Mingri sendiri tidak dapat dihubungi. Hanya beberapa jam kemudian, sebuah kenyataan pahit terkuak: Jin Mingri telah menjadi bagian dari gelombang penangkapan massal terhadap umat Kristen di China, sebuah peristiwa yang oleh para aktivis disebut sebagai penindakan terbesar dalam beberapa dekade terakhir.
Penangkapan sekitar 30 umat Kristen yang terafiliasi dengan jaringan Gereja Zion, yang didirikan oleh Jin Mingri, kini memicu kekhawatiran meluas. Banyak pihak cemas bahwa ini hanyalah permulaan dari penindasan yang lebih besar terhadap gereja bawah tanah di China. Kecemasan ini diperkuat oleh pemberlakuan undang-undang baru yang dirancang untuk membatasi aktivitas keagamaan bawah tanah, serta meningkatnya tekanan aparat terhadap para jemaat dalam beberapa bulan terakhir.
Kenapa Pemerintah China menangkap mereka?
Kendati dipimpin oleh Partai Komunis China yang menganut ideologi ateis, negara tersebut memiliki populasi Kristen yang tergolong besar. Pemerintah mencatat sekitar 38 juta umat Protestan dan hampir enam juta umat Katolik dalam beberapa tahun terakhir. Namun, angka ini kemungkinan besar hanya mencakup jemaat gereja yang terdaftar secara resmi di bawah Asosiasi Katolik Patriotik dan Gerakan Patriotik Tiga-Diri untuk Protestan, yang menekankan kesetiaan kepada negara dan Partai Komunis.
Para pegiat hak asasi manusia (HAM) dan akademisi memperkirakan puluhan juta warga China lainnya beribadah di gereja-gereja bawah tanah yang tidak terdaftar, atau yang dikenal sebagai house church. Gereja-gereja ini tidak mengikuti ideologi resmi negara, sehingga sering kali dianggap sebagai ancaman. Selama bertahun-tahun, gereja-gereja semacam itu telah merasakan dampak pengetatan dan sikap keras pemerintah China. Gedung-gedung mereka dihancurkan, salib-salib dicopot dari ruang publik, sementara materi keagamaan diawasi semakin ketat. Bahkan, beberapa aplikasi Kristen telah dilarang beredar di negara tersebut.
Pada tahun 2005 dan 2018, pemerintah memperbarui serta memperketat regulasi terhadap kelompok keagamaan. Puncaknya pada tahun 2016, Presiden Xi Jinping menyerukan “sinisisasi agama“, sebuah upaya menyesuaikan agama dengan nilai-nilai Tiongkok. Gereja bawah tanah seperti Zion—yang didirikan Jin Mingri—sangat terdampak oleh aturan 2018, yang mewajibkan izin pemerintah untuk beribadah di ruang publik. Akibatnya, beberapa gereja terpaksa menghentikan kegiatan publik dan beralih ke layanan daring, atau bahkan menutup diri sepenuhnya. Tahun-tahun berikutnya pun tak lebih baik, diwarnai penangkapan dan vonis terhadap beberapa pendeta terkemuka.
Operasi penangkapan besar-besaran
Beberapa bulan terakhir, tanda-tanda pengetatan bahkan kian terasa. Pada Mei lalu, pendeta Gao Quanfu dari Gereja Light of Zion di Xi’an ditahan atas tuduhan “menggunakan aktivitas takhayul untuk merusak pelaksanaan hukum.” Sebulan berselang, beberapa anggota Gereja Linfen Golden Lampstand di Shanxi dijatuhi hukuman penjara atas tuduhan penipuan—tudingan yang dinilai para pegiat HAM sebagai tuduhan palsu. Pada September, pemerintah juga mengumumkan kode etik daring baru bagi para pemuka agama, yakni izin khotbah daring hanya diberikan kepada mereka yang telah mengantongi lisensi, sebuah kebijakan yang dipandang sebagai upaya nyata untuk membatasi layanan ibadah daring gereja-gereja bawah tanah.
Jin Drexel menambahkan bahwa anggota Gereja Zion juga menghadapi interogasi dari polisi dalam beberapa bulan terakhir. Tindakan itu dipandang para anggota gereja sebagai sinyalemen menjelang penindasan yang sebenarnya. Namun, mereka tak menyangka bahwa skalanya bakal semasif ini. Pada Jumat dan Sabtu lalu, otoritas China melancarkan operasi besar-besaran di setidaknya sepuluh kota, termasuk kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai. Dari rangkaian operasi tersebut, pihak gereja menyatakan bahwa sejumlah pendeta, pemimpin, dan jemaat gereja telah dicokok otoritas China, termasuk Jin Mingri yang ditangkap di markas utamanya di Beihai, Provinsi Guangxi.
BBC berhasil memperoleh salinan surat resmi penahanan Jin yang dikeluarkan oleh biro keamanan publik Beihai. Surat itu menyebutkan bahwa Jin ditahan di Penjara Nomor Dua Beihai dan diduga telah melakukan “penggunaan ilegal jaringan informasi.” BBC sendiri telah meminta konfirmasi dari otoritas setempat mengenai penahanan tersebut. Belakangan, beberapa anggota gereja yang ditangkap memang telah dibebaskan, tetapi sebagian besar masih ditahan. Beberapa di antaranya berada di penjara yang sama dengan Jin.
Corey Jackson, pendiri kelompok advokasi Kristen Luke Alliance, mengatakan penangkapan dengan skala nasional seperti sekarang adalah yang pertama—belum pernah terjadi sebelumnya. “Kami memperkirakan ini hanya awal dari penindasan yang lebih besar,” ujar Corey, seraya menambahkan bahwa gereja bawah tanah lain kini mulai bersiap menghadapi penangkapan serupa. Kelompok advokasi Kristen lainnya, Open Doors, menilai skala penangkapan ini signifikan. “Gereja Zion dikenal luas dan vokal, serta mungkin telah mencapai tingkat organisasi yang membuat pihak berwenang gelisah serta merasa sudah bisa dikendalikan,” kata seorang juru bicara Open Doors. Ia memperingatkan bahwa “kebijakan pemerintah China untuk menindak gereja rumah akan terus berlanjut”, serta menilai otoritas berpotensi akan menuduh lebih banyak anggota gereja dengan kasus penipuan atau kejahatan ekonomi “sebagai strategi intimidasi.”
Sean Long, pendeta Gereja Zion yang kini berbasis di Amerika Serikat, mengatakan bahwa gereja lain kemungkinan akan menjadi sasaran berikutnya karena “gelombang baru penganiayaan agama tengah berkembang cepat di seluruh China.” Ia menyebut penangkapan terbaru ini sebagai “penyisiran sistematis” untuk “mencabut akar Zion,” dan mengutip pepatah China yang menyatakan “membunuh ayam untuk menakuti monyet”. “Zion adalah ayam itu. Kami yang paling berpengaruh… Ini untuk menakuti gereja dan umat Kristen lain di Tiongkok,” ujar Sean Long.
Terkait peristiwa ini, juru bicara Kedutaan Besar China di London menegaskan, “Kami ingin menegaskan bahwa warga China menikmati kebebasan beragama sesuai hukum. Namun, semua kelompok dan aktivitas keagamaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan di China.” Awal pekan ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri China juga menyatakan bahwa pemerintah “menentang keras campur tangan Amerika Serikat dalam urusan dalam negeri China, dengan dalih isu agama,” sebagai tanggapan atas kecaman Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio terhadap penangkapan Gereja Zion.
Bagaimana asal muasal gereja?
Kisah Gereja Zion bermula dari sosok Jin Mingri, yang juga dikenal dengan nama Ezra Jin. Lahir pada 1969 di Provinsi Heilongjiang yang berlokasi di timur laut China, Jin tumbuh sebagai penganut setia ideologi negara. Namun, semuanya berubah pada 1989, ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Beijing dan ikut serta dalam gerakan pro-demokrasi yang berujung tragis dalam peristiwa Tiananmen. Meskipun ia tidak berada di lokasi saat pembantaian terjadi pada 4 Juni, peristiwa itu mengubah jalan hidupnya. “Itu momen yang sangat penting. Sepanjang hidupnya, ia [Jin Mingri] percaya pada negara,” kata Jin Drexel. “[Namun] ketika keyakinan itu dikhianati, seluruh pandangannya runtuh. Itu menjadi momen besar dalam perjalanan imannya.”
Awalnya Jin mendalami agama di Gereja Tiga-Diri. Pada 2002, ia pindah ke Amerika Serikat bersama istri dan putrinya untuk belajar di seminari di California, di mana kedua putranya kemudian lahir. Keluarga itu kembali ke China pada 2007 agar Jin Mingri bisa melanjutkan pelayanannya. Namun, ia memutuskan mendirikan gereja independen setelah tidak lagi sejalan dengan doktrin Gereja Tiga-Diri yang menekankan kesetiaan kepada negara. “Ia tidak bisa menjadi pendeta karena di sana bukan gereja yang berkenan kepada Tuhan… Kamu tidak bisa melayani dua tuan,” ujar Jin Drexel.
Semula, Gereja Zion adalah kelompok kecil beranggotakan 20 orang dan mengambil tempat di sebuah rumah di Beijing. Seiring waktu, gereja kemudian berkembang pesat dan mulai menggelar kebaktian di aula besar dalam gedung perkantoran. Namun, seiring bertambahnya pengaruh, pengawasan pun meningkat tajam. Pada 2018, otoritas China meminta gereja memasang kamera CCTV di gedung tersebut dengan alasan keamanan. Ketika gereja menolak, jemaat mulai menghadapi apa yang disebut para pemimpin gereja sebagai bentuk pelecehan. Tak lama, gereja kemudian ditutup paksa.
Pemerintah memberlakukan larangan keluar negeri terhadap Jin Mingri dan menempatkannya di bawah pengawasan ketat, sementara keluarganya dan beberapa anggota gereja—termasuk Sean Long, berhasil meninggalkan China menuju AS. Sejak insiden itu, Gereja Zion lantas bersalin ke model hibrida, menggabungkan ibadah daring besar dengan pertemuan kecil secara langsung. Kini gereja itu memiliki sekitar 100 cabang di 40 kota di antero China, dengan lebih dari 10.000 pengikut.
Meskipun nasib Jin Mingri dan para jemaat yang ditahan masih belum pasti sampai saat ini, bahkan penindasan yang lebih luas masih membayangi, Sean Long yakin bahwa Gereja Zion dan gereja bawah tanah di China akan tetap bertahan. “Penganiayaan tidak bisa menghancurkan gereja,” pungkasnya. “Jika kita melihat sejarah, di mana ada penindasan, di situ pula muncul kebangkitan.”
- Cina menahan para anggota sekte ‘Yesus perempuan’
- Agama Kristen Cina sebentar lagi akan ada?
- Pihak berwenang Cina mengasingkan seorang uskup
- Cina, Vatikan dan sebuah kesepakatan kontroversial
- Kisah anak Muslim yang tinggal di keluarga Cina-Kristen
- Pendeta di Cina dipenjara atas tuduhan korupsi
- Mengapa hubungan China dan Vatikan kontroversial dan rumit?
- Ketika China nyatakan perang dengan burung gereja dan jutaan orang mati kelaparan
- Cina menahan para anggota sekte ‘Yesus perempuan’